Menengok prospek bisnis tambang mineral dan batubara tahun depan
Permintaan pasar global menurun terhadap batubara dan larangan ekspor mineral mentah menyebabkan kinerja ekspor melambat. Kebijakan pemerintah yang tepat diharapkan bisa memperbaiki bisnis tambang 2016.
Selama kurun 2015-2016, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat. Tanda-tanda perlambatan pertumbuhan ekonomi global sudah tercermin pada harga komoditas energi yang cenderung menurun sejak 2014.
Sejak Juni 2014 sampai dengan Oktober 2015, harga minyak telah mengalami penurunan lebih dari 60%. Sementara harga gas telah menurun tidak kurang dari 52%. Pada kurun waktu yang sama, harga batubara juga tercatat mengalami penurunan sebesar 45%.
Harga komoditas tambang nonenergi pada periode yang sama berada pada tren yang menurun. Kinerja sektor pengguna komoditas tambang yang cenderung menurun berdampak tidak hanya pada harganya, tapi juga pada prospek investasi sektor tambang dan energi.
Nyatanya, kinerja ekspor tambang nasional sepanjang tahun ini masih sangat lemah terutama dipicu oleh perdagangan dunia yang masih lesu dan turunnya harga komoditas dunia. Sementara pemberlakuan Undang-Undang Minerba yang membatasi ekspor mineral mentah turut memengaruhi melambatnya kinerja ekspor dalam jangka pendek.
Suharyanto, Deputi Neraca dan Analisis Badan Pusat (BPS) mengatakan, sektor pertambangan sedang terpuruk karena tiga faktor. Pertama, harga komoditas seperti batubara yang masih rendah. Kedua, larangan ekspor mineral mentah. Ketiga, belum pulihnya perekonomian negara tujuan ekspor seperti Tiongkok. “Jika dilihat dari indeks tendensi bisnis, maka sektor pertambangan pada kuartal IV – 2015 merupakan lapangan usaha yang paling pesimis yaikni di angka 97,53,” ungkapnya.
Angka ini jauh lebih rendah, ketimbang perkiraan tendensi bisnis nasional dari 17 lapangan usaha di kuarta IV 2015 sebesar 103,72. Suharyanto bilang, keterangan angka di atas 100 menunjukkan keyakinan pebisnis yang optimistis dan dibawah 100 menunjukkan pesimistis.
Adapun dari distribusi produksi domestik bruto (PDB) nasional pada triwulan III 2015, terbesar disumbangkan oleh industri pengolahan di angka 20,41%. Sedangkan sektor pertambangan penggalian berada di posisi kelima dengan kontribusi 7,31%. “Semua jenis sektor usaha mengalami pertumbuhan. Hanya sektor pertambangan yang mengalami kontraksi minus 5,64% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya,” beber Suharyanto.
Dampak negatif
Masih suramnya bisnis tambang diakui Erry Sofyan, Ketua Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I). Maklum, industri tambang mineral yang paling terpukul akibat kebijakan pembatasan ekspor mineral mentah. “Akibat pelanggaran ekspor ini, sebanyak 320.000 karyawan jadi pengangguran,” ungkap Direktur Utama PT Harita Prima Mineral Abadi ini.
Angka tersebut berasal dari 51 perusahaan bauksit yang tergabung dalam APB3I. sedangkan total perusahaan tambang mineral di Indonesia sebanyak 182 pemegang izin usaha pertambangan (IUP). APB3I memproduksi bahan mineral sebanyak 50 juta ton per tahun dengan nilai volume Rp 40 triliun per tahun.
Sejatinya, dampak negatifnya dari kebijakan tersebut juga dirasakan pemerintah. Potensi kerugian negara ditaksir sekitar Rp 17,6 triliun dalam bentuk devisa yang gagal masuk. Penerimaan pajak negara juga hilang sekitar Rp 4,09 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berkisar Rp 595 miliar. “Jadi kalau bicara prospek bisnis mineral tahun depan, ya, tergantung pemerintah maunya bagaimana. Kalau kami dilarang ekspor sedangkan di dalam negeri tidak terserap, sama artinya mati,” sindir Erry.
Menurutnya, pengusaha bukan enggan membangun pabrik pengolahan atawa smelter, tapi kendalanya investasi yang sangat gede. Selain smelter, pengusaha harus membangun infrastruktur penunjangnya seperti jalan, pelabuhan, dan pembangkit listrik.
Sebab itu, Winardi Sunoto, Presiden Direktur PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) meminta pemerintah memberikan insentif untuk pembangunan smelter. Ini berbeda dengan negara lain yang listriknya sudah ada dan tinggal disambungkan, jaringan gas dan pelabuhan juga tersedia. “Kalau di Indonesia, kan, banyak lokasinya di remote area. Makanya, pemerintah harus memberikan insentif berupa tax allowance dan tax holidays,” ujarnya.
Info saja, Inalum tengah menjajaki pembangunan smelter lewat kongsi dengan PT Aneka Tambang. Progresnya, tinggal mencari satu mitra lagi. Setelah itu masuk tahap studi kelayakan. “Target kami, triwulan II 2016 sudah bisa groundbreaking smelter alumina refinery,” harap Winardi.
Sementara itu anjloknya harga komoditas batubara menjadi penyebab kolapsnya sekitar 3.040 perusahaan batubara berskala kecil dan sedang di Sumatra dan Kalimantan. Secara keseluruhan sejak 2011 silam, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) memperkirakan sebanyak 70% industri batubara nasional mengalami kerugian dan sekitar 40% sudah menutup produksinya. “Penyebab utama jatuhnya harga batubara adalah melimpahnya pasokan di pasar internasional,” sebut Wakil Ketua APBI Pandu Sjahrir.
Nah, kelebihan pasokan global telah memangkas harga batubara. Kondisi demikian memaksa PT Adaro Energy bertransformasi bisnis yang semula murni tambang menjadi bisnis energi dengan mengembangkan pembangkit listrik. Pilihan Adaro untuk berfokus ke bisnis listrik ini bukan tanpa alasan yang kuat.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Garibaldi Tohir mengutarakan, penggunaan listrik dengan bahan baku batubara adalah hal yang paling memungkinkan untuk dilakukan oleh perusahaan agar dapur ke depan tetap mengepul. “Secara teknis, kami yakin proyek listrik memungkinkan kami untuk kami lakukan,” jelasnya.
Masa kembalinya kejayaan tambang masih lama, ya.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar