Wacana Ekspor Konsentrat Mineral Menuai Kecaman

indexJAKARTA. Wacana Kantor Menteri Koordinator Perekonomian untuk membuka kembali ekspor mineral mentah demi menambah devisa sekaligus membantu cashflow perusahaan untuk membangun smelter menyulut kontroversi. Pengusaha mineral yang sudah membangun dan memiliki smelter menyatakan, pemerintah tidak konsisten untuk menjalankan kebijakannya.

Direktur Pengembangan PT Indofero Jonathan Handojo, mengatakan, wacana pelonggaran ekspor bahan mentah itu berawal dari paparan salah satu Deputi Menko Perekonomian pada 27 Agustus 2015 dihadapan pengusaha mineral dan batubara.

Dalam presentasinya  pejabat ini menjabarkan bahwa relaksasi ekspor bakal menambah devisa dan membantu cashflow perusahaan yang membangun smelter. “Persoalannya: apa pasti nikel dan bauksit yang dijual ada pembelinya? Padahal harga dua komoditas itu sendiri di pasar dunia sedang jelek,” tegasnya Selasa (1/9).

Dia mengatakan, cashflow perusahaan seret bukan karena tidak bisa ekspor mineral. Namun, mereka kesulitan cashflow karena partner perusahaan lokal yang mayoritas dari China sedang kesulitan keuangan. Akibatnya mereka mundur dari proyek smelter. Misalnya adalah Sinosteel Coorporation dan Glencore dan sekitar tujuh perusahaan menengah lain dari China yang menyatakan mundur.

Jonathan menilai, jika pemerintah melonggarkan ekspor mineral mentah, akan ada 21 perusahaan smelter berhenti operasi. Sebab pasokan konsentrat akan mengalir ke luar negeri. “Total investasi smelter ini US$ 30 miliar loh, masa harus berhenti karena beberapa perusahaan saja,” tandasnya.

 

ESDM akan evaluasi

Presiden Direktur PT Vale Indonesia Tbk Nico Kanter meminta pemerintah konsisten untuk tidak melonggarkan kebijakan larangan ekspor mineral mentah khususnya bijih nikel.

Pembangunan smelter nikel yang ada sekarang didorong kebijakan larangan ekspor bijih nikel.  “Walaupun harga nikel rendah karena lemahnya permintaan dari pasar China,” terangnya.

Dia mengingatkan, pembangunan smelter nikel membutuhkan dana besar, proses perencanaan yang panjang dan terperinci. “Untuk itu, investor membutuhkan kepastian hukum dalam bentuk konsistensi kebijakan larangan ekspor bijih nikel. Apabila ada relaksasi, maka investasi yang telah maupun yang akan masuk akan hilang,” tegasnya.

Selain itu, Nico mengingatkan, semakin banyak bijih nikel di ekspor dari Indonesia, harga nikel dunia semakin menurun, sehingga pendapatan yang diperoleh dari ekspor bijih akan terdilusi oleh harga nikel yang rendah.

Dia memperkirakan, pendapatan dari ekspor bijih yang murah tidak akan cukup untuk membiayai kebutuhan modal yang besar untuk proyek smelter. “Oleh karena itu, relaksasi terhadap larangan ekspor bijih nikel, untuk membantu pembangunan smelter yang kesulitan dana, justru bertentangan dengan semangat peningkatan nilai tambah,” uajrnya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot Ariyono mengatakan, paparan dari kantor Menko Perekonomian itu masih wacana. “Jadi saya katakan belum bisa diputuskan. Masih kami evaluasi, bisa iya, bisa tidak,” terangnya, di kantornya, Selasa (1/9).

Pengamat Pertambangan Simon Sembiring menyatakan, pemerintah jelas melanggar UU Minerba jika memberikan relaksasi ekspor kepada perusahaan tertentu seperti Freeport. “Kalau pemerintah mau membuka ekspor mineral ke semua perusahaan, Indonesia tidak konsisten dan membingungkan,” kata dia.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar