Sudah jatuh tertimpa tangga. Begitulah nasib pelaku usaha di sekitar kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Penjualan mereka sudah lama sepi imbas pembangunan proyek mass rapid transit (MRT) Jakarta, dan kini semakin parah menyusul kelesuan ekonomi.
Adul, penjaga toko Karya Bintang Canopy di Jalan Raya Fatmawati, hari-harinya banyak dihabiskan melamun, seraya memandangi eskavator di balik seng yang menutupi area proyek MRT dengan jalan raya. Pria paruh baya yang sudah bekerja lebih dari enam tahun di toko tersebut mengeluhkan berkurangnya konsumen sejak proyek MRT bergulir.
Saat disambangi KONTAN sekitar pukul 15.00 WIB, Rabu (30/12), Adul mengaku hampir seharian belum juga ada konsumen yang datang. “Toko sepi karena terhalangi seng. Jadi dari jalan seberang yang mau ke Lebak bulus tidak bisa melihat toko kami,” tuturnya.
Minimnya jumlah pelanggan yang datang menyebabkan pesanan pembuatan kanopi anjlok. Hanya sesekali konsumen yang menghubungi via telepon. Padahal sebelum proyek MRT berjalan, paling sedikit 10 pesanan kanopi per bulan.
Sekarang, untuk memperoleh lima orderan saja, susahnya minta ampun. Celakanya, pendapatan Adul ikut-ikutan seret lantaran sepi pesanan. “Penghasilan saya jadi berkurang karena dibayar kalau ada pembuatan kanopi,” akunya.
Lain lagi dengan William, penjaga toko elektronik Hongkong Baru. Menyempitnya lahan parkir akibat pelebaran jalan yang terkena proyek MRT membuat tokonya sepi. Maklum, pelanggannya jadi kesulitan memarkir kendaraan. “Penjualan toko kami turun hingga 30%,” sebutnya.
William bilang, pemilik toko tak bisa menuntut kompensasi dari pemerintah dan kontraktor MRT atas kerugian usahanya. Sebab lahan di pinggir jalan yang biasanya digunakan sebagai tempat parkir merupakan tanah milik negara. “Kami berharap pebangunan MRT segera tuntas,” pinta Wiliam.
Teguh, petugas parkir di pertokoan Panglima Polim mengklaim, pendapatan dari parkir turun drastis imbas menyempitnya akses jalan. “Kalau penjualan toko sepi, parkiran pasti mengikuti juga,” timpalnya.
Pun penjualan gerai milik PT Ace Hardware Tbk, yang terletak di jalur pembangunan MRT bernasib sama. Ace Hardware memiliki dua gerai di Jalan Raya Panglima Polim dan Jalan Raya Fatmawati. “Ada penurunan penjualan, tapi saya tidak bisa sebutkan,” ungkap Helen Tanzil, Sekretaris Perusahaan Ace Hardware.
Jalan yang menyempit menjadi sumber kemacetan di kawasan Fatmawati dan sekitarnya, telah memukul berbagai bidang usaha karena pelanggan malas datang. Seperti diutarakan Hendra, pemilik Toko Hendra Motor. “Selama puluhan tahun berjualan oli, perlengkapan motor dan mobil, baru sekarang ini merasakan pendapatannya minim,” ujarnya.
Hendra mengungkapkan, pelanggannya banyak yang mengeluh atas kemacetan tersebut. Alhasil, dalam sehari Cuma dua sampai tiga pelanggan yang mampir ke tokonya. Padahal sebelum ada pembangunan MRT, dalam sehari paling sedikit 10 pelanggan yang membeli oli. “Omzet turun hingga 50%,” terang Hendra tanpa menyebutkan angka.
Setali tiga uang dengan pengusaha karpet. Simak saja pengakuan Agus Sugito, staf oemasaran Toko Al-Fateh yang telah berdiri sejak 2008. Menurut Agus, dalam beberapa bulan terakhir, omzet toko Al-Fateh terkikis hingga 40% dari tahun sebelumnya. “Pembangunan MRT berdampak negatif terhadap usaha karpet toko kami,” katanya.
Biasanya dalam sebulan, Al-Fateh dapat meraup omzet Rp 100 juta. Kini, mencari pemasukan Rp 30 juta saja sudah sulit. Situasi demikian mulai terasa sejak proyek MRT berlangsung. Menurutnya, sejak jalur dari Cipete menuju Blok M dan sebaliknya hanya dijadikan satu arah, kemacetan di sekitar lokasi tokonya sudah sangat parah.
Setiap hari, antrean kendaran cukup panjang kerap terjadi di kawasan itu. Agus menambahkan, Al-Fateh menjual berbagai karpet impor dari Turki, India dan Iran. Untuk karpet yang terbuat dari mesin, Al-Fateh membanderol harganya Rp 2,5 juta hingga Rp 30 juta. Sementara karpet handmade asal Iran dibanderol Rp 40 juta hingga Rp 50 juta per lembar.
Para pengusaha kitchen set yang berjualan di area ini juga telah merasakan penurunan omzet usaha. Harjana Dharmawan, pemilik Toko Mela Design bilang, keadaan ini praktis membuat pegawainya hanya duduk-duduk santai sejak toko buka di pagi hari.
Kemacetan di daerah Fatmawati serta kelesuan ekonomi di tahun ini membuat omzet usahanya tergerus 50% sampai 70%. “Padahal biasanya saya mampu meraup omzet Rp 30 juta per bulan,” tuturnya.
Enggan pindah
Meski penjualan sangat sepi, Hendra enggan pindah lokasi berjualan. Alasannya, biaya investasi untuk membuka toko di tempat lain cukup besar. Apalagi toko yang dimiliki saat ini merupakan bisnis warisan dari orangtuanya. Dengan keadaan sekarang ini, Hendra hanya pasrah dan berharap kondisi ekonomi segera pulih. “Harapan saya kepada pemerintah adalah pembangunan MRT bisa cepat selesai,” harapnya.
Begitu pun dengan Ace Hardware, belum ada rencana memindahkan gerai yang terdampak proyek angkutan massal berkecepatan tinggi itu. Helen berdalih, kawasan Fatmawati masih tetap prospektif untuk sektor bisnis dan perdagangan. Memang, sekarang ini, pengerjaan MRT berpengaruh pada penurunan omzet penjualan. “Tapi kalau pembangunan MRT selesai, roda bisnis di wilayah Fatmawati bakal berputar kencang lagi,” ujarnya optimistis.
Ya, selalu ada efek negatif dari pembangunan.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar