Uji ketahanan OJK dan BI menyatakan bank bisa menyerap risiko.
Rupiah betul-betul tak berdaya. Sudah dua pekan terakhir mata uang garuda berkutat di kisaran Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat (AS). Di pasar spot, Kamis (11/9) lalu, rupiah melemah 0,5% ke posisi Rp 14.333 per dollar AS. Kurs tengah Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan pelemahan rupiah sebesar 0,7% menuju Rp 14.322.
Ini posisi rupiah teremah sejak 1998. BI pun sudah menyatakan, nilai tukar rupiah sudah di bawah fundamentalnya. Alhasil, pelemahan rupiah tentu mendatangkan rasa cemas akan datangnya krisis moneter seperti 1997 – 1998. Kala itu ekonomi Indonesia mendapat hantaman telak yang berasal dari pelemahan rupiah yang membuat banyak bank kolaps.
Bagi perbankan, kondisi semacam ini bisa membawa masalah. Rupiah yang terus keok melawan dollar AS bisa membuat banyak pelaku usaha yang berutang ke bank kesulitan membayar cicilan. Maklum, sebagian besar bahan baku merupakan produk impor. Alhasil, dollar yang mahal membuat harga barang yang mereka produksi ikutan menjadi mahal. Celakanya, daya beli masyarakat sedang memble sehingga penjualan kian merosot.
Kalau sudah begini, perbankan bakal menorehkan peningkatan rasio kredit bermasalah atawa nonperforming loan (NPL). Keadaan ini menuntut bank mengerek pencadangan yang akan berujung pada penggerusan rasio modal atau capital adequacy ratio (CAR).
Tak berhenti sampai di situ, Bank juga harus menghadapi risiko likuiditas valuta asing (valas). Dalam kondisi pelemahan rupiah seperti sekarang, banyak pihak yang masih belum bersedia melepas valas mereka. Perbankan bisa mengalami kesulitan likuiditas jika tidak punya pasokan valas, sementara ada kewajiban utang yang jatuh tempo dalam waktu dekat.
Meski bakal banyak masalah akibat pelemahan rupiah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih percaya diri Perbankan Indonesia bisa menyerap segala risiko yang muncul. Mengacu pada stress test yang mereka lakukan Maret lalu, saat rupiah bertengger di kisaran Rp 13.000 per dollar AS, bank kita masih cukup kuat menyerap risiko ketika mata uang merah putih menyentuh level Rp. 14.000. Soalnya, pendapatan bunga bank masih didominasi oleh bunga kredit. Sedangkan penghasilan bank dalam valas dangat kecil.
Dalam uji ketahanan tersebut, menurut OJK, hanya ada empat bank sampai lima bank umum kegiatan usaha (BUKU) I yang modalnya tergerus signifikan. Lembaga superbodi itu sudah meminta para pemegang saham bank-bank tersebut untuk menambah modal.
Tiga bank sudah menginjeksi modal tambahan sebesar Rp 150 miliar sampai Rp 300 miliar. Sementara dua bank lainnya melakukan penyesuaian strategi bisnis agar tak memberatkan bisnis mereka.
Cuma, Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan OJK, mengklaim, sekalipun nilai tukar rupiah menembus angka Rp 15.000 per dollar AS, perbankan kita masih kuat. “Tapi, ada kenaikan NPL. Kalau modal tergerus, bank harus tambah modal,” tegasnya.
Hasil uji ketahanan perbankan oleh BI juga menunjukkan hal yang sama. Dalam stress test BI terhadap risiko pasar, mulai suku bunga, nilai tukar, sampai surat berharga negara (SBN), kondisi permodalan perbankan masih kuat.
Hasil uji ketahanan dengan asumsi kenaikan suku bunga hungga 5%, CAR bank hanya turun 62 basis poin (bsp). Depresiasi nilai tukar rupiah sampai 50%, juga hanya memangkas CAR 3 bps. Sedang simulasi penurunan harga SBN 25% memperlihatkan, modal bank hanya tergerus 185 bps.
BI juga melakukan stress test dengan asumsi bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed) melakukan normalisasi suku bunga. Dalam ujian ini, alat likuid perbankan akan turun 16% pada akhir 2015. Sementara tingkat likuiditas perbankan turun 287 bps. Kondisi itu masih aman lantaran di atas threshold 8,5%. Tapi, BI melakukan pengujian menggunakan data keuangan bank tahun 2014 lalu.
Industri perbankan memang cukup sehat. Bank terus menumpuk modal. Pada Juni lalu, CAR perbankan ada di kisaran 20,28%, lebih tinggi dari posisi akhir 2014 sebesar 19,57%. Sebagian besar modal perbankan merupakan modal inti (tier I) yang berasal dari pemegang saham dan modal ditahan.
Kondisi likuiditas perbankan pun masih terjaga. Rasio intermediasi atau loan to deposit ratio (LDR) sudah turun jadi 88,46%. Adapun rasio alat likuid masih berkisar 17,35%.
Nah, yang sedikit mengkhawatirkan sejauh ini hanya NPL bank. Sejak awal tahun kredit bermasalah terus menunjukkan tren kenaikan. Per Juli lalu, NPL ada di angka 2,55%. Memang, masih jauh dari threshold 5%, tapi sudah mendekati 3% yang berarti lampu kuning.
Walau terlihat masih aman, sejumlah bank sudah melakukan langkah antisipasi. Bank Rakyat Indonesia (BRI), misalnya. Bank spesialis usaha mikro, kecil dan menengah ini telah menggelar uji ketahanan dengan asumsi rupiah di Rp 16.000 per dollar AS. Hasil tes memperlihatkan, CAR BRI masih di atas 8%. Cuma,”NPL bisa naik menjadi 2,5%,” kata Sunarso, Wakil Direktur Utama BRL. Pada medio 2015 lalu, CAR bank pelat merah ini sebesar 20,15% dan NPL-nya 2,2%.
Sebagai langkah antisipasi, BRI akan menjaga likuiditas valas mereka. BRI bakal membawa LDR valas ke kisaran 50% – 60% sampai akhir tahun. Tingkat likuiditas ini akan disesuaikan dengan memastikan tercukupinya kebutuhan dan pertumbuhan kredit valas.
Tak cuma itu, BRI akan selektif dalam menyalurkan kredit valas. BRI hanya memberikan pinjaman valas pada perusahaan yang pendapatannya dalam mata uang asing. BRI juga bakal mengerem penyaluran kredit pada sektor yang rentan terkena dampak pelemahan rupiah. “Kami memang sangat berhati-hati dalam menyalurkan kredit valas,” ucapi Budi Satria, Sekretaris Perusahaan BRI.
Saat ini porsi kredit valas BRI hanya 10% – 11% dari total kredit. Sementara NPL valas di rentang 1,2% hingga 1,4%.
Bank Mandiri juga sudah melakukan langkah antisipasi dengan melakukan stress test. Bank dengan aset terbesar ini menggelar uji nilai tukar Rp 13.500 sebagai asumsi terensdah dan Rp 15.800 sebagai asumsi moderat. Hasilnya: kondisi permodalan Bank Mandiri cukup memadai. Bahkan mereka masih bisa berkinerja positif.
Kartika Wirjoatmodjo, Direktur Keuangan Bank Mandiri, bilang, dalam kondisi pelemahan rupiah tersebut, NPL banknya masih bisa dikendalikan. Bank Mandiri telah melakukan pencadangan yang optimal. Mereka berencana tetap mempertahankan coverage ratio di level 130% sampai dengan akhir tahun. Pada Juni, coverage ratio Bank Mandiri sebesar 135%.
Langkah serupa juga diambil Bank CIMB Niaga. Vera Handajani, Direktur Risk Management CIMB Niaga, mengatakan, banknya selalu melakukan comprehensive stress test tiap enam bulan atau lebih sering bila situasi dianggap membutuhkan uji ketahanan itu. Skenario stress test yang digunakan mencakup keadaan moderat dan ekstrim, dengan mempertimbangkan situasi lain serta diminta oleh regulator. “Kedua hasil stress test yang komprehensif dan konservatif memperlihatkan kemampuan CIMB Niaga agar menjaga kecukupan modal dan tingkat likuiditas dalam kondisi stress hingga satu bulan ke depan,” beber Vera.
Menurut CIMB Niaga, pelemahan rupiah tidak berpengatuh signifikan. Pasalnya, porsi kredit berdominasi dollar AS sangat kecil dari total kredit CIMB Niaga. Selain itu, mayoritas pinjaman tersebut berasal dari perusahaan yang pendapatan dalam dollar AS.
Nah, saat ini yang menjadi perhatian CIMB Niaga adalah dampak pelemahan rupiah terhadap aktivitas ekonomi. Depresiasi rupiah bisa mempengaruhi kualitas aset dan keterlambatan kredit. Sebagai langkah antisipasinya, sejak awal tahun CIMB Niaga secara proaktif mengambil beberapa upaya. Contohnya, menambah pencadangan aktiva produktif, melakukan restrukturisasi, mengadakan review dan stress test terhadap berbagai protofolio sektor industri, menentukan strategi untuk antisipasi pemburukan kualitas debitur.
Segendang sepenarian, Haryono Tjahjarijadi, Direktur Utama Bank Mayapada Internasional, mengklaim, pelemahan rupiah tidak berefek besar terhadap banknya. Soalnya, porsi pinjaman dollar AS hanya 1% dari total kredit mereka. “Sebagian besar penyaluran kredit kami juga pada sektor perdagangan. Mereka ambil barang jadi kemudian jual dengan ditambah margin,” ujarnya.
Walau tak berdampak gede, bukan berarti Bank Mayapada tidak menyiapkan langkah antisipasi. Dalam rangka menjaga likuiditas, Bank Mayapada menaikkan secondary reserve atau dana yang ditempatkan di BI dalam bentuk sertifikat BI dan Sertifikat Deposito BI menjadi 18% dari total dana pihak ketiga (DPK). Padahal, bank sentral hanya mematok 10%.
Bank Mayapada dalam waktu dekat juga akan menawarkan saham perdana dengan target mendapatkan suntikan dana sebesar Rp 650 miliar. Uang ini akan membuat CAR-nya naik menjadi 14%. Aksi korporasi ini dipercepat sebagai bentuk antisipasi kondisi pasar yang kian tidak kondusif. “Dalam rencana bisnis, awalnya kami berencana melakukannya di akhir tahun nanti,” ungkap Haryono. Sedia payung sebelum hujan.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak


Tinggalkan komentar