Rencana pemerintah menaik-turunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sempat membingungkan pebisnis makanan dan minuman. Sebab, menurut Adhi S. Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), dalam produksi hitungan harga pokok yang sudah mempunyai satu asumsi, yakni harga bahan baku, BBM, energi, dan upah minimum, yang mempengaruhi harga pokok barang.
Belum lagi pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat harga bahan baku mahal. Maklum, sekitar 70% dari kebutuhan bahan baku industri makanan lokal masih diimpor. Dampak terbesar dialami industri makanan yang berbahan baku tepung terigu. Bahan baku lain, meski ada di dalam negeri, pasokannya juga belum tersedia secara kontinyu untuk skala industri.
Tak Cuma itu, kuota impor gula mentah atau raw sugar belum sesuai kebutuhan industri. Saat ini izin impor gula mentah hanya 1,61 juta ton di semester I-2015. Sementara kebutuhan industri makanan dan minuman mencapai 1,8 juta ton. “Total, kebutuhan gula dalam negeri untuk konsumsi dan industri sekitar 5 juta ton, sementara pasokan lokal hanya 3 juta ton,” kata Adhi.
Industri Air Minum Dalam Kemasan punya masalah lain. Maret lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA). Konsekuensinya, kontrak-kontrak penguasaan sumber daya air yang diberikan pemerintah pusat maupun daerah berupa kerja sama dalam bentuk keperdataan batal demi hukum. Kontrak-kontrak ini termasuk kontrak pengelolaan sumber daya air ke (AMDK) maupun pengelola jasa air ledeng yang digandeng perusahaan daerah air minum (PDAM).
Hendro Baroeno, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (Aspadin), bilang, industri AMDK swasta menunggu aturan baru pemerintah. Cuma, kalau pembatasan akses air ke industri AMDK, sejatinya tidak tepat. Soalnya, semua industri, mulai perhotelan, tekstil, hingga baja menggunakan air yang disedot dari tanah.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar