Dua faktor yang memperlambat pertumbuhan industri Indonesia. Pertama, pelemahan ekonomi global yang menciutkan pasar ekspor. Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah yang membuat mahalnya impor bahan baku.
SIKAP pesimistis pengusaha atas pertumbuhan bisnisnya bisa menggeret ekonomi kita melorot. Salah satunya di industri manufaktur. Industri manufaktur tak yakin tahun ini bisnis mereka bisa tumbuh 6,1%.
Kementerian Perindustrian bahkan memprediksi industri manufaktur tahun ini hanya tumbuh 5,5%. Adapun sampai kuartal III-2015, pertumbuhan sektor industri manufaktur non migas baru 5,2%.
Syarif Hidayat, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian menyebut ada dua faktor yang membuat industri sulit tumbuh pesat.
Pertama, kondisi ekonomi global belum stabil sehingga beberapa negara tujuan ekspor dari produk Indonesia mengurangi belanja. Kondisi ini membuat permintaan ekspor produk manufaktur Indonesia ikut turun.
Kedua, nilai tukar mata uang Garuda terhadap dollar Amerika Serikat (AS) yang loyo turut membebani industri manufaktur. Kondisi ini membuat biaya produksi manufaktur lebih mahal. Alhasil, pelaku industri mengurangi produksi atau menaikkan harga jual yang berdampak pada penurunan daya saing.
Sektor industri yang terkena dampak besar diantaranya, tekstil dan produk tekstil. Saat ekonomi negara tujuan ekspor melemah, permintaan produk tekstil dan produk tekstil dari Indonesia ikut susut.
Industri otomotif juga merasakan hal yang sama. Beban produksi kendaraan bermotor di Indonesia ini naik, karena mahalnya biaya untuk membeli bahan baku dan komponen impor.
Kondisi ini memaksa produsen otomotif menurunkan produksi dan menaikkan harga jual, sehingga produk susah terjual, di tengah daya beli yang tengah lesu.
Akibatnya Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) yang telah dua kali menurunkan target penjualan tahun ini.
Semula, Gaikindo mematok target penjualan 1,2 juta unit, kemudian pertengahan tahun direvisi menjadi 1,1 unit dan direvisi kembali hingga menjadi 950.000 unit – 1 juta unit. “Daya beli faktor utama penurunan penjualan ini,” ujar Ketua III Gaikindo, Johnny Dharmawan kepada KONTAN, Jumat (13/11).
Pelaku industri makanan dan minuman juga memprediksikan adanya perlambatan pertumbuhan sektor industri makanan minuman tahun ini. Jika tahun lau sektor industri ini bisa tumbuh rata-rata 9%, maka tahun ini diprediksi hanya bisa tumbuh 6% – 7%. “Sejatinya pertumbuhan industri ini terjadi karena adanya kenaikan harga, bukan dari kenaikan volume penjualan,” terang Adhi.
Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS) pada periode Januari – Oktober 2015, industri minuman turun 7,38%. Sedangkan industri makanan naik 7,0% di periode yang sama tahun 2015.
Memang pemerintah berupaya memberikan pemanis dengan menggelontorkan sejumlah insentif. Tapi, insentif yang tidak menyentuh daya beli masyarakat ini tidak bisa terasa langsung. Apalagi, sebagian baru berlaku 2016, misalnya penurunan harga gas.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar