Industri farmasi
Berbicara tentang kesehatan, bicara pula tentang industri pendukungnya, yaitu farmasi. Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia Darodjatum Sanusi menuturkan, Indonesia sudah siap menghadapi MEA. Dari segi produk, industri farmasi belum merasakan dampak MEA karena benar-benar baru terlaksana.
Namun, industri farmasi lokal sejatinya sudah lama melakukan penetrasi pasar di ASEAN meski belum semua negara bisa ditembus. “Ada tiga negara yang belum, yaitu Thailand, Brunei dan Laos,” ucapnya.
Di Thailand, perusahaan farmasi lokal sulit masuk karena terhambat regulasi. Sementara, Brunei dan Laos belum dianggap pasar yang seksi mengingat jumlah penduduk kedua negara itu relative kecil.
Darodjatum mengatakan, pengusaha industri farmasi Indonesia akan berinvestasi senilai US$500 juta hingga 2019. Investasi itu akan digunakan untuk renovasi perusahaan dan beberapa pembangunan pabrik farmasi baru di dalam negeri. Realisasi investasi ini bertujuan memacu kapasitas produksi. Saat ini, ada lima perusahaan farmasi mengakuisisi perusahaan farmasi lainnya. “Nilai investasi sangat besar seiring dengan pertumbuhan industri farmasi dalam negeri,” ujarnya.
MEA hadir karena ASEAN percaya pengampusan hambatan tarif dan nontarif di sektor farmasi dan kesehatan di ASEAN akan memperlancar arus barang dan jasa serta mendatangkan investasi asing. Artinya, akses layanan kesehatan dan harga produk farmasi semakin ramah di kantong. Pasar tunggal farmasi ASEAN juga bakal mendorong harmonisasi regulasi sehingga menghasilkan standar produk farmasi yang setara untuk seluruh negara di kawasan ASEAN.
Di sisi lain, MEA jadi upaya menjamin kualitas dan keamanan produk obat yang masuk dan beredar. Upaya ini menjadi kian penting lantaran banyak negara ASEAN sudah menjalankan system jaminan kesehatan nasional untuk rakyatnya, termasuk program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) milik Indonesia sejak 2014.
Implementasi system jaminan kesehatan ini akan mendorong permintaan obat dengan resep, baik obat generic maupun obat paten. Sekarang , banyak negara ASEAN bergantung pada obat impor. Contoh saja, Brunei dan Singapura yang bergantung penuh pada impor. Sementara, Myanmar mengimpor sebesar 80% kebutuhan obat domestic. Begitu juga dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam yang tidak memasok sendiri kebutuhan obat, tapi bergantung pada perusahaan multinasional.
Berbeda dengan negara ASEAN lain, Indonesia punya industri farmasi lokal dan asing yang mampu memenuhi kebutuhan obat-obatan dalam negeri. Sejauh ini, sekitar 65% kebutuhan obat domestik terpenuhi farmasi lokal. Sisanya diperoleh dari industri farmasi penenaman modal asing.
Presiden Direktur PT Novartis Luthfi Mardiansyah mengatakan, sesungguhnya MEA tak akan berpengaruh pada bisnisnya. Novartis merupakan perusahaan multinasional yang memproduksi obat. Untuk tahun ini, Novartis fokus untuk penyakit langka, seperti multiple sclerosis, yakni penyakit yang menyerang system syaraf pusat dan sumsum tulang belakang.
Sebagai perusahaan multinasional, Luthfi tak memandang MEA sebagai ancaman maupun peluang. “Kalau untuk perusahaan lokal, dampaknya positif karena ada peluang memasarkan produk di negara lain, tergantung regulasi,” katanya.
Ia menambahkan, regulasi obat jadi salah satu aspek penting yang harus disepakati antar-negara ASEAN. Pasalnya obat yang sudah diproduksi di suatu negara lain. “Harus ada pembahasan, apakah standar untuk registrasi obat, yakni penyakit yang menyerang system syaraf pusat dan sumsum tulang belakang.
Sebagai perusahaan multinasional, Luthfi tak memandang MEA sebagai ancaman maupun peluang. “Kalau untuk perusahaan lokal, dampaknya positif karena ada peluang memasarkan produk di negara lain, tergantung regulasi,” katanya.
Ia menambahkan, regulasi obat jadi salah satu aspek penting yang harus disepakati antar-negara ASEAN. Pasalnya obat yang sudah diproduksi di suatu negara lain. “Harus ada pembahasan, apakah standar untuk registrasi obat bisa disamakan. Jadi, kalau di Indonesia sudah dipasarkan, apa ada kemudahan untuk langsung memasarkan di negara lain atau mulai dari pengujian awal lagi,” terangnya.
Tenaga kesehatan dan rumahsakit
Untuk tenaga kerja di bidang kesehatan, bisa dibilang ASEAN kecolongan. Pasalnya, hingga saat ini belum ada regulasi yang menetapkan standar mengenai pertukaran tenaga kesehatan, baik dokter, perawat, maupun perawat. “Perjanjian belum ada, yang sudah disusun hanya Mutual Recognition Agreement,” Ungkap Suseno.
Kemenkes masih mencoba melakukan pendekatan dengan standardisasi pendidikan untuk tenaga kesehatan dan akreditasi tenaga professional. Menurut Suseno, saat ini negara-negara ASEAN hanya melakukan sinkronisasi informasi system teknologi informasi. Melalui situs-situs terkait, Indonesia dan negara ASEAN lainnya mencantumkan informasi tentang system pendidikan dan layanan kesehatan.
Tahir menegaskan, dampak MEA memang belum dirasakan karena masih banyak pekerjaan rumah di bidang kesehatan. Menurut taipan berusia 64 tahun itu, penerapan MEA jauh dari kata sederhana. Pasalnya, meski MEA berlaku, masing-masing negara ASEAN sudah punya peraturan sendiri. “Dokter asing yang mau praktik di Indonesia tak bisa langsung dan waktu praktik pun terbatas. Ini juga tetap berlaku dalam MEA,” tutur Tahir.
Menurut Tahir, ada tiga hal di bidang kesehatan yang mesti dikembangkan Indonesia terkait MEA. Pertama,meningkatkan kompetensi dan peran perawat. Di Australia, misalnya, perawat bisa menghadapi pasien sesuai arahan dokter. Kedua, peraltan medis. Ketiga, pengetahuan dokter.
Jasa kesehatan di Indonesia merupakan bisnis yang cerah. Tak heran, banyak pemain asing tertarik masuk. Apakah pemain lokal akan tertinggal.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Masyarakat Ekonomi ASEAN
Tinggalkan Balasan