Surat Cap Lunas

Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menyeruak. Para debitur yang sudah lama tak lagi terdengar kabar beritanya kembali disentuh. Ini lantaran Komisi Pemberantas Korupsi (KPK)nkembali menelisik penerbitan surat keterangan lunas (SKL) beberapa obligor BLBI.

6

Sejak awal tahun 2014, Komisi antirasuah ini mencium ada ketidakberesan dalam proses penerbitan SKL ke beberapa obligor. Antara lain: Sjamsul Nursalim, Anthony Salim, Mohammad “Bob” Hasan, hingga Ibrahim Risyad.

Belum jelas benar arah penyelidikan KPK terkait persoalan ini. Namun, surat cap lunas sebagai jaminan yang memberikan kepastian hukum ke obligor yang masuk kategori telah menyelesaikan kewajiban.

Adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8/2002 yang mengeluarkan surat ini. Holding company bikinan pemerintah ini kala itu juga bertugas menampung asset-aset para obligor, merestrukturisasi, menjual hingga bertugas menyehatkan perbankan. Dalam menyelesaikan tugasnya, BPPN memang harus berkejaran waktu. Sebab, pemerintah hanya memberikan ‘umur’ lima tahun sejak lembaga ini lahir di 1997.

Saya ingat persis, ada banyak kisah atas pengelolaan asset yang nilainya ratusan triliun rupiah di BPPN saat itu. Mulai seringnya gonta-ganti nahkoda, susahnya menghadapi para pengutang raksasa, kritikan keras hingga mendapat cap sebagai pengobral aset Negara yang kelewat murah, serta tudingan adanya indikasi terjadi patgulipat dalam penjualan asset yang saat itu sulit, bahkan tidak pernah terbukti.

Pun begitu dengan pemberian ‘surat cap lunas’ yang sekarang di soal KPK. Dulu, surat ini acap disebut sebagai surat release and discharge, yang artinya: surat bebas dari pengusutan hokum terkait persoalan utang piutang obligor kakap. Pemerintahan Megawati mengeluarkan kebijakan ini untuk para pemilik bank, penerima BLBI.

Kesepakatan ini seharusnya dihormati. Kecuali jika kesepatakan tersebut melanggar UU tertentu atau UUD. Ini demi adanya kepastian hukum.

Harus diingat pula, kasus BLBI ada dua koridor hukum yang harus dilihat yaitu pidana dan perdata. R&D itu masuk dalam koridor perdata. Bagi yang sudah bersepakat bisa diberi release (tidak dituntut hukum) dan discharge (dibebaskan utangnya). Tapi itu hanya yang menyangkut aspek perdata, sedang aspek pidana jelas tak bisa berhenti.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar