Pemerintah tetapkan bea masuk impor minuman beralkohol untuk menahan laju impor
JAKARTA. Ruang gerak pelaku bisnis minuman beralkohol semakin terjepit di Indonesia. Kondisi ini terjadi karena pemerintah memperketat aturan mengenai peredaran minuman beralkohol ini.
Usai mengeluarkan aturan pembatasan peredaran minuman beralkohol di minimarket, pemerintah selanjutnya menaikkan bea masuk minuman beralkohol melalui Peraturan Menteri Keuangan No 132 Tahun 2015.
Dalam beleid ini, bea masuk minuman kadar alkohol kurang dari 80% seperti brandy, whisky, rum dan sejenisnya ditetapkan tarif bea masuk 150% dari harga dasar. Aturan ini membuat importir minuman beralkohol kelimpungan.
Agoes Silaban, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir dan Distributor Minuman Impor (APIDMI) bilang, dampak pertama yang mereka rasakan adalah, kenaikan harga jual. “Bea masuk naik harga jual juga naik,” kata Agoes kepada KONTAN, Kamis (13/8).
Semula, bea masuk minuman beralkohol ditetapkan berdasarkan satuan liter bukan satuan harga. Misal, untuk bir impor ditetapkan bea masuk Rp 14.000 per liter. Adapun saat ini bea masuk bir ditetapkan 90% dari harga dasar.
Begitu juga dengan produk minuman kategori brandy, whisky, rum, sebelumnya dikenakan sejenisnya dikenakan bea masuk Rp 125.000 per liter. Perubahan aturan inilah yang membuat importir harus merogoh kocek lebih banyak untuk membayar bea masuk. “Aturan ini mempersulit kami,” kata Agoes.
Sayang, Agoes tak memiliki data resmi soal jumlah produk minuman alkohol yang diimpor ke Indonesia. Agoes hanya memproyeksikan, sebelum kebijakan baru bea masuk minuman beralkohol berlaku, minuman beralkohol impor hanya menguasai pasar 30%. Adapun pangsa pasar terbesar dikuasai minuman beralkohol produksi lokal.
Saat harga minuman beralkohol impor naik, yang menjadi kekhawatiran Agoes adalah, konsumen beralih membeli produk selundupan atau ilegal. Sudah rahasia umum peredaran minuman beralkohol ilegal atau selundupan marak di negeri ini.
Agoes mengindikasikan, dari seluruh minuman beralkohol impor yang beredar, hampir 90% merupakan ilegal. “Tapi untuk minuman impor alkohol berkadar di bawah 5% (bir), lebih banyak yang legal karena bea masuknya masih masuk akal,” terang Agoes.
Mengenai kemungkinan maraknya aksi penyeludupan minuman alkohol impor ini, Agoes menceritakan beragam modus. Mulai dari menyuap petugas di pintu-pintu masuk pelabuhan, hingga pengiriman barang selundupan melalui pelabuhan tikus. “Ada banyak pelabuhan tikus di Indonesia,” pungkas Agoes.
Terkait masalah ini, dua importir anggota APIDMI yang dihubungi KONTAN tak mau berkomentar. Mereka seakan bungkam dan tak mau bicara soal bisnis mereka. Banyak pelaku bisnis ini tak mau bicara karena bisnis minuman ini merupakan bisnis sensitif di Indonesia.
Hingga saat ini belum ada data resmi berapa besar pangsa minuman beralkohol di Indonesia. Namun, mengacu data impor minuman beralkohol dari Badan Pusat Statistik (BPS), impor minuman alkohol cenderung naik dari tahun ke tahun.
Ambil contoh, tahun 2011, impor minuman beralkohol jenis sparkling wine tercatat 10.373 kilogram (kg). Volume impor ini naik 84% menjadi 19.144 kg di pada 2014.
Faiz Ahmad, Direktur Industri Minuman dan Tembakau Kementerian Perindustrian menjelaskan, pemerintah mengerek bea masuk minuman beralkohol untuk melindungi industri minuman beralkohol lokal. “Selain itu juga untuk mengurangi konsumsi masyarakat,” kata Faiz.
Soal dampak aturan ini, Faiz memperkirakan adanya penurunan impor minuman beralkohol. Nah soal risiko kenaikan tingkat penyeludupan, Faiz bilang pihaknya sudah menyadarinya. “Aktivitas selundupan bisa naik, tapi kami akan koordinasi dengan bea cukai, dan pihak-pihak terkait untuk bisa mencegah penyelundupan,” ujar Faiz.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar