Alarm Rupiah

Rupiah kembali tenggelam. Pada Rabu pekan lalu (5/3) harga satu dollar Amerika Serikat (AS) setara Rp 13.220 berdasarkan kurs tengah Bank Indonesia (BI). Harga dollar AS semahal itu terakhir kali kita lihat tahun 1998, ketika negeri ini terjepit dua krisis sekaligus, politik dan nilai tukar.

tax property2

Dengan catatan historis semacam itu, tak heran banyak yang mulai cemas menyaksikan arah rupiah akhir-akhir ini. Apakah terjun bebasnya rupiah itu merupakan alarm situasi ekonomi Indonesia yang kian memburuk?

Pejabat, baik yang di pemerintah maupun di Bank Indonesia (BI), bisa ditebak, dengan sigap menjawab tidak untuk pertanyaan di atas. Mulai menteri koordinator perekonomian hingga presiden, maupun gubernur Bank Indonesia, menilai tak ada yang patut dirisaukan dengan kecenderungan rupiah untuk tiarap.

Kurang lebih alasan yang diungkapkan mereka adalah pelemahan rupiah terjadi sejalan dengan tren di pasar uang global. Penurunan rupiah terkini juga masih berada dalam kisaran naik-turun kurs yang dipegang BI, sebagai otoritas moneter, yaitu 3%-5% dari asumsi kurs Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015. Karena asumsi sebesar Rp 12.500 per USD, berarti dollar AS masih dianggap wajar jika berharga Rp 12.875 hingga Rp 13.125.

Kilah bahwa the greenback sedang digdaya di pasar finansial dunia belakangan ini memang tidak keliru. Kecenderungan itu terlihat dari indeks yang mengukur nilai tukar dollar AS terhadap valuta negara-negara besar (major currency). Pada Rabu pekan lalu pukul 18.00 WIB, indeks dollar AS selama lebih dari 11 tahun terakhir.

Selain karena makroekonomi Negeri Paman Sam yang mulai sehat, penguatan dollar AS juga terkait dengan strategi otoritas moneter di banyak negara. Berbagai negeri yang punya mesin ekonomi besar, semacam Jepang dan China, cenderung mengambil kebijakan moneter yang ujung-ujungnya melemahkan nilai tukar valutanya. Lomba melemahkan valuta masing-masing, yang popular disebut currency war, mulai terlihat sejak lima tahun silam.

Memang, valuta pinggiran semacam rupiah sangat rawan terimbas oleh kebijakan moneter yang diambil negeri pemilik major currency. Namun iklim dunia jelas bukan satu-satunya penyebab rupiah bak orang dehidrasi.

Neraca berjalan kita masih defisit per akhir tahun lalu. Memang jumlahnya mengecil menjadi -2,8% dari produk domestik bruto (PDB), jika dibandingkan dengan kuartal ketiga tahun lalu yang defisit -3,2%. Namun surplus neraca pembayaran di akhir 2014 mengecil menjadi 1,1% dari 2,9% per akhir kuartal III-2014.

Seretnya arus masuk uang ke dalam negeri mudah ditebak karena hampir satu dekade terakhir Indonesia mengandalkan sektor komoditas, terutama batubara dan sawit, untuk mencetak devisa. Celakanya, belakangan ini, tren harga komoditas tengah lesu.

Sektor manufaktur, yang menjadi tulang punggung di banyak negara maju, seakan berjalan di tempat. Itu tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) sektor manufaktur Indonesia yang dirilis HSBC. Sepanjang tahun ini, PMI untuk Indonesia masih di bawah 50, yang berarti kontraksi.

Memang, menumbuhkan sektor manufaktur merupakan upaya yang butuh waktu tahunan. Namun tugas jangka panjang itu akan lebih cepat selesai andai pemerintah punya skenario jangka panjang yang bertahap. Selama ini, kita masih berkutat pada agenda yang sangat basic, yaitu pembangunan infrastruktur.

Pelemahan rupiah baru-baru ini seharusnya menjadi wake up call bagi kita untuk merancang kembali industri dalam negeri. Ini bukan masanya menyebut pelemahan rupiah sebagai berkah terselubung bagi eksportir.

 

Sumber: KONTAN

pajak@pemeriksaanpajak.com

http://www.pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar