Hindari PHK, DPR Minta Pemerintah Revisi Target Penerimaan Negara di RAPBN 2016

employees

Jakarta-Sejumlah anggota Komisi XI DPR meminta agar Pemerintah merevisi asumsi target penerimaan negara melalui pajak dan bea cukai di Rancangan APBN (RAPBN) 2016. Sebab bila dipaksakan, justru akan mempersulit kalangan dunia usaha dan potensi memperbesar tingkat pemutusan hubungan kerja (PHK).

Desakan itu disampaikan sejumlah anggota Komisi XI DPR dalam rapat kerja membahas asumsi dasar dalam RUU APBN 2016, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (21/9). Hadir dalam rapat itu Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, Menteri Bappenas Sofyan Djalil, dan Gubernur BI Agus Martowardoyo.

Menurut Anggota Komisi XI DPR, M.Misbakhun, pihaknya prihatin dengan realisasi penerimaan negara dari pajak dan cukai saat ini yang baru 51 persen dari target di APBNP 2015. Padahal, APBN tahun ini tinggal tersisa kurang dari tiga bulan lagi.

Masalahnya, di asumsi RAPBN 2016 yang diajukan Pemerintah, target kenaikan pendapatan negara dari pajak dan cukai justru tambah dinaikkan. Padahal, sejumlah kalangan dunia usaha sudah mengadu ke Parlemen soal perlunya Pemerintah mendukung mereka di tengah situasi makro ekonomi yang sulit saat ini. Apalagi ditambah makin buruknya situasi moneter akibat kurs rupiah yang makin terjepit atas dolar AS.

“Saya inginkan asumsi makro yang realistis. Asumsi makro itu melihat bagaimana kepercayaan pasar. Reaksi pasar akan natural kalau memang dia positif. Ini yang harus dipikirkan bersama. Jangan sampai asumsi makro ini justru membangun yang sebaliknya,” kata Misbakhun.

Menurut Misbakhun, dunia usaha butuh insentif, sehingga seharusnya target kenaikan penerimaan pajak dan cukai tak terlalu membebani mereka.

“Mereka para pelaku usaha itu kan butuh bertahan hidup. Situasi ekonomi sedang tak bagus begini perlu diberi insentif kepada dunia usaha. Ya termasuk terkait pajak dan cukai, supaya tak menekan napas mereka,” kata Misbakhun.

Politikus Golkar yang juga Sekretaris Panitia Kerja (Panja) Penerimaan Negara Komisi XI itu, mencontohkan industri rokok dan tembakau. Pertama kali dalam sejarah, di 2015, pendapatan industri rokok menurun.

“Di tahun ini saja sudah terjadi penurunan penjualan industrinya. Kalau target cukai dipaksakan naik, akan jadi masalah di industrinya,” kata dia.

Untuk mengatasi risiko fiskal, Misbakhun mendorong agar Pemerintah mencari alternatif pembiayaan yang minim risiko, sebagai kebijakan politik yang diambil. Risiko minim yang dimaksud adalah pinjaman yang tanpa syarat menyulitkan pemerintah serta tingkat suku bunga tak memberatkan.

“Misalnya, kita bisa cari utang tak ke pasar tapi berbunga rendah. Bisa lewat multilateral atau bilateral. Presiden (Joko Widodo, red) kan sudah ke Timur Tengah membicarakan kemungkinan mendapat pembiayaan demikian. Ada alternatif lain juga seperti Jepang dan Tiongkok juga. Saya yakin upaya Presiden itu serius untuk mencari alternatif pembiayaan di saat penerimaan pajak tak tercapai, ini yang terbaik,” katanya.

Hal senada diungkapkan anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Indah Kurnia, yang mengingatkan bila Pemerintah memaksakan target penerimaan negara terlalu tinggi, maka bisa berkonsekuensi pada meningkatnya risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Dia mencontohkan dengan kenaikan cukai 7-8 persen di cukai rokok, ada 20.000 pekerja di-PHK perusahaan rokok.

“Kalau nanti mau dinaikkan 23 persen, bisa diprediksi 60.000 pegawai di-PHK. Itu baru dari pabrik. Belum imbas ke petani dan distributornya,” kata Indah.

Anggota Komisi XI DPR lainnya, Maruarar Sirait, menambahkan agar Pemerintah mendengarkan keluhan para pelaku dunia usaha yang sudah menyatakan akan sulit bila target penerimaan pajak dan cukai dinaikkan Pemerintah. Menurut Politikus PDIP itu, jauh lebih baik Pemerintah menargetkan penerimaan yang lebih rendah tapi tak menganggu sektor usaha.

“Kalau lebih realistis dan usaha tetap hidup, bisa jadi ke depan Pemerintah bisa mendapat penerimaan lebih dari yang ditargetkan sekarang. Kalau Pemerintah memulai dengan optimisme berlebihan, tapi nanti tak tercapai, kan lebih parah. Jauh lebih baik targetnya lebih rendah Rp 150 triliun misalnya, tapi nanti capaiannya lebih tinggi. Itu lebih bagus,” jelar Maruarar.

Sumber: Berita Satu

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar