Titik Darah Penghabisan Mengerek Penerimaan

JAKARTA. Ada berita baik untuk para pengemplang pajak. Pemerintah berencana memberikan pengampunan pajak (tax amnesty) bagi para pelaku kejahatan pajak dan juga untuk pelaku kejahatan finansial lainnya. Syaratnya gampang: mereka harus membawa pulang dana miliknya yang tersimpan di luar negeri.

10

Maklum, menurut survei terbaru McKinsey Global Banking Pool yang dirilis Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), nilai dana milik warga negara Indonesia yang mengendap di rekening di luar negeri banyak banget. Angkanya mencapai US$ 250 miliar, atau 20% dari total dana Asian Currency Unit di dunia US$ 1,2 triliun.

Pemerintah berharap, dengan pengampunan pajak, sebagian dana itu masuk kembali ke Indonesia. Rencananya, aturan tersebut akan tertuang dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang akan dibahas pemerintah dan DPR.

Sejatinya, tax amnesty hanya satu dari beberapa poin penting perubahan UU KUP. Pemerintah memang memasukkan amandemen beleid itu sebagai salah satu dari 37 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015. Pemerintah menilai revisi UU KUP dirasa mendesak untuk meraih penerimaan pajak sesuai dengan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.

Maklum, sejak 2007 atau era Darmin Nasution menjadi Direktur Jenderal Pajak, penerimaan pajak tidak pernah berhasil mencapai target APBN. Tahun ini, pemerintah pasang target penerimaan pajak mencapai Rp 1.484,6 triliun atau naik Rp 346 triliun dari realisasi penerimaan tahun lalu. Padahal, tahun lalu saja penerimaan meleset Rp 102,7 triliun dari target. Makanya, pemerintah lantas berinisiatif mengamendemen UU perpajakan. Yang pertama diubah: UU KUP.

Sebelumnya, UU KUP sudah beberapa kali diamendemen. Tapi, ada beberapa poin penting dari perubahan kali ini. Pertama, ya, itu tadi, ada niatan dari pemerintah untuk menawarkan tax amnesty atau pengampunan pajak. Menurut Irawan, Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, tax amnesty ini akan berbeda dengan Sunset Policy yang pernah dipraktikkan Ditjen Pajak pada 2008 lalu.

Kebijakan “Matahari Terbenam” ketika itu cuma menawarkan penghapusan sanksi administratif berupa bunga. Yang sekarang sedang dikaji adalah pemberian fasilitas penghapusan pokok utang pajak bagi mereka yang tidak melaksanakan kewajiban pajaknya. “Jadi, yang dibayar hanya semacam tebusan,” kata Irawan. Tujuannya, apalagi kalau bukan menarik dana yang parkir di luar negeri karena ingin menghindari pungutan pajak dalam negeri.

 

Potensi masih besar

Pelanggaran yang mendapat pengampunan rencananya pun beragam. Bukan Cuma kejahatan perpajakan, melainkan uang hasil tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan lainnya. Akan memperoleh pengampunan. “Ini masih didalami. Apa perlu diperluas,” ujar Misbakhun, anggota Komisi Keuangan (XI) DPR, “Kalau wacana yang berkembang, yang tak bisa diampuni adalah dana terkait terorisme dan narkoba.”

Terobosan hukum luar biasa ini bukan tanpa alasan. Bisa dibilang, ini langkah penghabisan lantaran pemerintah sudah kehabisan akal mengerek penerimaan pajak. Kendala utamanya, Ditjen Pajak tidak punya data pembanding untuk mengecek kewajiban perpajakan. Padahal, potensi pajak kita sebenarnya masih besar.

Buktinya, tax-to-GDP ratio atau perbandingan penerimaan pajak dengan produk domestic bruto (PDB) kita baru mencapai 12%. Sementara, tax ratio Singapura sudah 14,3% dari PDB, Malaysia 15,5%, China 17%, Korea Selatan 26,8%, dan Jepang 28,3%. Bukti lain, total dana deposito di perbankan mencapai Rp 4000 triliun. Namun, pajak penghasilan (PPh) orang pribadi hanya 4,7 triliun.

Sebetulnya, pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31/2012 tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Lalu, aturan pelaksana Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.03/2013 tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Tata Cara Penyampaian Data dan Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan. Pada tahap awal penerapan PMK ini, sudah ada beberapa instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP) yang diwajibkan untuk memberikan data ke kantor pajak.

Contohnya, ditken lain di lingkungan Kementerian Keuangan, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I sampai IV, Bada Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), dan Kementerian Dalam Negeri termasuk pemerintah daerah. Lalu, Badan Pertahanan Nasional (BPN), Kementerian Perhubungan, serta Bank Indonesia (BI). Masalahnya, selain masih sangatn terbatas jumlahnya, upaya memperoleh data pihak swasta dari ILAP terkait juga enggak gampang prosesnya. Soalnya, tangan Ditjen Pajak bisa diibaratkan terikat.

Alhasil, banyak pihak yang cenderung mendukung dengan terobosan dengan kebijakan tax amnesty tersebut. DPR, misalnya, setidaknya, menurut Misbakhun, cenderung mendukung langkah pengampunan pajak ini demi mengerek penerimaan Negara. “Kalau berhasil menarik dana dari luar negeri akan bermanfaat sekali,” katanya.

Darussalam, pengamat perpajakan, juga mendukung kebijakan tax amnesty itu. Menurutnya, tak perlu mencurigai wajib pajak (WP) secara berlebihan. “Semua ingin babak baru, ingi hidup tenang, sesuatu yang wajar saja. Jadi, minatnya pasti ada,” ucapnya.

Alumnus European Tax Colege ini bahkan menilai , peminat kebijakan itu kalau menawarkan penghapusan pokok pajak bakal lebih besar lagi disbanding Sunset Policy tahun 2008. “Ini babak rekonsiliasi nasional,” ujar dia.

Dradjad Wibowo , pengamat ekonomi, juga setuju dengan rencana pengampunan pajak. Meski kebijakan ini sejatinya memang menguntungkan orang kaya dan orang yang doyan mengakali pajak, pengalaman menunjukan, negara yang menerapkan kebijakan tax amnesty penerimaan pajaknya meningkat. “Tapi, tetap harus diperhatikan detailnya,” imbuhnya. Contohnya, jangka waktu tax amnesty, besarannya, dan persyaratan track record yang bisa tax amnesty.

Problemnya, kalau implementasinya tak tepat, maka justru berpotensi merugikan penerimaan negara. Dradjad mencontohkan, ketentuan keberatan dan banding. Dalam aturan yang ada sekarang, wajib pajak tak perlu menyetorkan dulu pajak yang terutang jika mengajukan banding. Cuma, kalau WP menyerahkan lebih dulu dan ternyata menang, akan diberi imbalan bunga.

Keberatan Banding

Tahun 2007, saat amandemen aturan tersebut dengan Darmin Nasution, Dirjen Pajak saat itu, Dradjad mengaku sampai gebrak meja lantaran tak setuju dengan ketentuan tersebut. Dan, kekhawatirannya terbukti. “Dulu saya dianggap kurang pro pengusaha, tapi saya paham psikologi orang Indonesia yang makin cerdas untuk mengakali ketentuan,” kata anggota DPR periode 2009-2014 ini.

Irawan mengakui, ketentuan keberatan dan banding memang menjadi salah satu poin revisi UU KUP. “Kami mencoba menyeimbangkan antara hak dan kewajiban,” ujarnya.

Saat ini, Ditjen Pajak masih mengkaji posisi mana yang terbaik. Pada konteks pembayaran dalam kondisi banding, opsinya adalah : apakah kembali kepada ketentuan sebelumya yang mewajibkan WP menyetor 50% pajak terutang atau kembali ke aturan dulu menyetor 100% tanpa iming-iming bunga.

Selain itu, ada juga masalah pemeriksaan dan penyidikan pajak yang hendak diharmonisasi dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mengenal istilah penyelidikan dan penyidikan. Termasuk di dalamnya, bagaimana menjamin keseimbangan hak dan kewajiban dalam upaya penagihan aktif. “Misalnya, Ketentuan Surat Ketetapan Pajak (SKP) harus sekali saja atau boleh beberapa kali,” kata Misbakhun.

Dengan prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban itulah, Ditjen Pajak berhati-hati merumuskan ketentuan tax amnesty. Termasuk, bagaimana menjaga keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh membayar pajak. Sebab, ada kekhawatiran ketentuan pengampunan pajak akan mendorong WP untuk tidak patuh.

Karena itu, Ditjen Pajak pesimistis ketentuan tax amnesty akan bisa selesai tahun ini kalau dimasukkan dalam UU KUP. “Itu jangka panjang dan khusus sifatnya untuk menarik dana dari luar negeri”,” kata Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito.

Ditjen Pajak pun ingin agar ketentuan tax amensty dilegalkan dalam UU terpisah dan berdiri sendiri. “Bisa enggak ada yang bayar nanti, pada nunggu amnesty,” ujar Sigit.

Cuma, Misbakhun beranggapan, tax amnesty sebaiknya masuk dalam UU KUP. Anggota legislatif dari Partai Golkar ini menuturkan, ketentuan tersebut tak perlu berdiri terpisah karena masih terkait dengan ketentuan umum perpajakan. Ini juga sesuai dengan pendapat Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo yang menginginkan aturan tax amnesty masuk dalam UU KUP. Pasalnya, pemerintah menginginkan kebijakan pengampunan pajak sudah bisa diterapkan mulai tahun 2016.

Repotnya, Ditjen Pajak menilai ketentuan soal pengampunan pajak memiliki tingkat kompleksitas yang lebih rumit. Apalagi, ada niatan untuk menjadikan tebusan pajak sebagai pengampunan dana hasil kejahatan. Tentu, ini memerlukan upaya harmonisasi dengan UU yang lain. “Kalau pelanggaran korupsi, tentu terkait UU korupsi. Kalau kejahatan perbankan, bagaimana dengan UU Perbankan. Ini melibatkan banyak pihak lain,” ujar Irawan.

Ditjen Pajak sendiri memfokuskan upaya tahun ini ke proses pembinaan dan sosialisasi kewajiban perpajakan. Menurut Sigit, sedikit banyak instansinya menyadari masih kurang memberikan sosialisasi mengenai perpajakan. “Kami akan beriklan dan menggencarkan propaganda, jadi masyarakat tahu kewajibannya membayar pajak kemudian mereka sadar untuk membayar pajak,” katanya.

Darussalam punya pendapat senada. Dia mengatakan, tahun ini harus menjadi periode transisi dengan keharusan pembenahan administrasi dan aturan perpajakan. Tambah lagi, upaya mengerek penerimaan dengan perubahan regulasi baru akan sukses jika diiringi dengan reformasi kelembagaan, baik pengawasan, sistem data, maupun sumber daya manusia (SDM)-nya. “Sekarang momennya pas, ada penambahan SDM, pembangunan teknologi informasi, dan ada kebijakan untuk akses rekening,” ujar dia.

Sebab, kalau perubahan regulasi tidak berbarengan dengan kebijakan reformasi kelembagaan, malah berdampak negatif. Darussalam mencontohkan, kebijakan tax amnesty di Rusia yang gagal karena tanpa diiringi peningkatan kapasitas administrasi dan kelembagaan.

Untuk yang satu ini, menurut Gunadi, Ketua Umum Asosiasi Administrasi Fiskal dan Pajak Indonesia (IFTA), pemerintah harus memikirkan kembali rencana meningkatkan otonomi dan independensi Ditjen Pajak menjadi semi-autonomous revenuse services. Meskipun, Ditjen Pajak tetap ada di bawah Kementerian Keuangan.

Di negara lain, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, kantor pajaknya memiliki otonomi. Dinas Pajak mereka di kontrak pemerintah untuk mencari penerimaan sesuai target, dengan iming-iming bonus tentunya. Jadi, “Kalau sesuai target, dapat bonus, apalagi kalau lebih,” katanya.

Yang jelas, untuk mengejar target pajak tahun ini yang sangat tinggi, pemerintah memang harus mengeluarkan banyak jurus. Asal jangan kalap, ya.

 

Sumber: KONTAN

pajak@pemeriksaanpajak.com

http://www.pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar