Soal perizinan memang bukan merupakan masalah baru bagi Indonesia. Komitmen untuk mengatasi masalah perizinan sudah sejak lama dilakukan. Delly Mustafa (2012) menunjukkan bahwa pada zaman Presiden Yudhoyono telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Hukum dan HAM, serta Kepala BKPM untuk mempercepat proses pembuatan izin usaha dari 60 hari menjadi 17 hari mulai awal januari 2010. Namun, apabila mengacu pada data International Finance Corporation, Indonesia justru memiliki jumlah hari yang lebih banyak (76 hari), 17 hari lebih banyak dari klaim pemerintah saat itu (60 hari).
Kini, masalah soal perizinan masih tetap berlanjut. Misal saja, kebijakan pemerintah Kalimantan Timur mengeluarkan aturan agar perusahaan yang memiliki bisnis di wilayah ini untuk berkantor pusat di Kalimantan Timur. Akibanya, apabila perusahaan tidak mematuhi pergub tersebut, izin usahanya akan terancam.
Aturan tersebut baru satu dari banyak aturan nyeleneh di Indonesia. Keberadaan otonomi daerah memungkinkan tiap daerah mengeluarkan aturan-aturan yang memang sesuai dengan kebutuhan daerah. Namun hal tersebut justru rentan menjadi masalah dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Tidak hanya menyangkut substansi yang kadang-kadang aneh, bahkan dari soal jumlah juga tidak kalah membuat sulit hidup pengusaha. Untuk bidang sektor hulu minyak dan gas (migas), paling tidak perlu 341 izin dari 17 instansi dan memerlukan 10 tahun-15 tahun (Kompas, 29/4/2015). Maka dari sisi jumlah waktu, banyaknya aturan, dan bahkan substansi, perizinan menimbulkan polemik tersendiri.
Perizinan sejatinya merupakan instrumen kebijakan pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap suatu bidang usaha. Hal ini merupakan suatu langkah antisipatif atas eses negatif yang mungkin saja timbul dari suatu aktivitas ekonomi yang dilakukan oleh suatu bidang usaha. Namun, perizinan jangan sampai hanya terjebak pada fungsi regulasi yang dimiliki oleh pemerintah, namun juga perlu mengingat fungsi alokatif, distributif dan stabilisasi (Sutedi, 2011).
Dalam hal inilah, pemerintah seharusnya melihat perizinan sebagai sebuah sarana untuk memaksimalkan potensi kekayaan baik hayati maupun sumber daya manusia yang ada. Untuk menilai keberhasilan suatu izin, tidak hanya dilihat dari sudut kuantitas yang berhasil diproduksi oleh pemerintah. Lebih dari itu, keberhasilan sebuah rezim perizinan haruslah dilihat dari sisi kualitas regulasi tersebut, yakni bagaimana ia dapat mempercepat aktifitas ekonomi yang terjadi tidak hanya di sebuah daerah, namun dalam konteks nasional.
Mengubah paradigma
Namun sayangnya, perizinan lebih dititikberatkan pada soal pendapatan asli daerah atau bahkan pendaptan negara, atau lebih parahnya lagi pendapatan institusi. Maka, tidak heran apabila terjadi perebutan kekuasaan untuk mengeluarkan perizinan tidak hanya antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, namun juga antar sesama pemerintah daerah. Kewenangan soal perizinan berarti peluang untuk mendapat uang, entah itu buat daerah atau buat pribadi.
Paradigma pundi-pundi semacam inilah yang akibatnya membuat pemerintah seolah berlomba-lomba mengeluarkan perizinan. Mengingat perizinan juga memiliki fungsi lain dari sekedar menambah pundi-pundi kas pemerintah, paradigma ini menjadi tidak relevan untuk menunjang kebangkitan ekonomi bangsa kita. Kalau saja pemerintah menyadari bahwa perizinan memiliki multiplier effect, banyaknya perizinan tidak akan terjadi. Keserakahan demi mendapat keuntungan jangka pendek lewat pemasukan perizinan harus dibayar mahal dengan mandegnya kegiatan usaha. Kalau sudah begini, perizinan yang tadinya diadakan untuk kemaslahatan rakyat justru kehilangan tujuan asalnya.
Untuk itu, harus ada supervisi dari kementerian dalam negeri terhadap pemerintah daerah. Tingginya pemasukan asli daerah harus dilihat secara teliti. Kalau pendapatan asli daerah yang tinggi akibat hasil dari perizinan, pemerintah harus memberikan lampu kuning dan perhatian ekstra terhadap kondisi birokrasi. Jangan sampai seolah-olah pendapatan asli daerah tinggi akibat kekuasaan perizinan namun ternyata rakyat disulitkan. Paradigma harus diubah bahwa keberhasilan rezin perizinan adalah lewat kepuasan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Untuk itu, pemerintah perlu rajin melakukan survey terhadap pelalu usaha.
Dalam konteks saat ini, sudah bukan saatnya lagi pemerintah menempatkan diri sebagai dalam sudut adversarial atau vis a vis dengan pelaku usaha, dimana keuntungan pengusaha artinya kerugian pemerintah dan begitu pula sebaliknya. Adalah lebih tepat bahwa simbiosis yang dibangun adalah mutualisme sehingga kemudahan dan keuntungan yang dinikmati pelaku usaha sebenarnya adalah keuntungan pemerintah juga.
Pemerintah jangan terlalu sempit mengartikan perizinan hanya dalam sudut pengaturan dan pengendalian, apalagi hanya sekedar sarana mendulang pundi-pundi. Apabila paradigma yang dibangun adalah paradigma mutualisme antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas, birokrasi dan perizinan akan menjadi sarana efektif, mengingat ia adalah pranata paling rasional yang dapat memberikan sumbangan ensensial bagi pembangunan (Sutedi,2011). Patutlah perizinan seharusnya hadir untuk melindungi dan memudahkan manusia untuk mencapai tujuan hidupnya, bukan justru mempersulit. Perizinan yang akuntabel, transparan, dan objektif adalah aset bangsa.
Selama paradigma kita mengenai perizinan tidak berubah, kita akan selalu kesulitan karena tidak ada daerah yang tidak memerlukan biaya dan perizinan hanya akan selalu dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapat tambahan pemasukan. Pembenahan dalam perizinan harus dimulai dengan mengubah konsep dasar dan cara pandang soal perizinan sehingga keberadaannya tidak menjadi benalu di tubuh bangsa ini. Jika tidak, rakyat akan terus bertanya-tanya, sebenarnya, perizinan ini ada untuk siapa?
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar