
Inilah jalan untuk menarik pulang duit orang Indonesia yang parkir di luar negeri. Demikian alasan yang lazim didengungkan oleh para pendukung tax amnesty tentang perlunya Indonesia menggelar program pengampunan pajak dalam waktu dekat.
Tak lupa alasan itu akan dibumbui dengan estimasi tentang nilai aset high net worth Indonesia yang terparkir di luar negeri. Di Singapura saja, nilainya bisa sampai Rp 3.000 triliun. “Belum di tempat-tempat lain,” tutur Sigit Priadi Pramudito ke KONTAN ketika masih menyandang status Direktur Jenderal Pajak, dua pekan lalu.
Sigit menambahkan, andai dari total estimasi aset itu, ada aset yang kembali senilai Rp 2.000 triliun. Dan, atas aset itu, tarif rata-rata tebusan yang dikenakan sebesar 4%. “Berarti ada Rp 80 triliun yang masuk. Itu hitung-hitungan target penerimaan pajak dari tax amnesty di apbn 2016,” tutur dia.
Namun asumsi semacam itu terancam bubar. Penyebabnya bukan karena Sigit mengundurkan diri sebagai Dirjen Pajak per 1 Desember lalu, melainkan karena wacana menghilangkan kewajiban melakukan repatriasi aset bagi mereka yang berniat mengikuti tax amnesty.
Andai minus repatriasi, tax amnesty akan gagal pula menjadi obat kuat rupiah dalam jangka pendek. Padahal, itu termasuk manfaat yang dijual oleh para penyokong tax amnesty di sini.
Tanda-tanda mengenai absennya repatriasi dalam program pengampunan pajak sejatinya sudah muncul pada pertengahan November silam. Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menyatakan pemerintah tidak mengharuskan mereka yang ingin mengikuti pengampunan pajak melakukan repatriasi aset.
“Program ini tidak cuma bertujuan menarik dana dari luar negeri. Yang terpenting adalah memperluas basis pajak, agar penerimaan pajak tahun depan meningkat,” ujar Luhut seperti dikutip Reuters, 11 November lalu. Catatan saja, saat itu, pengampunan pajak belum lagi resmi menjadi Rancangan Undang-Undang (RUU) yang akan dibahas tahun ini. Keputusan RUU pengampunan pajak masuk ke dalam program legislasi nasional baru diambil dalam sidang Badan Legislasi DPR, 27 November silam.
Setelah pembahasan RUU pengampunan pajak resmi bergulir, perdebatan tentang perlu atau tidaknya dalam program tax amnesty tak juga surut.
Kubu yang meminta repatriasi tetap ada, beralasan itu sesuai dengan permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyetujui usulan pemberlakuan tax amnesty. Bisa jadi, mereka yang menginginkan adanya repatriasi was-was target penerimaan pajak akan meleset di tahun depan. Karena tanpa repatriasi, simulasi penerimaan pajak yang dipaparkan Sigit sudah pasti tak terjadi.
Mirip koreksi SPT
Mukhamad Misbakhun, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, tak menampik adanya perdebatan tentang perlu atau tidaknya repatriasi. “Memang ada pendekatan repatriasi, ada juga yang ingin net asset saja,” tutur Misbakhun.
Dalam konsep tax amnesty dengan repatriasi, peserta program wajib membawa pulang aset tentu yang berbentuk likuid ke Indonesia. Setelah dikurangi dengan berbagai biaya perolehan, nilai aset itu yang akan menjadi dasar perhitungan tarif tebusan.
Sebagai tempat parker dana-dana hasil repatriasi, Kementerian Keuangan sempat mengusulkan pembuatan instrumen khusus semacam Surat Utang Negara (SUN).
Sedang dalam tax amnesty minus repatriasi, peserta semacam mengoreksi nilai asetnya di dalam dan di luar negeri. Sepintas, memang tak ada bedanya dengan melakukan pembetulan surat pemberitahuan (SPT). “Ini jadi semacam self declare saja,” tutur Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA).
Namun seingat Misbakhun, perdebatan itu akhirnya ditutup dengan kesepakatan untuk menggunakan pendekatan yang terakhir, alias menghilangkan kewajiban repatriasi. “Mereka yang meminta ini memang kalangan pebisnis. Tapi jangan lupa, stakeholder tax amnesty ini, ya, mereka-mereka juga. Jadi suara pebisnis harus didengar,” tutur Misbakhun.
Nah, menurut Misbakhun, para pebisnis ini enggan melakukan repatriasi, karena aset yang disebut-sebut parker di luar negeri itu tak semuanya berbentuk dana nganggur yang bisa dipindah-pindahkan setiap saat. Sebaliknya, sebagian besar aset itu berupa aset produktif. “Jadi biar saja ada di sana, yang penting kita menerima pajaknya,” tutur dia.
Cuma sumber KONTAN bersikukuh, perdebatan perlu atau tidaknya repatriasi masih bergulir. Dalam skema tax amnesty plus repatriasi terkini, peserta program pengampunan pajak memang tak harus serta merta membawa pulang asetnya. “Mereka dapat waktu setahun untuk mengembalikan asetnya,” tutur sumber tersebut.
Kengototan mempertahankan repatriasi itu tentu tak lepas dari hitung-hitungan penerimaan pajak tahun depan. Apalagi, pemerintah juga sudah punya rencana untuk memangkas tarif pajak penghasilan setelah tax amnesty bergulir. Tanpa kewajiban repatriasi, bisa-bisa membuat pemerintah tekor.
Nah, kedua kubu, ujar sumber KONTAN, kini sepakat menyerahkan keputusan tentang perlu atau tidaknya repatriasi ke tangan Presiden Jokowi.
Hati-hati dalam menentukan pilihan, ya, pak.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar