JAKARTA. Rencana kebijakan pemerintah untuk membatasi impor garam dengan mengubah sistem impor garam dari berbasis kuota menjadi sistem tariff mulai tahun 2016, menuai kritik dari kalangan industri industri pengguna garam.
Pasalnya, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) memperkirakan, kebutuhan garam industri pada tahun depan melonjak menjadi 2,3 juta ton. Angka proyeksi itu naik dari kebutuhan garam industri di tahun 2015 sebanyak 2,1 juta – 2,2 juta ton.
Sementara itu, total kebutuhan garam nasional di tahun ini, termasuk garam konsumsi rumah tangga mencapai 3,6 juta ton.
Tony Tanduk, Ketua Umum AIPGI bilang, dari total kebuuthan garam nasional, produksi lokal baru 1,7 juta ton. Artinya, ada kekurangan pasokan 1,9 juta ton. Celakanya, dari total produksi garam lokal 1,7 juta ton, tak semuanya memenuhi kualifikasi industri, seperti industri farmasi, yang butuh spesifikasi khusus.
Untuk memenuhi kebutuhan industri, para pelaku industri lebih mengandalkan suplai garam impor. “Data garam harus divalidasi berapa kebutuhan dan konsumsinya. Jangan hanya berbicara kuantitas, tapi juga kualitas. Karena, industri memerlukan spesifikasi garam tinggi,” ungkap Toni, Kamis (17/12).
Apalagi, lanjut Toni, industry pengguna garam juga butuh ekspansi usaha. Saat ini sudah ada dua perusahaan yang menyampaikan kebutuhan garam industri untuk mendukung ekspansinya pada 2016, yaitu PT Asahimas Chemical sebanyak 850.000 ton dan PT Sulfindo Adiusaha 500.000 ton.
Untuk itu, Tony berharap pemerintah mau menjamin ketersediaan pasokan garam industri. Sayang, dia belum menghitung persis kebutuhan garam industri pada tahun 2016. “Produksi garam rakyat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhaan industri,” imbuhnya.
Menunggu Permendag
Pasalnya, revisi Peraturan Menteri (Permen) Perdagangan yang mengatur sistem tariff ini baru akan terbit pada Januari 2016. Padahal, proses impor garam bisa memakan waktu 1 bulan. Karena itu, AIPGI menyesalkan lambatnya penerbitan Permen impor garam. “Saat ini, industri farmasi sudah menjerit karena kekurangan bahan baku garam industri,” ujar Arthur Tanuwidjaya, Ketua Bidang Pengembangan teknologi AIPGI.
Tidak terjaminynya suplai karena kondisi iklim di tanah air kurang mendukung proses produksi garam. Contoh, ada kendala ongkos, cuaca, dan faktor sosial budaya masyarakat di daerah penghasil.
Jadi, kata Arthur, butuh waktu lama untuk pengembangan garam local agar dapat memenuhi kualifikasi kebutuhan industri. “Untuk mengembangkan garam local agar dapat memenuhi kualifikasi industri dibutuhkan sustainability dalam kebijakan pemerintah, jangan hanya bersifat musiman,” katanya.
Sekadar mengingat, pemerintah berencana mengubah sistem impor garam dari sistem kuota menjadi sistem tariff mulai 2016. Dus, nantinya siapapun bisa mengimpor garam asal membayar tariff. Imporir juga tida perlu lagi rekomendasi dari kementerian perindustrian (Kemperin).
Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, seharusnya pemerintah bisa menjaga keberlangsungan bahan baku garam untuk industri. Jika pasokan bahan baku industri tak terpenuhi, bukan mustahil ada relokasi usaha ke luar negeri.
Dia bilang, kekhawatiran pemerintah bahwa ada garam industri yang merembes ke pasar barang konsumsi tidak berdasar. Alasannya, importer garam umumnya perusahaan besar. “Pemerintah seharusnya mudah mengawasi importer garam yang jumlahnya bisa dihitung dan kebutuhannya mudah didata,” ujarnya.
Sumber: KONTAN
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar