Seorang bocah perempuan merengek-rengek kepada ibunya yang berdiri tak jauh dari penjual sosis bakar di food court Cimanggis Square, Kelapa Dua, Depok, Minggu (2/8) lalu. “Bikin satu, ya,” ucap ibu muda ini menuruti kemauan anak sambil menyodorkan uang sebesar Rp 15.000. Wajah sang anak yang berpostur gemuk itu terlihat berbinar-binar saat menyantap sosis yang menjadi makanan kesuakaannya.
Memang beberapa tahun belakangan ini, usaha sosis bakar atau sosis panggang menjamur di mana-mana. Maklum, makanan berbahan olahan daging ini banyak digemari hampir semua lapisan masyarakat, tak hanya anak-anak tapi juga orang dewasa. Jadi tak heran jika pedagang sosis bakar mudah dijumpai dari mulai mal, pasar tradisional, terminal, restoran, kafe, dan hotel. Bahkan, depan sekolah dan kampus pun tak luput dari lapak penjual makanan berbentuk panjang bulat itu.
Kenaikan konsumsi olahan daging, seperti sosis, bakso, nugget, burger, daging asap, dan produk sejenis lainnya ditengarai lantaran pendapatan masyarakat juga naik. Pendek kata, masyarakat mulai mengurangi konsumsi karbohidrat dengan memperbanyak asupan protein.
Anehnya, bukannya senang dengan perkembangan terbaru ini, para pelaku industri pengolahan daging di dalam negeri justru tengah resah berat.
Dua pekan silam, Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia (Nampa) melayangkan surat kepada Kementerian Pertanian (Kemtan) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengevaluasi fenomena ini dan mengambil kebijakan terhadap lonjakan suplai olahan daging.
Usut punya usut, ternyata tidak semua sosis dan olahan daging lain yang beredar di pasaran adalah buatan lokal. Dalam tiga tahun terakhir, terjadi peningkatan impor olahan daging yang luar biasa.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, peningkatan nilai impor olahan daging dimulai sejak 2012 lalu yang senilai US$ 306.612. Pada 2013, impor sosis melonjak menjadi US$ 4,52 juta dan kembali naik menjadi US$ 5,55 juta.
Artinya, terjadi kenaikan 18 kali lipat ketimbang 2012 atau senilai US$ 5,25 juta. Sebagian besar impor sosis berasal dari Malaysia dengan nilai US$ 4,76 juta atau sekitar 85,73% dari impor sosis secara keseluruhan. Adapun untuk produk selain sosis, 79,2% dari nilai impor atau US$ 14,24 juta pada tahun lalu berasal dari Australia.
Dari data BPS juga diketahui, impor olahan daging selain sosis terus membengkak. Bahkan, terjadi kenaikan 45% atau senilai US$ 4,35 juta.
Padahal, pada 2012, nilai impor baru US$ 9,88 juta, tapi meloncat ke angka US$ 12,63 juta per 2013. Nilai impor menanjak lagi menjadi US$ 14,24 juta di 2014.
Ketua Nampa, Ishana Mahisa, bilang, lonjakan impor sosis paling besar terjadi pada paruh kedua 2013. Sebelumnya, rata-rata impor hanya 50 ton per bulan. Tapi, enam bulan selanjutnya mendadak menjadi 400 ton per bulan. “Banjir sosis murah dari Malaysia merupakan peringatan serius,” katanya.
Hasil penelusuran Nampa di berbagai daerah, sosis, bakso, dan produk daging olahan buatan Malaysia banyak beredar di pasaran, seperti di Medan dan Pontianak. Selain itu, peredaran sosis dan bakso illegal juga marak di wilayah-wilayah perbatasan. Terbukti, pada 6 Juli lalu, Kepolisian Sektor Pontianak Utara berhasil menggagalkan upaya penyelundupan 70 dus sosis illegal asal Malaysia.
Ishana mengungkapkan, sosis butan Malaysia ini pun sudah beredar di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, dan Bekasi (Jabodetabek) dan sekitarnya. Tapi baru sebatas di food service seperti hotel, restoran, kafetaria, dan catering. Peredarannya belum masuk ke pasar tradisional dan ritel modern karena pengawasan ketat.
Modusnya, pihak manufaktur dari Malaysia langsung menawarkan ke pengguna dengang iming-iming harga sangat murah, rasa lebih enak, dan jaminan kualitas bagus. “Apa tidak tertarik dengan harga murah. Namanya bisnis, kan, cari untung besar. Sedangkan konsumen tidak tahu sosis yang dipakai asalnya dari mana,” beber Ishana.
Memang, saat ini pangsa produk olahan daging impor belum besar karena masih terpusat di food service. Perkiraan Nampa, baru sekitar 12%. Volume produksi nasional dari 32 anggota Nampa mampu memenuhi kebutuhan sampai 80%. Kapasitas terpasang untuk sosis sapi pada tahun ini diproyeksikan 350.000 ton, naik dari tahun lalu yang hanya 296.000 ton. Adapun total kapasitas terpasang produksi sosis ayam mencapai 240.000 ton, naik dari tahun lalu, sebesar 205.000 ton.
Tapi, banjir sosis impor bisa jadi ancaman dalam beberapa tahun ke depan. Sebab, selain unggul dari sisi harga dan kualitas, banyak pula yang sudah mengantongi izin edar BPOM.
Setidaknya BPOM sudah mengeluarkan izin edar produk olahan daging impor sebanyak 172 produk selama periode 2014 hingga 8 Juni 2015, di antaranya 19 izin jenis produk sosis. Perinciannya, Malaysia sebanyak 9 izin, Tiongkok 3, Korea 3, Singapura 2, dan Prancis 2. Untuk produk olahan lainnya, sebanyak 153 izin, yakni untuk Tiongkok 45 izin, Malaysia 36, Taiwan 19, Singapura 12, Korea 10, dan Prancis 9.
Meski dampaknya belum terasa begitu besar, Ishana mencemaskan produk sosis impor dan sejenisnya bisa tembus pasar tradisional dan ritel modern, selain food service. Ini sangat memungkinkan karena pasar bebas ASEAN atau MEA segera berlaku tahun depan. “Apa bisa dicegah masuknya produk sosis dari luar ketika perdagangan bebas berlaku,” katanya.
Di luar itu, Ishana heran kenapa izin edar produk olahan daging impor ini bisa keluar dari BPOM. Padahal, ada Surat Menteri Pertanian Nomor 101/205 tertanggal 27 April 2015 yang menyatakan impor olahan daging dibatasi dengan mengetatkkan persyaratan keamanan pangan, dan kehalalan.
Tak cuma itu, sejak 2011, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kemtan tidak pernah menerbitkan rekomendasi impor olahan daging, terutama ayam. Bahkan, Kemtan pernah menyatakan tidak merekomendasikan impor olahan daging sapi berbahan baku dari negara belum bebas penyakit kuku dan mulut (PMK).
Atas dasar itu, Nampa mengirim surat kepada Kemtan dan BPOM yang berisi meminta kedua instansi itu menyikapi serius masalah ini. Asosiasi dan pemerintah perlu komunikasi dan melakukan benefit and risk analysis terkait melonjaknya impor produk olahan daging. “Dua minggu lalu, saya kirim surat untuk minta koordinasi, tapi Nampa belum juga dipanggil. Mungkin pekan depan,” harap Ishana.
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 84 Tahun 2013 dituding menjadi pemicu lonjakan impor sosis. Sebab, beleid ini memberi lampu hijau bagi impor produk olahan daging yang menggunakan bahan baku daging dari negara belum bebas PMK.
Betsy Monoarfa, pemilik Fiva Food Meat, membenarkan, sosis asal Malaysia menggunakan daging sapi dari India yang belum bebas PMK dan harganya sangat murah. Saat produk impor ini masuk secara masif, maka akan membuat daya saing produk lokal tergerus akibat selisih harga yang timpang. “MEA belum diberlakukan tapi sudah banjir olahan daging impor. Ini benar-benar ancaman, jangan main-main,” tandasnya.
Menurut Betsy, harga bahan baku industri di dalam negeri tidak kompetitif dan tidak ada pilihan lain akibat tersandera regulasi yang tidak adil. Sebab itu, pemerintah harus memberikan perhatian soal bahan baku karena sangat vital bagi kelangsungan industri. “Kami setuju impor barang jadi dibatasi. Tapi bahan baku industri yang masih terbatas dan harganya tidak pantas, perlu diberi kelonggaran impor agar industri tetap tumbuh,” pintanya.Betsy pun mengingatkan, Undang-Undang Perindustrian telah mengamanatkan agar pemerintah menjamin ketersediaan bahan baku industri.
Ishana memaparkan, harga daging sapi dari India sekitar Rp 30.000 per kg, sedangkan daging sapi Australia di atas Rp 60.000 per kg. Alhasil, harga sosis buatan Malaysia rata-rata di pasaran US$ 2,29 per kg. Dengan kurs dollar AS pada 2014 senilai Rp 13.000, maka harga sosis impor ini adalah Rp 29.770 per kg. Sedangkan sosis lokal dengan kualitas sama harganya bisa mencapai Rp 60.000 per kg karena menggunakan bahan baku dari sapi Australia yang harganya lebih mahal. Celakanya, “Produsen dalam negeri dilarang impor bahan baku daging sapi dari negara yang belum bebas PMK,” keluh Ishana.
Sumber bahan baku juga menyebabkan harga sosis daging ayam dari Malaysia lebih murah dari Indonesia. Penyebabnya, pemerintah Malaysia memperbolehkan pemakaian bahan baku impor seperti pasta ayam atau mechanically deboned meat (MDM), yakni daging ayam giling yang diperoleh dari pemisahan dengan mesin.
Harga MDM ayam impor ini di bawah US$ 0,8 per kg. Sebagai gambaran, J.A. ter Maten B. V, produsen MDM asal Jerman, per Agustus ini mematok harga MDM ayam sebesar US$ 0,6-US$ 0,7 per kg. Adapun harga MDM yang setiap pekan ditentukan oleh Konsorsium MDN Ayam Indonesia di kisaran Rp 15.000-Rp 19.750 per kg. Selama dua pekan terakhir, harga MDM ayam dipatok Rp 18.000-an. Artinya, impor MDM jauh lebih murah ketimbang produksi MDM dalam negeri.
Letak masalahnya, produsen di Indonesia dilarang mengimpor MDM ayam untuk industri. Sebab, ada ketentuan yang mewajibkan kebutuhan bahan baku tersebut harus dipennuhi dari dalam negeri.
Direktur PT Soggoodfood Manufacturing Roy Heru Wibowo berharap, agar mampu bersaing di era MEA kelak, pemerintah harus berpihak kepada pengembang industri olahan daging dalam negeri. “Kami meminta perlakuan adil. Jika tidak, industri olahan daging lokal hancur,” ungkapnya.
Roy meminta pemerintah tegas melarang impor sosis dan olahan lainnya dengan bahan baku dari negara yang masih terjangkit PMK. “Kami di dalam negeri, kan, bahan bakunya harus daging yang bebas PMK, seperti dari Australia,” ujarnya.
Jika pemerintah tidak bisa melarang produk olahan daging impor dari negara yang menggunakan bahan baku yang belum bebas PMK, Nampa menuntut kebijakan yang sama dengan negara lain. Artinya, industri dalam negeri diperbolehkan mengimpor bahan baku daging sapi dari negara belum bebas PMK dan MDM ayam agar persaingan menjadi sehat. “Kalau industri olahan daging Indonesia hancur, setidaknya 250.000 karyawan di lingkungan anggota Nampa di luar industri rumahan terancam menganggur,” ujarnya.
Masalahnya pelik juga, ya.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak


Tinggalkan komentar