Tren harga komoditas karet terus merosot. Pada 25 September 2015, harga kontrak karet pengiriman Februari 2016 di Tokyo Commodity Exchange mencapai 166,5 yen per kilogram (kg). jika dihitung dari sejak awal tahun, harga karet alam telah merosot sekitar 22%. Tentu saja, ini kabar buruk bagi perusahaan perkebunan karet.
Namun, di sisi lain, harga karet alam yang anjlok bisa menjadi berkah bagi produsen ban. Sebab, produsen ban berpeluang memangkas biaya bahan baku. Maklum, karet memiliki kontribusi sekitar 40% terhadap bahan baku produksi ban.
Dus, produsen ban bisa memanfaatkan momentum ini untuk menyetok bahan baku dengan harga lebih rendah. Produsen ban juga berpeluang meraih margin yang lebih besar atau menurunkan harga demi mendongkrak penjualan produk ban mereka.
Sayang, kenyataan tidak seindah di angan. Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Demikianlah kondisi industri ban saat ini. Pada saat harga karet alam anjlok, penjualan ban ternyata juga melempem. Sekali lagi, para pelaku industri menuding kelesuan ekonomi global sebagai biang kerok penurunan permintaan.
Permintaan ban dari negara-negara yang selama ini menjadi tujuan ekspor berkurang. Begitu pula, angka penjualan ban di dalam negeri mulai seret karena daya beli yang ambrol, efek dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Ujungnya, para produsen ban menahan harga jual ban agar margin tetap baik pada saat situasi sulit sekarang ini.
Ketua Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane mengatakan, keperkasaan dollar AS tidak serta merta membuat produsen ban menangguk untung besar dari ekspor. Masalahnya, biaya produksi malah membengkak akibat komponen impor naik. Memang, biaya bahan baku karet akan terpangkas ketika harga komoditas ini murah. Tapi bahan baku perantara, seperti carbon black dan tire cord masih harus didatangkan dari luar negeri.
Celakanya, permintaan ban dari kawasan Timur Tengah yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor menyusut. “Permintaan dari pasar di Timur Tengah dengan lesu akibat harga minyak murah,” kata Aziz. Setali tiga uang, permintaan ban dari pasar negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Eropa, juga ikut-ikutan jeblok.
Penurunan penjualan ban dialami PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA). Secara nominal, penjualan mereka turun 12%. Sedangkan secara kuantitas, penurunannya mencapai 8%. Ini sebagai dampak permintaan dari pasar utama, seperti di Eropa, Australia, dan Jepang, menurun akibat perekonomian di kawasan tersebut belum pulih. “Hanya pasar Amerika yang masih bagus,” ungkap Deputy Director Sales PT Multistrada Arah Sarana Cindyanto Jong.
Dalam laporan keuangan Multistrada, biaya produksi dari pos pengeluaran bahan baku di semester I-2015 mencapai US$ 69,8 juta. Angka ini turun 14% ketimbang pengeluaran untuk pos bahan baku pada periode yang sama 2014, yang tercatat senilai US$ 92,8 juta.
Masalahnya, penjualan Multistrada pada periode tersebut menyusut 11,65% menjadi US$ 132,57 juta. Perinciannya, kinerja ekspor berkontribusi sebesar US$ 95,11 juta atau 71,74% dari total penjualan. Sisa penjualan lainnya berasal dari penjualan domestik senilai US$ 37,46 juta atau 28,26%.
Tak jauh berbeda dengan kinerja PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), yang dalam enam bulan pertama tahun ini juga kurang memuaskan. Pada semester I-2015, penjualan Gajah Tunggal turun 5,59% menjadi Rp 6,19 triliun. Padahal, selama periode yang sama 2014, perusahaan ini meraup pendapatan Rp 6,56 triliun. Akibatnya, selama semester I-2015, Gajah Tunggal merugi Rp 351,28 miliar.
Memang, penjualan ekspor Gajah Tunggal belum mendominasi penjualan, yakni mencapai 40%. Sedangkan sisanya, 60% masih berasal dari pasar dalam negeri. Dari total ekspor 40% tersebut, sekitar 60% di antaranya dieskpor ke Amerika Serikat, 20% ke Eropa. “Sisanya ke Timur Tengah, Asia dan Oceania,” kata Catharina Widjaja, Director Corporate Communications and Investor Relations Gajah Tunggal.
Agak beruntung, penjualan PT Goodyear Indonesia naik tipis 0,01% menjadi US$ 79,25 juta di sepanjang semester I-2015. Namun, bottom line perusahaan itu juga merah. Jika pada semester I-2014 masih untung US$ 279.642, pada semester I-2015, Goodyear merugi US$ 353.759. pada 2014, penjualan perusahaan turun 12,81% menjadi US$ 160,77 juta. Laba bersih perusahaan itu turun lebih dalam, yakni 40,95% menjadi US$ 2,74 juta.
Di semester I-2015, penjualan ekspor Goodyear tercatat US$ 41,42 juta atau 52,25% dari total penjualan, yang mencapai US$ 79,25 juta. Kontribusi sisanya sebanyak 47,75% atau US$ 37,85 juta berasal dari penjualan di pasar lokal.
Selain mendominasi kontribusi penjualan, penjualan ke pasar luar negeri tersebut juga tumbuh lebih baik ketimbang penjualan di dalam negeri. Selama semester pertama tersebut, penjualan ekspor tadi tumbuh 25,36% dari semester I-2014, yang sebesar US$ 33,04 juta. Adapun penjualan di pasar lokal justru turun 18,07% jika dibandingkan semester I-2014, yang tercatat senilai US$ 46,2 juta.
Tergantung persediaan
Berhubungan capaian kinerja yang kurang memuaskan, produsen ban mau tidak mau berpikir panjang untuk menurunkan harga jual ban meski harga karet sedang murah.
Cindyanto berdalih, penurunan harga karet tidak serta merta memangkas harga jual barang karena tergantung bahan baku yang lainnya. Lagipula, ongkos kerja dan tarif listrik juga naik. “Di komposisi ban itu ada besi, kawat, dan Kevlar. Tapi karet menjadi komponen terbesarnya. Jadi, kalau ditanya seberapa besar pengaruhnya dari penurunan harga karet ini, ya, susah dijawab,” akunya.
Ia menambahkan, komposisi bahan baku karet alam dan karet sintetis dalam proses produksi ban buatan multistrada mencapai 50%. Sisanya, bahan kimia, besi, dan baja.
Selain itu, setiap pabrikan memiliki persediaan alias invetory bahan baku dan produk jadi yang berbeda-beda. Alhasil, perubahan harga bahan baku ini tidak langsung mengubah harga produk karena yang menentukan adalah seberapa besar persediannya. “Tapi prinsip cost accounting, kan, kalau bahan baku turun, secara biaya akan lebih murah,” imbuhnya.
Senada, General Manager Corporate and Marketing Communications PT Goodyear Indonesia Wicaksono Soebroto mengatakan, selain jumlah persediaan bahan baku, selisih biaya kurs dalam pembelian karet ikut menentukan pembentukan harga. “Dalam pembelian bahan baku karet, ada biaya hedging, yang dipatok dalam beberapa bulan ke depan. Mekanisme pasarnya seperti itu,” ujarnya.
Wicaksono mengaku tidak bisa memastikan kapan harga ban akan turun atau sebaliknya. Pasalnya, invetory saling terkait dengan faktor lainnya dalam proses produksi.
Sementara itu, Gajah Tunggal masih menggunakan 100% karet alam lokal sebagai bahan baku. Selama ini, bahan baku karet terbanyak dipasok oleh PTPN, selebihnya berasal dari beberapa trader lokal. “Kami selama 60 tahun ini sudah memiliki relasi baik dengan para pemasok karet domestik. Sejauh ini kebutuhan kami selalu terpenuhi,” ungkap Catharina.
Sayang, itu pun tak membuat Gajah Tunggal berani memangkas harga ban.
Jadi, konsumen ban, harap bersabar, ya!
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar