Agar Pengelolaan FTZ Batam Tak Bertumpukan

Masalah kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam alias Free Trade Zone(FTZ) akhirnya “meledak” juga ke permukaan. Persoalan yang sudah bisa diprediksi ini tergolong hasil tindak lanjut kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke Singapura akhir Juli 2015 lalu.

Bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong di Istana Kepresidenan Singapura (28/7), Jokowi mengatakan, Indonesia ingin memperkuat kerjasama investasi, perdagangan, dan pariwisata. Untuk memuluskannya, salah satu yang mengemuka di pertemuan bilateral itu adalah masalah kawasan industri dan perdagangan bebas di Batam, Bintan, dan Karimun.

Catatan saja, tiga daerah tersebut merupakan FTZ yang masing-masing ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46,47, dan 48 yang dikeluarkan tahun 2007. Presiden Jokowi bilang, banyak masalah regulasi serta kewenangan yang menghambat FTZ. Dia ingin membuat kantor khusus di masing-masing FTZ untuk menyelesaikan masalah.

Cuma, perlu digarisbawahi, sebenarnya persoalan FTZ ini bukan hanya dengan Singapura saja hingga sampai ke telinga Jokowi. Akhir 2014, pada saat menyambangi Negeri Gingseng, Jokowi mendengar langsung keluhan dari bos Pohang Iron and Steel Company alias Posco. Intinya, raja baja dunia asal Korea Selatan yang punya joint venture dengan perusahaan pelat merah PT Krakatau Steel Tbk di Indonesia berniat menunda investasi tahap kedua jika Pemerintah Indonesia tak segera menata tata niaga impor baja di FTZ batam.

Menurut Posco, impor tanpa bea masuk, termasuk bea masuk berbentuk hukuman, antara lain bea masuk anti-dumping dan bea masuk tindakan pengamanan, memungkinkan terjadinya impor baja produk dumping. Alhasil, terjadilah persaingan pasar baja yang tak sehat. Selain itu, produk baja impor jadi lebih murah dari produk baja lokal. “Masalah persaingan tak sehat di Bata mini cuma salah satu factor saja,” tutur Fazwar Bujang, pengamat industry baja sekaligus mantan Presiden DIrektur PT Krakatau Steel Tbk periode 2007-2012, ke KONTAN, kamis (7/1)

Saran untuk Presiden

Nah, “ledakan” kabar FTZ Batam tampaknya dipicu oleh pernyataan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Selasa (5/1) minggu lalu. Ia bilang, pemerintah akan membubarkan Badan Pengusahaan (BP) Batam dan Penghapusan FTZ Batam akhir Januari 2016. Setelah bubar, pengelolaan FTZ Batam sepenuhnya berada di bawah kewenangan Provinsi Kepulauan Riau dan statusnya berubah jadi Kawasan Ekonomi Khusus.

Alasannya, imbuh Tjahjo, terdapat kesalahan pengelolaan FTZ Batam. Seharusnya, Batam dirancang untuk menyaingi ekonomi SIngapura dan Johor Baru (Malaysia). Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Banyak penyelundupan berikut potensi kehilangan pemasukan pajak hingga Rp 20 triliun per tahun. Di samping itu, terdapat duplikasi kewenangan di Batam, yaitu Pemerintah kota Batam dan BP Batam. Juga, “Terlalu banyak pihak yang ikut campur,” ujar Tjahjo.

Karena itulah, dalam beberapa minggu terakhir, pemerintah tampak serius membahas masa depan FTZ Batam dalam rapat koordinasi (rakor) yang melibatkan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Perdagangan Thomas Lembong, Menteri Perindustrian Saleh Husein, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Suwandi, Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan, serta berbagai kementerian atau lembaga terkait yang lain.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menegaskan hingga rakor terakhir hari Selasa (5/1), belum ada keputusan tetap tentang masa depan FTZ Batam. Yang jelas, usulan pembubaran merupakan pendapat Tjahjo dan bukan hasil resmi pembahasan rakor. Minggu ini, ujar Darmin, pembahasan tentang FTZ Batam yang merupakann mandat dari rapat kabinet ini masih akan berlanjut. Hasil rakor kemudian akan menghasilkan beberapa rekomendasi dan disampaikan ke presiden

Rencananya, pertengahan bulan ini, rekomendasi tentang FTZ Batam akan disampaikan ke Presiden. Sehingga, Presiden bisa segera mengambil keputusan masa depan FTZ Batam sebelum akhir bulan ini. “Ya, di rakor ini kita mau cari solusinya (atas masa depan FTZ Batam),” kata Darmin.

Meski sempat heboh, termasuk nasib para karyawan BP Batam dan tak mendapat dukungan dari Pemerintah Kota Batam, BP Batam tak kaget dengan rencana pemerintah ini. Kepada KONTAN, DIrektur Humas dan Promosi BP Batam Purnomo Andiantono menuturkan, persoalan FTZ Batam sudah seperti siklus lima tahunan sebagai dinamika politik dan bernegara. “Pejabat dan kebijakan baru. Mencari bentuk yang lebih baik,” Ujar Purnomo ke KONTAN.

Tahun 2005 dan 2010, isu FTZ Batam juga sempat muncul ke permukaan. Namun, persoalannya hampir selalu sama dan nirsolusi. Suyono Saputro , Pegamat FTZ Batam dan Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Internasional Batam, berpendapat, jika pemerintah ingin serius memperbaiki, pengelolaan FTZ Batam seharusnya diambil-alih oleh pemerintah pusat. Soalnya, kawasan Iskandar Development Region di Johor Baru, Malaysia, maupun pengelolaan kawasan ekonomi di Singapura, juga langsung ditangani oleh pemerintah pusat mereka.

Menurut Suyono, pembubaran BP Batam bukan solusi bagi perbaikan FTZ Batam. Malahan, bisa timbul berbagai potensi masalah baru jika bubar. “Negara harus berperan penuh mengelola Batam agar seluruh aturan tidak tumpah, semua peraturan terpaut ke pusat. Itu jauh lebih efektif” tegas Suyono.

 

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar