Pelemahan ekonomi disertai penguatan dollar Amerika Serikat (AS) bak palu ganda yang memukul industri manufaktur. Saat ekonomi lesu, penjualan mereka turun. Di sisi lain, biaya produksi bengkak karena dollar yang terlalu kuat.
Bagi industri yang kreatif, tentu siasat efisiensi langsung terealisasi. Namun, jika efisiensi operasioonal tak mencukupi, efisiensi berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) tentu menjadi solusi.
Sektor industri yang mengonfirmasi melakukan PHK adalah keramik. Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Keramik dan Aneka Industri (ASAKi) Hendrata Atmoko bilang, sebagian mereka tak bisa bertahan karea biaya produksi naik saat penjualan melorot. “Ada 4-6 pabrik yang telah merumahkan karyawan, bahkan satu pabrik di karawang tutup,” kata Hendrata kepada KONTAN, Senin (21/9). Selain keramik, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) juga menyampaikan persoalan serupa.
Fakta terjadinya PHK ini tak terbantahkan ketika mantan pekerja ramai-ramai mengajukan klaim jaminan hari tua sebelum waktunya di BPJS Ketenagakerjaan. Kabar ini disampaikan Sanny Iskandar, Ketua Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI). Ia mengungkapkan, hingga September 2015, ada 100.000 karyawan di kawasan industri yang telah di-PHK. “Bisa 600.000 sampai akhir tahun kalau perekonomian tak membaik,” ungkap Sanny.
Kondisi hampir serupa juga terjadi di sektor industri otomotif. Pada Juli 2015 lalu, General Motor Indonesia menutup pabriknya dan melakukan PHK ratusan pekerjanya. Adapun agen pemegang merek lain kini bertahan dengan mengurangi jam kerja. “Kami juga tidak melakukan perekrutan tenaga kerja baru,” tandas Edy Jusuf Okasah, General Manager Marketing PT Isuzu Astra Motor Indonesia (IMAI).
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar