Pabrik Obat Menelan Pil Pahit Rupiah

obat

Pelemahan nilai tukar selalu menjadi momok bagi perusahaan yang bergantung pada bahan baku impor. Saat dollar Amerika Serikat (AS) naik, biaya bahan baku otomatis naik. Ujung-ujungnya margin laba bisa tergerus.

Perusahaan farmasi di Indonesia tidak luput dari dampak pelemahan rupiah. Apalagi, nilai tukar rupiah sepanjang separuh pertama tahun ini turun tajam. Akhir tahun lalu, rupiah masih bertengger di Rp 12.388 per dollar AS. Namun, Senin lalu (20/7), rupiah turun hingga Rp 13.395 per dollar AS. Jadi, tahun ini nilai rupiah sudah susut 7,52%. Padahal tahun lalu depresiasi rupiah cuma 2,2%.

Makin rendah nilai tukar kurs rupiah, kinerja perusahaan farmasi bakal makin tertekan. Maklum, menurut analis Bahana Securities Michael Wilson Setjoadi, sekitar 90% bahan baku farmasi merupakan produk impor. Padahal, porsi biaya bahan baku mencapai 75% terhadap total biaya produksi produk farmasi.

Dengan begitu, komponen biaya bahan baku impor mencapai 67,5% harga pokok penjualan. Michael menghitung, setiap depresiasi rupiah sedalam 10%, harga pokok penjualan akan naik 10%. Sementara, pada takaran yang sama margin keuntungan otomatis tergerus sampai sebesar 6,5%.

Lantaran sentimen pelemahan rupiah ini, harga saham emiten farmasi merosot. Harga saham PT Kimia Farma Tbk (KAEF) anjlok hingga 32,1% sepanjang semester I-2015. Harga saham PT Scan Tempo Pacific (TSPC) juga anjlok hingga 30,2%. Sedangkan harga saham PT Kalbe Farma Tbk (KLBF) dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO) turun masing-masing sebesar 8,5% dan 7,4%.

Untungnya, perlambatan ekonomi tidak berdampak banyak bagi perusahaan farmasi. Sebab, orang sakit tetap akan membutuhkan obat meski kondisi kantong terbatas.

Program JKN

Meski begitu, penjualan produk nutrisi dan produk kesehatan bisa terpengaruh oleh perlambatan ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat. Business Monitor International (BMI) memperkirakan, belanja produk kesehatan di Indonesia tahun 2014-2017 hanya tumbuh rata-rata 10,2%. Padahal selama 2010-2013, rata-rata bisa tumbuh sampai 10,7%.

Dalam risetnya pada Mei lalu, analis Mandiri Sekuritas Vanessa Ariati Tanuwijaya menulis, bahwa penurunan belanja produk kesehatan di 2015 merupakan dampak penerapan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Program ini menyebabkan pergeseran belanja obat dari obat resep dokter (ethical drug) ke obat generik yang berharap jauh lebih murah.

Perubahan pola ini bisa menyebabkan margin keuntungan perusahaan farmasi turun. Maklum, margin keuntungan obat resep jauh lebih besar ketimbang obat generik. Menurut Michael, margin keuntungan obat generik hanya 20%. Bandingkan dengan margin keuntungan obat resep yang bisa mencapai 60%.

Toh, analis Danareksa Sekuritas Armando Marulitua mengatakan, program JKN juga memberikan dampak positif bagi penjualan pabrik peracik obat. Volume penjualan obat meningkat lantaran kenaikan permintaan. Oleh karena itu emiten farmasi masih punya peluang tumbuh meski tertekan pelemahan rupiah. Perusahaan farmasi bisa mengerek naik harga jual obat untuk mengatasi penurunan margin. Emiten juga telah menyusun strategi mengatasi pelemahan kurs rupiah.

Seperti apa prospek kinerja emiten farmasi? Simak rekomendasi para analis terhadap emiten farmasi berikut ini.

 

imagesKLBF

Dalam tiga bulan pertama tahun ini, penjualan bersih Kalbe Farma mencapai Rp 4,45 triliun. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penjualan bersih emiten ini hanya tumbuh 4,4%. Sedang laba bersih KLBF secara tahunan tumbuh 7,2% menjadi Rp 529 miliar.

Direktur Keuangan KLBF Vidjongtius bilang, perlambatan pertumbuhan penjualan disebabkan pertumbuhan yang negatif di bisnis distribusi dan logistik, serta dampak penarikan salah satu produk obat resep. Selain itu, kinerja KLBF juga terkena dampak situasi ekonomi makro yang melemah.

Berkaca dari kinerja kuartal satu tadi, KLBF pun merevisi target pertumbuhan penjualan bersih tahun ini menjadi 7%-9%. Sebelumnya, target pertumbuhan penjualan bersih di kisaran 11%-13%. Manajemen KLBF juga memangkas target pertumbuhan laba bersih tahun 2015 dari 14%-16% menjadi 9%-11%.

Vidjongtius mengakui, hampir semua bahan baku KLBF diimpor. Setiap depresiasi rupiah sebesar 10% akan membuat COGS naik sekitar 3,5%. Untuk itu, KLBF memiliki strategi mengatur promosi produk antara produk obat resep, produk kesehatan, dan produk nutrisi. “Kami menyeleksi produk untuk dipromosikan,” kata Vidjongtius.

KLBF juga berupaya untuk menekan biaya bahan baku agar lebih efisien. Vidjongtius mengatakan, perusahaan juga mencari sumber bahan baku lain yang lebih efisien. Untuk mengurangi tekanan pelemahan rupiah, KLBF juga akan terus menggenjot ekspor obat ke asean sebagai bentuk lindung nilai atau hedging alami.

KLBF juga berencana membangun pabrik biosimilar di Cikarang, Jawa Barat. Bila pabrik ini beroperasi, kalbe bisa mengurangi impor bahan baku obat berbasis bahan biologis. Namun, pabrik baru akan dibangun setelah lebaran. Jadi, belum ada kontribusi pada pendapatan dalam jangka pendek.

Selain pelemahan rupiah, Michael mengatakan, KLBF juga terkena dampak dari program JKN. Lantaran tidak masuk ke segmen obat generik, KLBF tidak memperoleh keuntungan dari program JKN. Sebaliknya, migrasi konsumsi obat resep ke obat generik membikin performa KLBF menurun.

Migrasi dari obat resep ke obat generik juga akan menekan margin kotor KLBF di segmen obat-obatan sehingga turun menjadi 59,5% di tahun ini. Namun, Vanessa bilang, KLBF akan memperoleh kenaikan margin kotor di segmen nutrisi dari 54,8 % di tahun 2014 menjadi 56 % di tahun 2015.

Memang, KLBF merupakan pemimpin pasar di segmen produk nutrisi dan kesehatan. Tapi, Armando menilai segment tersebut rentan terhadap penurunan daya beli masyarakat.

Toh, Michael menghitung laba bersih KLBF hingga akhir tahun masih bisa tumbuh 9,2 % menjadi Rp 2,25 triliun, dengan pendapatan sebesar Rp 18,5 triliun. Karena itu, Michael memberikan rekomendasi beli untuk saham KLBF dengan target harga Rp 2.000 per saham.

Sementara Armando menilai valuasi harga saham KLBF sudah mahal ketimbang emiten farmasi lain. Armando memberikan rekomendasi taha untuk saham KLBF dengan target harga Rp 1.890 per saham. Kamis lalu (23/7), harga saham KLBF ditutup di Rp 1.705 per saham.

 

kaefKAEF

Sepanjang tiga bulan pertama tahun ini kinerja Kimia Farma cukup moncer. Emiten dengan kode saham KAEF ini mencetak kenaikan pendapatan tahunan 17,2 % menjadi Rp 1,02 triliun, dengan laba bersih melonjak 87,85 % menjadi Rp 43,9 miliar.

Meski begitu, tahun ini KAEF hanya mengalokasikan belanja modal Rp 590,6 miliar, turun 37,13 % ketimbang belanja modal 2014 lalu. Direktur Utama Faek Rusdi Rosman mengatakan, belanja modal tahun ini dialokasikan untuk membangun pabrik secara bertahap serta mengembangkan apotek dan klinik.

Awal tahun ini KAEF mulai membangun pabrik obat di Banjaran, Jawa Barat. Investasi untuk pabrik tersebut sekitar  Rp 400 miliar. Tahun ini, emiten farmasi pelat merah ini juga menargetkan pembukaan 155 gerai yang terdiri dari 100 apotek, 50 klinik dan 5 laboratorium klinik. Dengan penambahan ini, hingga akhir tahun KAEF akan memiliki 717 apotek dan 300 klinik.

Untuk mengantisipasi penurunan margin akibat pelemahan rupiah, KAEF telah mengerek harga jual sebagian produk obat sejak kuartal I lalu, khususnya obat resep dan obat bebas alias over the counter (OTC). KAEF juga akan memperbesar pendapatan dari pasar luar negeri sebagai bentuk hedging alami. Tahun ini, Kimia Farma menggenjot ekspor agar mencapai target Rp 105 miliar, naik dari ekspor tahun lalu, Rp 47 miliar.

KAEF juga membangun pabrik garam farmasi sejak tahun lalu. Pabrik dengan nilai investasi Rp 30 miliar itu akan dioperasikan tahun ini. Dengan memiliki pabrik garam farmasi sendiri, KAEF beharap bisa menekan dampak pelemahan kurs rupiah.

Tapi Michael menilai, dengan kapasitas 3.000 ton per tahun, pabrik garam farmasi di Jombang tadi hanya akan menyumbang 5 % terhadap total pendapatan KAEF. Michael memasang target harga di level Rp 1.750 per saham. Sedangkan Armando mematok target harga Rp 1.500 per saham.

Armando bilang, valuasi harga saham KAEF lebih murah ketimbang KLBF. Kami lalu (23/7), harga saham KAEF ditutup Rp 1.090 per saham.

 

tempo-scan-pacificTSPC

Sepanjang kuartal I lalu, Tempo Scan Pacific membukukan kenaikan penjualan bersih 14,12 % menjadi Rp 1,94 triliun. Tapi, emiten dengan kode saham TSPC ini mengalami penurunan laba bersih 8,5% menjadi Rp 231,88 miliar.

Vice President Director TSPC Diana Wirawan dalam keterangan resmi mengatakan, penurunan laba bersih disebabkan biaya operasional yang melonjak 23,3% jadi Rp 497,5 miliar. Pembengkakan biaya operasional ini disebabkan kenaikan biaya promosi dan gaji pegawai.

Vanessa menilai, pelemahan rupiah tidak terlalu memberikan dampak besar terhadap TSPC. Sebab, porsi bahan baku impor emiten ini hanya sekitar 50 %-60 %. Migrasi konsumsi obat dari obat resep ke obat generik akibat program JKN juga tidak memberikan dampak besar. Sebab, TSPC selama ini lebih fokus menjajakan obat OTC, yang menyumbang 80%-83% penjualan divisi farmasi.

Meski begitu, TSPC berencana mengikuti tender pengadaan obat untuk program JKN. Jika rencana ini terealisasi, Michael mengatakan TSPC bisa memperoleh margin keuntungan yang lebih baik. Sebab, margin keuntungan terbesar sebetulnya berasal dari divisi farmasi yang mencapai 65 %. Sedangkan margin keuntungan dari penjualan divisi kosmetik cuma sebesar 59,4 %. Margin kotor penjualan divisi distribusi paling rendah yakni 14 %.

Kuartal I tahun lalu, TSPC meluncurkan produk susu UHT pertama mereka, yakni Vidoran Kids with Cod Oil. Vanessa optimistis segmen nutrisi akan jadi salah satu pendorong pertumbuhan dalam jangka panjang.

Vanessa menghitung TSPC bisa meraup laba bersih Rp 627 miliar hingga akhir tahun. Sedang Michael menyebut, laba bersih TSPC hingga tutup tahun sekitar Rp 640 miliar, dengan pendapatan Rp 8,2 triliun.

Valuasi TSPC juga murah. Karena itu, Michael dan Vanessa member rekomendasi beli untuk TSPC. Michael memasang target harga Rp 2.400 per saham, sedang Vanessa mematok target Rp 3.000 per saham. Kamis lalu (23/7), saham TSPC dilego Rp 2.000 per saham.

 

imagesSIDO

Tahun lalu, Sido Muncul mulai fokus mengembangkan bisnis farmasi dengan mengakuisisi PT Berlico Mulia Farma. Pada kuartal I-2015, penjualan divisi farmasi emiten berkode SIDO ini mencapai Rp 21,33 miliar.

Untuk menghadapi pelemahan rupiah, manajemen SIDO telah mengerek harga jual produk farmasi sebesar 5 % pada Maret lalu. Selain itu, manajemen SIDO juga berupaya memperbesar pasar ekspor. Tahun ini, Sido muncul mulai menjajal masuk ke pasar Filipina.

Tapi, menurut Michael, upaya manajemen SIDO memperbesar pasar ekspor ke Filipina belum akan banyak menyumbang pendapatan. Untungnya, SIDO masih mengandalkan jualan jamu herbal sehingga tidak terlalu tergantung pada bahan baku impor. Dengan begitu dampak pelemahan rupiah tidak besar. Vanessa menilai, bisnis jamu herbal masih menjadi pendorong utama kinerja SIDO. Menurut dia, potensi permintaan jamu herbal akan membaik sejalan dengan rencana manajemen meluncurkan minuman energi siap minum.

Vanessa merekomendasikan beli saham SIDO dengan target harga Rp 600 per saham. Sedang Michael merekomendasikan tahan dengan target harga Rp 700 per saham. Kamis (23/7), harga saham SIDO masih di level Rp 520 per saham.

Nah, silahkan pilih obat kuat yang memberikan cuan paling gede bagi anda.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar