JAKARTA. Perlambatan ekonomi memang membuat gamang. Tak terkecuali Bank Indonesia (BI). Hingga saat ini otoritas moneter tesebut masih menimbang apakah akan fokus menjaga stabilitas ataukan mendorong pertumbuhan ekonomi di 2016.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, dalam menentukan arah kebijakan moneter, BI harus mewaspadai ekonomi ekonomi dunia tahun depan yang bakal terdampak kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) dan melesunya ekonomi China. “Kami timbang-timbang dari aspek stabilitas dan pertumbuhan. Kami sedang pelajari,” ujar Perry, Selasa (18/8).
Apalagi dua faktor eksternal tersebut saat ini sudah memberi dampak negatif pada nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs tengah BI, nilai tukar rupiah kemarin (20/8) bertengger di posisi Rp 13.838 per dollar AS. Jika BI memutuskan untuk mengambil langkah kebijakan stabilitas, maka suku bunga acuan atawa BI Rate akan ada di level lebih tinggi dari saat ini yang sudah mencapai 7,5%.
Sebenarnya, BI sudah mulai melakukan perubahan kebijakan dengan bauran kebijakan. Sebelumnya, kebijakan moneter dan makro prudensial diarahkan pada stabilitas. Dengan stabilitas, inflasi relatif terkendali dan defisit transaksi berjalan membaik. Ketika indikator inflasi dan defisit transaksi berjalan membaik, BI bisa melakukan relaksasi dengan melonggarkan kebijakan makro prudensial.
Di sisi moneter, Perry mengatakan, BI tetap fokus pada kebijakan stabilitas karena tekanan rupiah yang tak kunjung mereda.
Gubernur BI Agus Martowardojo menambahkan, proyeksi sementara BI tentang pertumbuhan ekonomi tahun depan di kisaran 5,4-5,8%. Namun proyeksi terbaru akan disampaikan BI pada rapat dengan pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pekan depan.
Menurut Agus, sumber utama pertumbuhan tahun depan dari pembentukan modal tetap bruto alias investasi. Investasi diproyeksi berperan paing besar dengan kontribusinya pada pertumbuhan sebesar 6,9-7,3%. Kemudian disusul konsumsi rumah tangga yang diperkirakan tumbuh 4,9-5,3%.
Asal tahu saja, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,5% lebih tinggi dari outlook ekonomi tahun ini sebesar 5-5,2%.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi ini jelas pemerintah membutuhkan bantuan bank sentral demi merealisasikan target tersebut, utamanya untuk stabilitas nilai tukar dan inflasi.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sebelumnya mengatakan, BI mempunyai ruang untuk menurunkan suku bunganya pada bulan Desember 2015. Meskipun begitu, kebijakan tersebut sepenuhnya bergantung dari keputusan BI.
Pemerintah pun tidak berniat melakukan intervensi agar BI mau menurunkan BI Rate. “Mereka fokus pada stabilitas moneter. Kami tidak mau intervensi terhadap bank sentral,” tandas Bambang.
Sementara itu ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi arah kebijakan BI pada tahun depan masih fokus menjaga stabilitas ekonomi. Dengan begitu, suku bunga tetap masih akan tinggi.
Bahkan, prediksi Josua, suku bunga tahun depan berpeluang naik 25 basis poin menjadi 7,75%. Itu terjadi saat The Fed kembali menaikkan suku bunganya secara berkelanjutan. Kenaikan BI Rate ini akan diambil BI untuk menjaga rupiah karena pasar Indonesia masih bergejolak.
“Tahun depan kondisi eksternalnya lebih mendominasi,” tutur Josua. Di sisi lain, BI perlu menjaga inflasi karena harga bahan bakar minyak (BBM) bisa saja naik sewaktu-waktu karena tergantung dari kebijakan pemerintah.
Maka dari itu, kebijakan untuk mendorong ekonomi tahun depan ada pada tangan pemerintah. Pemerintah harus mulai menyerap anggarannya pada semester dua ini secara optimal agar bisa memberikan dampak pada ekonomi tahun depan.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar