Gangguan justru datang dari ketegangan antar kekuatan politik penyokong Jokowi
Kegaduhan politik kerap mewarnai pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Meski kelompok oposisi bukan lagi ancaman, Jokowi masih kesulitan meredam konflik di antara kekuatan politik penykongnya. Bagaimana prospeknya di 2016?
Sampai 6 November 2015 lalu, tak banyak orang Indonesia yang mengenal Michael Buehler. Meski banyak meneliti dan merilis kajian soal politik, desentralisasi, dan Islam di Indonesia, staf pengajar di The School of Oriental and African Studies (SOAS) London itu baru ngetop setelah mempublikasikan tulisannya, Waiting in The White House Lobby.
Artikel tersebut nongol di New Mandala, situs milik Coral Bell Scholl of Asia Pasific Affairs, Australian National University (ANU), yang menyediakan analisis dan opini dari akademis di seluruh dunia soal dinamika politik, sosial dan ekonomi di negara-negara Asia Tenggara. Inti isi tulisan Buehler menyatakan bahwa kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Amerika Serikat (AS) terselenggara berkat jasa pelobi.
Sumber utama tulisan Buehler sesungguhnya laporan registrasi yang terbuka untuk siapa pun di lama Foreign Agent Registration Act (FARA). Namun, tulisan itu menggegerkan publik dan pemerintah. Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Pemerintahan Luhut B. Panjaitan, yang disebut-sebut dalam tulisan Buehler, keras membantah adanya jasa pelobi. Bantahan serupa juga dikemukakan Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi.
Kontroversi dugaan keterlibatan lobbyist dalam lawatan presiden ke AS sejatinya episode lain dari kisruh politik yang kerap mewarnai pemerintahan Jokowi. Sejak terpilih lewat pemilihan Presiden yang digelar Juli 2014 lalu, di luar dugaan banyak piha, berbeda dengan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di periode kedua yang relatif adem ayem, kegaduhan politik justru menjadi ciri khas rezim Jokowi.
Kisruh sudah terjadi sejak Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya. Wakil Presiden Jusuf Kalla misalnya, terang-terangan memprotes kewenangan kepala staf kepresidenan yang ketika itu dijabat Luhut yang dinilai melangkahi institusi yang lain. Sementara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga mengecam beberapa jabatan kementerian yang diisi oleh orang yang tidak tepat.
Kisruh politik terbear barangkali muncul ketika Jokowi menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Polri. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantas menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus pencucian uang. Tak dinyana, dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto malah menjadi tersangka atas kasus pemalsuan identitas dan kesaksian palsu.
Perombakan kabinet yang juga dilakukan Jokowi menambah kegaduhan politik. Rizal Ramli, Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya yang baru, memicu kontroversi dengan mengkritik rencana pembangunan megaproyek pembangkit tenaga listrik 35.000 megawatt (MW).
Rizal menganggap pembangunan proyek itu masih harus dikaji secara mendalam karena tidak realistis. Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai inisiator program pembangunan pembangkit listrik, menuduh Rizal tak mengerti persoalan. Ini lantas dibalas lagi oleh Rizal yang menantang Kalla berdebat dengannya di depan umum. Jangan heran, banyak pihak menilai, Rizal sengaja ditempatkan untuk melawan kelompok tertentu di pemerintahan.
Oposisi jinak
Di sini letak masalahnya. Dulu banyak pihak mengkawatirkan kisruh dengan kekuatan partai oposisi yang menguasai sepatuh kursi di parlemen. Nyatanya, menurut Hans Kwee, Direktur Investa Saran Mandiri, partai oposisi terlihat mendukung beberapa kebijakan pemerintah, khususnya dalam hal pembangunan infrastruktur.
Koalisi oposisi juga tampaknya tidak akan menganggu posisi presiden Jokowi untuk menunaikan tugasnya hingga masa jabatan presiden berakhir. “Presiden terlihat berhasil merangkul koalisi oposisi dan berada di jalur untuk melanjutkan pembangunan,” kata Hans.
Menurut sumber KONTAN, semua parta di Koalisi Merah Putih (KMP), koalisi partai oposisi, plus Partai Demokrat, sesungguhnya sudah pernah ditawari untuk bergabung dengan koalisi pemerintahan, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Nyatanya, mereka semua menolak, kecuali Partai Amanat Nasional (PAN).
Meski demikian, semuanya menyatakan komitmen tidak akan menganggu pemerintah. Mereka justru menyatakan akan mendukung program-program pembangunan yang digulirkan. Dalihnya, agar Presiden Jokowi dan jajarannya bisa berkonsentrasi penuh pada tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.
Ini terlihat misalnya, dalam pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016, Oktober lalu. Dari 10 fraksi di DPR, hanya fraksi Gerindra yang menolak, meski belakangan akhirnya setuju. Soal ini, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno mengakui, lolosnya RAPBN 2016 tak lepas dari peran Golkar.
Partai Beringin lah yang melobi partai-partai lainnya di KMP agar setuju dengan RAPBN 2016. Apalagi, anggota legislatif Golkar juga menguasai posisi pemimpin di DPR mulai dari komisi-komisi utama hingga badan kelengkapan DPR. “Teman-teman Golkar jam terbangnya tinggi,” ujar dia.
Persoalannya, gangguan justru datang dari kekuatan politik yang menyokong Jokowi. “Ada tiga poros utama kekuatan politik pendukung Jokowi yang masih bertarung,” kata pengamat politik UI, Agung Suprio. Mereka adalah PDIP, Luhut Panjaitan, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla plus Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Dalam pengisian jabatan politik mislanya, setiap kekuatan akan slaing berusaha menempatkan wakilnya. Ini terlihat dalam reshuffle Kabinet Kerja, Agustus lalu. Mereka yang tersingkir adalah Indroyono Soesilo dari jabaran Menko Maritim, Rachmat Gobel (Menteri Perdagangan), Andi Widjojanto (Sekretaris Kabinet), dan Andrinof Chaniago (Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional).
Mereka tersingkit bukan semata karena kinerja, tetapi karena tak memiliki cantolan politik di poros utama pendukung Jokowi. “Tidak ada itu yang namanya zakenkabinet,” kata Agung. Persoalan jatah kursi yang belum memuaskan setiap poros ini masih akan berbuntut ketegangan antara kekuatan politik utama penyokong Jokowi di 2016.
Rencana reshuffle jilid II jelas akan membuat setiap poros saling sikut. Pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR untuk kasus Pelindo II, yang dimotori PDIP misalnya, juga memiliki motif politik untuk menggeser poros lain dan Menteri BUMN Rini Soewandi.
Di sini peran Jokowi diperlukan sebagai penengah dan penyeimbang setiap kekuatan pendukungnya. “Jokowi harus tegas agar tiap kelompok mau kompromi,” ujar dia.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
paja@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar