Daripada Mengejar Rakyat Biasa, Baiknya Jokowi-JK Buru Pajak Raksasa Model Nestle dan Astra

7

Saat ini, di bawah pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penerimaan negara anjlok: dari yang biasanya  20-25 persen menjadi 13 persen. Kondisi ini membuat Indonesia mudah digoyang pasar.

Demikian disampaikan ekonom senior yang juga Chairman DW & Partners, Dradjad H Wibowo. Menurut Dradjad, dalam penerimaan negara, sektor pajak menjadi hal yang paling berat.

Saat ini, Dradjad menjelaskan, wajib pajak orang pribadi (WP-OP) yang membyar pajak hanya sekitar 900 ribu orang, dari sekitar 10 juta yang memasukkan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT). Jumlah SPT dan juga jumlah orang pribadi yang NPWP yang sekitar 26 juta, sepertinya kelihatan cukup besar. Dan kalau yang 10 juta SPT itu rata-rata membayar Rp 3 juta saja setahun, atau Rp 250 ribu sebulan, maka sepertinya di atas kertas sudah ada potensi tambahan pajak sekitar Rp 30 triliun.

Dari pernyataan Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro soal wajib pajak, Dradjad menangkap kesan pemerintah juga akan mengejar yang di luar 900 ribu orang itu. Tentu saja langkah ini merupakan langkah yang salah besar.

“Sebagian besar dari mereka itu PNS, pekerja, jurnalis, usaha rumahan kecil, staf-staf dan lain-lain. Memang mereka wajib bayar pajak. Jelas itu. Tapi mereka sekarang menanggung beban kenaikan harga BBM dan harga-harga lain. Rakyat bisa marah,” kata Dradjad kepada Kantor Berita Politik RMOL beberapa saat lalu (Jumat, 1/5).

Dradjad menyarankan lebih baik pemerintah mengejar WP badan yang sekarang sedang diproses di pengadilan pajak dan WP Badan yang dicurigai curang pajak melalui transfer pricing. Contohnya Astra Internasional (ASII).

“Mereka punya kasus di pengadilan pajak senilai, kalau tidak salah, Rp 2 triliun. Menariknya, beberapa hari lalu mereka mengangkat mantan Menkeu Chatib Basri dan juga Mari Pangestu sebagai komisaris independen. Nah pemerintah jangan ewuh pakewuh, dan harus bisa memastikan menang melawan ASII di pengadilan pajak. Demikian juga melawan Nestle, saya lupa Rp 600 atau Rp 800 miliar,” ungkap Dradjad.

Daripada energi dihabiskan mengejar-ngejar rakyat biasa, lanjut Dradjad, pemerintah lebih baik fokus menghadapi raksasa-rakasa tersebut. Belum lagi ada laporan dari aparat pajak yang bekerja sama dengabn aparat-aparat intelijen, yang menemukan kecurangan pajak dalam pengapalan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan CPO besar dengan nama-nama besar.

“Mereka ini yang harus dikejar secara hukum pajak,” demikian Dradjad.

Sumber: RMOL

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar