Akhirnya Pak Eko datang lagi membawa angin segar. Paket Ekonomi alias Pak Eko jilid III yang diumumkan oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution bersama beberapa menteri di istana negara, Rabu (7/10) dirasakan oleh pelaku industri lebih menggigit, lebih riil dan lebih menjawab persoalan ketimbang Pak Eko I dan Pak Eko II. Sekalipun belum sesuai harapan sepenuhnya, sudah bisa menjadi obat penyemangat bagi pelaku industri yang saat ini dihantui perekonomian yang lesu darah.
Sama seperti pada Pak Eko I dan II, melalui Pak Eko III ini pemerintah juga ingin memperbaiki iklim usaha. Caranya dengan mempermudah, memperjelas, menekan biaya mengurus perizinan dan syarat-syarat berusaha di Indonesia. “Selain kemudahan dan kejelasan berusaha, pemerintah juga menekan biaya” kata Darmin dalam konferensi persnya. Menekan biaya yang dimaksud adalah efisien untuk menekan biaya produksi bidang industri khususnya industri padat karya.
Langkah ini diambil untuk menghalau gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) disektor industri padat karya yang sudah didepan mata. Sektor ini memang rentan tergoncang kala ekonomi melemah. Sebab mereka juga harus menanggung beban kenaikan tarif listrik dan upah minimum provinsi (UMP). Komponen-komponen inilah yang cukup besar menyumbang biaya operasional. Alhasil, banyak yang melakukan efisiensi untuk menyiasati margin yang kian rendah karena ekonomi melemah. Salah satunya ya mengurangi produksi dan jam kerja.
“Industri yang rawan PHK banyak yang kesulitan cashflow sehingga banyak listrik tertunggak,” kata Sudirman Said, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Untuk itu dalam kebijakan pemerintah kali ini juga disinggung mengenai insentif listrik. Pak Eko jilid III memang lebih banyak memprioritaskan industri.
Secara garis besar, Pak Eko jilid III mencakup kebijakan di dua bidang, yaitu keuangan dan industri. Di bidang industri, ada kebijakan penurunan tarif listrik, bahan bakar minyak dan gas. Selain itu juga ada kebijakan penyederhanaan izin pertanahan untuk kegiatan penanaman modal.
Sudirman bilang, sejak 1 Oktober 2015 harga avtur ,LPG 12 kilogram (kg), pertamax, dan pertalite diturunkan. Harga BBM jenis solar juga turun yakni Rp 200 per liter sehingga harga eceran solar bersubsidi menjadi Rp 6.700 per liter. Solar non-subsidi juga turun “Keputusan ini berlaku 3 hari sejak pengumuman ini, karena harus mempersiapkan logistiknya”, katanya.
Harga gas untuk pabrik dari lapangan gas baru ditetapkan sesuai dengan kemampuan daya beli industri pupuk yakni US$ 7per MMBTU (Million British Thermal Unit). Sedangkan harga gas untuk industri lain, seperti petrokimia dan keramik akan diturunkan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Penurunan harga gas untuk industri efektif berlaku 1 Januari 2016. “Karena kami masih harus mengubah aturan tentang PNBP-nya,ujar Darmin.
Sementara dalam kebijakan insentif listrik, ada tiga hal yang disinggung. Pertama, tarif listrik untuk pelanggan industri I3 dan I4 diturunkan mengikuti penurunan harga minyak bumi (automatic tarif adjustment). Kedua, diskon tarif hingga 30% untuk pemakaian listrik mulai pukul 23.00 hingga pukul 08.00. Ketiga, penundaan pembayaran tagihan rekening listrik hingga 60% dari tagihan selama setahun dan melunasi 40% sisanya secara angsuran pada bulan ke13, untuk industri padat karya. “ini memang bukan revolusi regulasi, tetapi untuk efisiensi”, kata Sudirman.
Elisa Sinaga, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengapresiasi diskon yang ditawarkan pemerintah. “Paket ini juga jelas memberikan kepastian waktu. Tidak seperti paket I yang tidak jelas. Paket II kurang menggigit. Nah paket III ini cukup menggigit,” kata dia. Sudah jauh-jauh hari Asaki menyampaikan usulan ke pemerintah agar tarif listrik dan gas diturunkan.
Pemerintah memang sudah mendengar keluhan Asaki, meski penurunan tarif dan waktu yang diputuskan pemerintah tidak sama persis dengan keinginan para pengusaha keramik. Elisa bilang, ada dua parameter yang tidak sesuai dengan harapan industri. Pertama, soal tarif penurunan. Industri meminta agar gas bisa turun sebanyak US$ 2,5-US$ 3 per MMBTU, namun penurunan tarif yang diberikan pemerintah cuma sebesar US$1.
Asumsi penurunan yang diinginkan industri bukanlah tanpa dasar. Elisa berujar, saat ini harga gas industri di dalam negeri sebersar US$9 per MMBTU, padahal harga global sebesar US$6 per MMBTU.
Supaya bisa bersaing dengan produk impor, industri keramik meminta agar harga gas domestik bisa sama dengan harga gas global. “Ternyata hanya turun US$1. Agak kecewa, namun setidaknya pemerintah sudah menampung aspirasi kami. Selain itu pemerintah juga tidak mungkin tidak investasi lagi di sektor gas. Jadi, agar neraca keuangan pemerintah seimbang; pemerintah memotong US$1 yang tadinya buat investasi eksplorasi gas dan lainnya, dikorbankan untuk keberlangsungan industri. Pengorbanan ini perlu diapresiasi,” ujar dia.
Kedua, soal waktu implementasinya. Sejatinya industri berharap implementasi bisa secepatnya. Namun, dia memaklumi putusan pemerintah ini. Sebab, di situasi yang sulit seperti ini, dan tahun 2015 tinggal tiga bulan lagi, tentu pemerintah ingin menjaga neraca keuangan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Cuma pebisnis harus kerja keras dalam tiga bulan tersisa tahun ini agar usahanya tetap jalan. “Yang penting sudah ada kepastian. Jadi, kami bisa mengatur strategi dan merencanakan keuangan untuk kinerja 2016 dengan ada kepastian,” imbuhnya.
Elisa juga bercerita, dua bulan lalu, pihaknya bertemu dengan Kementrian Perindustrian untuk mengusulkan adanya insentif berupa diskon tarif listrik bagi industri di luar jam normal dan di luar beban puncak.
Dia bilang, pemakaian listrik industri cenderung datar selama 24 jam. Tidak seperti mal atau perkantoran yang mengalami peningkatan pemakaian secara signifikan pada beban puncak, pukul 18.00-pukul 22.00. Pada beban puncak ini, tarif listrik naik sebesar 50%-60%. Tarif listrik pada jam normal sebesar Rp 1.100/kwh, sedangkan pada jam beban puncak mencapai Rp 1.650/kwh.
Lantaran pemakaian yang flat selama 24 jam ini, pihaknya mengusulkan supaya ada diskon di luar jam normal dan beban puncak. “Dengan diskon itu, ada 15% beban biaya listrik yang berkurang. Adanya kebijakan ini, hitungan penghematan kami ini sebesar 16%. Satu persen dari penurunan gas. Ini lumayan membantu industri untuk bangkit. Kerja lebih semangat karena harga bisa bersaing,” jelasnya.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat juga menuturkan, penurunan tarif listrik dan gas bagi industri meniupkan hawa yang segar bagi industri tekstil lokal. Sebab, tarif listrik adalah salah satu poin perhitungan yang memberatkan biaya produksi.
Hitungan Ade, tarif listrik dalam industri tekstil bisa memakan porsi hingga 30% untuk beban biaya produksi. Sehingga, dengan adanya diskon tarif listrik bisa meningkatkan efisiensi perusahaan. “Kebijakan sudah mulai bisa menjadi obat bagi industri yang sedang terpuruk ini,” kata Ade.
Meski bukan obat yang mujarab, Ade berharap, paket kebijakan oktober ini bisa menekan terjadinya jumlah pekerja yang terkena PHK. Mengutip catatan asosiasi, sudah ada 36.000 pekerja yang terkena PHK hingga akhir September kemarin.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar