Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) acap kali dianggap sebagai berkah terselubung bagi para eksportir. Saat nilai rupiah turun, laju ekspor akan meningkat.
Di atas kertas, anggapan itu memang tidak keliru. Logikanya, saat nilai tukar rupiah melemah, harga produk eskpor di negara tujuan menjadi lebih murah. Jadi, produk itu akan lebih mudah laku terjual. “Itu sudah hukumnya,” kata Benny Soetrisno, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI).
Masalahnya, eksportir belum tentu meraup untung saat rupiah melemah. Benny mengatakan, pelemahan rupiah akan menguntungkan jika komponen bahan baku dan biaya produksi menggunakan rupiah. Namun, jika menggunakan bahan baku impor dan banyak komponen biaya produksi memakai dollar, eksportir tidak memperoleh untung apa-apa.
Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Taufik Gani, mengamini, eksportir mebel bisa memperoleh untung dari selisih nilai tukar jika pelemahan rupiah terjadi dalam waktu singkat. Namun, jika rupiah melemah dalam waktu lebih dari dua pekan, harga bahan penunjang di dalam negeri biasanya juga ikut naik. Alhasil, biaya produksi juga ikut terkerek.
Apalagi, Taufik bilang, penyuplai bahan baku maupun bahan penunjang industri mebel saat ini pintar. Alih-alih menggunakan rupiah, mereka menjual produk bahan penunjang seperti cat ataupun sekrup dalam mata uang dollar AS. Alhasil, “Rupiah mau naik atau turun enggak ada pengaruhnya,” ujar Taufik.
Lain cerita jika eksportir sudah memiliki stok bahan baku setidaknya untuk tiga bulan ke depan. Lantaran bahan baku masih menggunakan harga lama, eksportir bisa sedikit untung saat rupiah melemah. Pada saat itu, eksportir harus cepat-cepat mengekspor produknya. Sebab, saat membeli bahan baku tiga bulan kemudian, harga sudah naik.
Nasib eksportir tekstil tak jauh beda. Benny bilang, sebanyak 100% kapas yang menjadi bahan baku tekstil merupakan produk impor. Bahan baku lainnya seperti poliester dan rayon memang disuplai dari dalam negeri. Namun, kedua produk tersebut dijual dalam mata uang dollar AS. Alhasil, sebanyak 60% bahan baku industri tekstil menggunakan dollar AS.
Belum lagi, biaya di pelabuhan untuk kegiatan ekspor juga menggunakan mata uang dollar AS. Alhasil, saat rupiah melemah, biaya produksi jelas ikut membengkak.
Meski begitu, menurut Taufik, penguatan dollar AS menandakan perekonomian negeri Paman Sam mulai membaik. Dengan begitu, permintaan mebel dari AS akan kembali meningkat. Taufik bilang, permintaan mebel dari Eropa dan AS sudah mulai meningkat sejak Januari lalu. Setidaknya, ada kabar cukup baik bagi para eksportir.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar