Insentif Pemerintah Tidak Menyengat

indexBiaya energi memang turun, tapi dunia bisnis menantikan kepastian regulasi

JAKARTA. Berturut-turut, pemerintah menabur kado bagi pebisnis di awal tahun 2016. Usai memangkas harga semua jenis bahan bakar minyak (BBM) per 5 Januari, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga memangkas tarif listrik untuk industri.

Berlaku mulai Januari 2016 ini, PLN menurunkan tarif listrik bagi industri skala menengah dari Rp. 1.104,73 per kwh menjadi Rp. 1.007,15 per kwh. Listrik industri skala besar juga turun dari Rp 1.059,99 per kwh menadi Rp 970,35 per kwh.

Di atas kertas, penurunan harga atau tarif energi ini bisa membuat industri bergegas, mendorong laju bisnisnya karena biaya energi terpangkas. Apalagi bila harga gas juga akan diturunkan sesuai janji pemerintah.

Hanya Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai, penurunan tarif energi ini belum cukup berarti menggairahkan industri. Sebab, “Penurunannya tidak terlalu berarti, hanya lips service,” katanya, kepada KONTAN, Kamis (7/1).

Dalam pengambilan kebijakan, pemerintah mestinya juga meilhat daya saing dengan negara lain. Ia memberi contoh, tarif listrik di Indonesia sekitar US$ 0,12 termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). “Di Korea Selatan dan Vietnam, tarifnya US$ 0,06 plus PPN,” tutur Ade. Pun begitu dengan harga BBM.

Tak pelak, kata Ade, biaya energi di Indonesia masih terbilang mahal ketimbang negara lain. Ini pula yang menyebabkan, daya saing industri kita lemah. Di tengah perlambatan ekonomi, ini membuat para pebisnis wait and see untuk ekspansi.

Kondisi kian tak menyenangkan lantaran insentif pemerintah lewat paket ekonomi yang kini sudah jilid VIII tak berjalan sesuai harapan. Paket ekonomi jilid III yang keluar Oktober 2015 lalu semisal. Industri tekstil sedianya bisa mendapat penundaan pembayaran tagihan listrik hingga 60% dari tagihan setahun dan melunasi 40% sisanya dengan mengangsur.

Fakta yang terjadi, tak semua pebisnis tekstil bisa menikmatinya. “Dari 2.500 anggota API, hanya 242 perusahaan yang bisa menunda pembayaran,” ujarnya.

Begitu juga dengan diskon tarif listrik hingga 30%. Hanya 44 perusahaan dari 11.000 perusahaan tekstil yang bisa menikmati karena memiliki produksi tambahan dan dikerjakan malam hari.

Tutum Rahanta, Wakil Ketua Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) berpendapat, penurunan harga BBM dan tarif listrik tak signifikan. Pasalnya, biaya tertinggi pengusaha saat ini adalah bahan baku, tenaga kerja dan pelemahan rupiah.

Apalagi, kata Adhi S Lukman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman, formula harga energi baik listrik dan BBM saat ini tak transparan. “Ini menyulitkan pengusaha menghitung ongkos produksi dan harga jual produk,” ujarnya.

Ya, masih banyak PR pemerintah yang harus dituntaskan, utamanya menciptakan kepastian. Saat ini makin sering terjadi, antara janji dan kenyataan tak sesuai harapan.

 

Sumber: KONTAN

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar