Jakarta, KOMPAS – Realisasi pajak, sebagai sumber utama penerimaan negara, bakal jauh di bawah target. Akibatnya, defisit melebar dari target 1,9 persen menjadi 2,2-2,3 persen terhadap produk domestik bruto. Untuk menutup defisit, utang pun membengkak Rp 40 triliun dari rencana semula.
“Dampak ini semua adalah stimulus fiskal tidak terjadi secara optimal. Pertumbuhan ekonomi mungkin hanya 5 persen. Bahkan, bisa sedikit di bawah, misalnya 4,9 persen,” kata Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono yang dihubungi dari Jakarta, Kamis (25/6).
Kementerian Keuangan telah menyusun proyeksi realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 sampai dengan akhir tahun. Mengacu skenario terburuk, realisasi penerimaan pajak hingga akhir 2015 sekitar 92,7 persen dari target atau kurang dari Rp 120 triliun dari target.
Total target pajak 2015 adalah Rp 1.274,26 triliun. Angka ini di luar penerimaan bea masuk, bea keluar, dan cukai.
Anggaran belanja yang tak terserap diproyeksikan Rp 80 triliun. Asumsinya, belanja kementerian dan lembaga negara terserap 92 persen. Adapun belanja modal dalam anggaran di setiap kementerian dan lembaga negara terserap 85 persen.
Dengan demikian, pemerintah perlu tambahan utang Rp 40 triliun dengan defisit yang melebar menjadi 2,2-2,3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Dengan target utang 2015 mencapai Rp 222,5 triliun, utang bersih yang akan ditarik pemerintah tahun ini bertambah menjadi Rp 262,5 triliun.
Tony berpendapat, skenario tersebut itu sangat mungkin terjadi. Hal ini terutama disebabkan perolehan pajak yang jauh di bawah target. Perihal penyerapan anggaran yang rendah, menurut Tony, adalah persoalan klasik yang terbukti belum terpecahkan hingga kini.
Instrumen
Untuk mengejar pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin, Tony berpendapat, APBN-P 2015 tetap merupakan instrumen utama. Sebaliknya, peran perbankan justru kurang signifikan.
Sebab, dengan situasi ekonomi seperti sekarang, perbankan enggan berekspansi karena khawatir potensi kredit macet yang besar. Diperkirakan, ekspansi kredit perbankan 2015 sekitar 12 persen, atau di bawah target Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia yang sebesar 15 persen.
“Pasar mengalami tekanan kepercayaan. Namun, bukan tanpa harapan. Hasrat Presiden Joko Widodo untuk mengebut di infrastruktur masih memberi harapan,” kata Tony.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan, skenario penerimaan pajak yang kurang Rp 120 triliun dari target tersebut bisa lebih buruk lagi pada realisasinya. Hal ini mungkin terjadi jika tren penerimaan di semester I berlanjut di semester II.
Sampai dengan awal pekan ini, penerimaan pajak baru Rp 431 triliun atau 33 persen dari target. Padahal, Kementerian Keuangan menargetkan realisasi pada semester I sebesar 40 persen.
“Ditjen Pajak mesti fokus pada program yang bisa dioptimalkan dengan sisa waktu yang ada agar penerimaan bisa lebih baik,” kata Prastowo.
Sumber: Kompas
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak


Tinggalkan komentar