Rupiah kembali ke posisi 14.000, pebisnis setel konservatif di tahun 2016
JAKARTA. Mata pebisnis menyoroti rupiah yang kembali terjerembab ke posisi 14.000. Naga-naganya, mereka harus kembali memasang target konservatif dalam agenda bisnis tahun depan karena rupiah kembali susah dipegang.
Tren penurunan rupiah juga memaksa pengusaha menyiapkan scenario terburuk dalam penentuan asumsi nilai tukar rupiah. Benar, asumsi kurs rupiah terhadap dollar AS di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 sebesar 13.400.
Toh, bagi sejumlah pebisnis, patokan kurs itu sudah tidak realistis dan tak relevan lagi. Mereka membuat patokan kurs sendiri dalam rentang Rp 13.500-Rp 14.500 per dollar AS. Faktanya, sejak Agustus 2015 rupiah tak pernah menyentuh 13.400.
Diluar kurs, masih banyak factor lain yang membuat bisnis tahun depan tampak suram. Mulai dari daya beli masyarakat yang tak membaik, pelaksanaan mega proyek infrastruktur pemerintah masih tanda tanya, ekonomi global lesu, hingga harga komoditas yang amsih dalam tren turun.
Singkat cerita, satu-satunya harapan mereka adalah tahun depan rupiah bisa stabil, tidak terlalu liar seperti tahun sekarang. Ini penting agar pengusaha bisa membuat perhitungan biaya yang lebih pasti, terutama industry yang mengandalkan bahan baku impor. Sala satunya industry farmasi. “Fluktuasi nilai tukar mempengaruhi beban, “kata Rusdi Rosman Direktur Utama PT Kimia Farma Tbk, kepada KONTAN, kemarin.
Dengan asumsi rupiah stabil, plus laju belanja pemerintah lancar, prediksi Rusdi bisnis farmasi secara umum bisa tumbuh 11% tahun depan. Jika yang terjadi berlawanan dengan harapan, niscaya laju industrifarmasi makin berat.
Rupiah yang stabil juga jadi harapan pebisnis makanan dan minuman. Maklum, sekitar 25% bahan baku industry makanan masih mengandalkan impor. Mulai dari terigu, gula, hingga kemasan produk. Saat rupiah lemah, otomatis beban impor otomatis naik. Celakanya, mereka harus berpikir seribu kali untuk menaikkan harga jual saat daya beli konsumen sedang memble.
Tak heran, PT Mayora Indah Tbk, sebagai contoh, memilih target bisnis yang konservatif. Pertimbangannya, situasi bisnis makanan dan minuman tahun depan, tak jauh beda dengan situasi tahun ini.
Mayora pun memilih mempertahankan harga jual agar penjualan tetap positif pada tahun depan. “Target pendapatan tahun depan, minimal kami buat sama dulu dengan tahun ini, “kata Sribugo Suratmo, Corporate Communication Mayora Indah.
Situasi industry otomotif tak kalah pelik. Pelemahan rupiah masih jadi ancaman serius bagi pabrikan otomotif. Alhasil, kata Direktur Pemasaran PT Toyota Astra Motor (TAM) Rahmat Samulo, TAM pilih mempertahankan harga jual mobil demi menjaga pasarnya, setidaknya supaya bisa sama dengan tahun ini.
Memang, tak semua dahi pebisnis berkerut. Misalnya, prodeusen kemasa. Antonius Muhartoyo, Direktur Utama PT Champion Pacific Tbk, memprediksikan pendapatan perusahaan yang dia pimpin bisa tumbuh 20% tahun depan. Asalkan, bisnis industry pengguna kemasan juga berkembang dan tumbuh.
Bank Indonesia dan pemerintah sebaiknya lebih awas lagi menjaga kekuatan rupiah. Pengalaman sudah membuktikan, rupiah yang loyo lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar