Siapapun yang bergerak di dunia kesehatan pasti memahami bahwa BPJS memiliki masa depan yang cerah di Indonesia. Masalahnya, seperti bayi yang berjalan masih meronta-ronta, BPJS masih memikul berbagai persoalan yang menghambatnya untuk maju.
Faktanya, BPJS memang menghasilkan dilema bagi seluruh pelaku usaha kesehatan. Tidak sedikit rumah sakit swasta yang dirugikan akibat banyak masyarakat beralih ke layanan BPJS. Bahkan, ada yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi karena menganggap BPJS memonopoli usaha asuransi kesehatan.
Persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha kesehatan yang berperan di BPJS pun tidak kalah berat. Claim-ratio sudah di atas 100%. Artinya, dana yang tersedia dari iuran peserta sudah tidak mencukupi untuk membiayai aktivitas BPJS. Alhasil, BPJS malah merugi akibat membludaknya jumlah pasien. Di sisi lain, imbal balik secara materi yang didapatkan oleh dokter dan rumah sakit dari BPJS sangat minim.
Bahkan terdapat pemikiran lain bahwa sebaiknya masyarakat kelas atas lebih baik dibebaskan dari beban BPJS dan menggunakan jasa asuransi swasta. Sayangnya pemikiran itu justru mencederai semangat gotong royong yang dibawa BPJS, yakni masyarakat kaya ikut berpartisipasi membantu penyediaan layanan kesehatan bagi masyarakat miskin.
Selain itu, pemikiran tersebut juga tidak didasarkan pada data dan fakta. Berdasarkan analisa data Susenas tahun 2014, 30% kelompok masyarakat dengan pendapatan tertinggi (decile 8,9 dan 10) sudah lebih banyak menggunakan jasa asuransi kesehatan swasta. Kondisi berbeda jika melihat 40% masyarakat dengan pendapatan terendah (decile 1,2,3, dan 4) yang menggunakan BPJS sebagai asuransi kesehatannya.
Alhasil, BPJS sebenarnya belum menjadi wadah subsidi silang antara masyarakat kaya dengan masyarakat menengah dan miskin. Sebab, kontribusi masyarakat kaya masih minim. Tidak sedikit masyarakat yang mampu membayar lebih tinggi justru memilih pelayanan BPJS.
Mengusir orang kaya untuk tidak menggunakan layanan BPJS justru merupakan langkah yang ceroboh. Lebih baik memberikan ruang untuk orang kaya dan layanan asuransi swasta untuk berpartisipasi dalam BPJS.
Pemerintah, dalam hal ini otoritas BPJS, harus memanfaatkan peluang besarnya permintaan atas jasa asuransi swasta. Sebab, jasa layanan asuransi swasta sebenarnya dapat memasukkan unsur iuran BPJS dalam pembayaran biaya asuransinya. Sehingga, masyarakat berpendapatan tinggi dapat berpartisipasi dalam BPJS.
Kalau disadari, potensi ini sangat besar. Sebab, tidak sedikit masyarakat kelas menengah yang menggunakan BPJS dan asuransi swasta secara bersamaan. Dengan menghubungkan antara jasa asuransi kesehatan swasta dengan BPJS, risiko double claim akan menjadi lebih minim. Selain itu, pemain swasta di sektor kesehatan juga akan terhindar dari risiko besarnya opportunity cost bila tidak bergabung dengan BPJS.
Rumah sakit swasta pun akan lebih tertarik ikut serta dalam skema BPJS. Sebab, hal ini akan meminimalkan risiko rugi akibat membludaknya jumlah pasien BPJS. Setidaknya, mereka masih mampu mengambil margin keuntungan dari pasien kelas menengah ke atas yang menggunakan manfaat dari gabungan asuransi BPJS dan asuransi swasta.
Dari sisi pengguna layanan, masyarakat akan memiliki kebebasan untuk memilih asuransi yang akan dipakai. Mereka bisa menggunakan layanan dari rumah sakit pemerintah maupun swasta dengan biaya yang ditanggung oleh split pembayaran atas BPJS dan asuransi swasta.
Bagi pemerintah, BPJS juga tetap dapat menjadi payung dalam pelayanan kesehatan masyarakat. Keberadaan pemain swasta dalam BPJS juga akan meminimalkan monopoli dalam sektor usaha kesehatan dan menciptakan iklim usaha kesehatan yang lebih kondusif. Pemain swasta juga akan menjadi lebih efisien karena harus mampu bersaing dan menawarkan kelebihan dari BPJS maupun competitor lain. Pemerintah juga dapat lebih fokus untuk memperbaiki ketimpangan infrastruktur kesehatan di setiap daerah.
Bagi beberapa pihak, persoalan dalam BPJS dianggap biasa karena baru berjalan satu tahun. Tetapi bila tidak ada langkah inovatif dan progresif, bukan tidak mungkin permasalan BPJS akan terus melarut-melarut dan tidak kunjung selesai.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar