Jakarta. SOS! Begitulah mungkin kode morse yang dikirimkan pada emiten. Sejumlah analis melihat, tekanan nilai tukar sepanjang tahun ini akan menekan emiten, terutama yang memiliki komponen impor dan utang dollar yang besar.
Kepala Riset Koneksi Capital Alfred nainggolan memperkirakan, di akhir tahun, nilai tukar rupiah tutup di Rp 13.600 – Rp 13.800. kalau itu terjadi, rata-rata nilai tukar sepanjang tahun 2015 antara Rp 13.200 – Rp 13.400.
Berapapun menguat sampai akhir tahun, performa rupiah nampaknya akan melemah ketimbang tahun lalu. Pasalnya, pada 2014, kurs rupiah tutup di level Rp 12.440. rata-rata nilai tukar sepanjang tahun lalu di level Rp 11.885. penilaian Alfred, pelemahan nilai tukar ini menimbulkan rugi selisih kurs bagi emiten.
Kiswoyo Adi Joe, Analis Investama Saran Mandiri, menilai, pelemahan rupiah berdampak negatif ke emiten yang banyak mengandalkan impor dan penjualan rupiah. Dalam hal ini, menurut dia, sektor farmasi yang paling terpukul.
Dampak tekanan kurs ini jelas tak bisa disamaratakan ke semua emiten. Kiswoyo memandang, yang paling tertekan adalah PT Kimia Farma Tbk (KAEF) karena memiliki komponen impor 90%. Menurut proyeksi dia, laba bersih KAEF akan tertekan antara 1,5 sampai 2 kali pelemahan rupiah. Artinya jika rupiah melemah 9%, tekanan atas laba KAEF 13%-18%.
Adapun, tekanan kinerja emiten farmasi lain, seperti KLBF, TSPC dan INAF tidak terlalu besar. Ini lantaran ketiga emiten itu banyak memproduksi suplemen dan makanan sehat yang banyak berbahan lokal. “Komponen impor mereka tak sebesar KAEF,” kata Kiswoyo kepada KONTAN, Kamis (22/10).
Emiten yang juga tertohok pelemahan rupiah adalah PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Emiten ritel ini memiliki komponen impor sekitar 75% dan banyak menyewa di pusat perbelanjaan menggunakan dollar AS. Prediksi Kiswoyo, laba bersih MAPI bisa terpukul di atas 20%.
Emiten yang memiliki utang besar dalam dollar juga akan kelenger. “Kecuali kalau mereka hedging, tak ada masalah,” ujar Kiswoyo. Alfred menyebut, emiten yang memiliki utang jumbo berdenominasi dollar antara lain PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI). Sedang emiten yang telah melakukan lindung nilai adalah PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG).
Maxi Liesyaputra, Analis KDB Daewoo Securities, menilai, sektor otomotif yang banyak mengandalkan komponen impor tapi menjual produk dalam rupiah juga bakal kepayahan. Apalagi, di sisi lain, penjualan otomotif tertekan penurunan daya beli.
Celakanya, emiten sektor otomotif tidak bisa menaikkan harga karena persaingan ketat. Menurut Maxi, salah satu emiten yang akan terimbas adalah ASII.
PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) juga terkena dampak karena banyak menggunakan bahan baku impor untuk Bogasari. Menurut Alfred, KLBF juga mengalami hal serupa. Sebelumnya, Direktur KLBF Vidjongtius mengungkapkan, setiap pelemahan 10% rupiah, biaya produksi kesehatan naik 3,5%.
Sektor manufaktur industri jasa kimia seperti PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) dan PT Budi Starch & Sweetener Tbk (BUDI) turut terdampak. Selebihnya, Alfred melihat efek domino bagi sebagian besar emiten. Sebab, pelemahan rupiah berimbas pada kenaikan inflasi.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar