Antara Duka Migas dan Bisnis yang Tancap Gas

Efek penurunan harga minyak ke dunia usaha.

Hampir tak ada yang mengusik ketenangan Maximilianus Wahyu, 42 tahun, akhir-akhir ini, kecuali harga minyak. Pekerja tambang perusahaan minyak dan gas (migas) milik kontraktor asing ini sesekali ikut memantau pergerakan harga minyak dunia.

Pertengahan Januari 2016, Rabu (13/1), untuk kali pertama sepanjang 12 tahun, harga minyak patokan Amerika Serikat (AS) jatuh ke bawah US$ 30 per barel di New York Mercantile Exchange (NYME). Harga ini terendah sejak Desember 2003.

Minggu lalu, Kamis (21/1), kontrak harga minyak jenis West Texas Intermediate NYME untuk pengiriman bulan Maret bertengger di US$ 27,87 per barel. Sementara di London, minyak mentah Brent, patokan Eropa, ditutup US$ 27,29 per barel di ICE Futures Europe Exchange.

Meski tak terlalu terkejut dengan pergerakannya, Wahyu memang jadi makin sering ikut memantau harga minyak. Tak terlalu terkejut lantaran tren penurunan memang sudah mulai sejak tahun lalu. “Yang justru bikin was-was, terutama bukan pergerakan harganya. Tapi keputusan manajemen,” ujar pria yang akrab disapa Wahyu ini, Rabu (20/1).

Saking gundahnya, Wahyu rajin mengecek berita di media kalau-kalau nama perusahaannya nongol dan memutuskan kebijakan untuk karyawan. Pasalnya, belakangan ini kabar efisiensi perusahaan migas begitu santer di media, mulai pemangkasan biaya operasional, pemangkasan produksi, sampai pemutusan hubungan kerja alias PHK. “Karena sampai sekarang (saya) belum tahu (keputusan manajemen),” imbuhnya.

Pada laman http://www.kontan.co.id, KONTAN sudah menyinggung tentang perusahaan-perusahaan raksasa dunia yang bergelimpangan akibat harga minyak rontok. CNOOC Ltd, perusahaan raksasa di Tiongkok, memangkas produksi untuk pertama kalinya dalam satu dekade, sehingga berhemat 60 miliar Yuan.

Petronas atau Pertoliam Nasional Bhd. juga sudah ancang-ancang menggunting belanja modal dan biaya operasional kira-kira RM 50 miliar, pada empat tahun ke depan. Thailand PTT Exploration dan Production PCL bahkan sudah memotong belanja modal sejak tahun lalu. Sedangkan Vietnam Oil and Gas Group menutup sumur gara-gara biaya produksi lebih banyak dari harga jualnya.

Efisiensi bisnis

Di dalam negeri, PT Pertamina (Persero) menetapkan efisiensi biaya operasional di sektor hulu, minim 30%. Kata Dwi Soetjipto, Direktur Utama Pertamina, efisiensi dilakukan gara-gara minyak turun sampai ke bawah US$ 30 per barel. “Asumsi kami US$ 50 per barel. Maka, kami menargetkan efisiensi,” tutur Dwi.

Penghematan Pertamina di hulu, misalnya berhemat biaya pengeboran dengan renegosiasi kontrak. Pertamina akan mengirit biaya dalam usahanya mencari cadangan-cadangan baru minyak sepanjang tahun ini.

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina menambahkan, sepanjang tahun lalu, Pertamina berhasil menghemat hampir US$ 680 juta, mulai dari hilir hingga hulu. “Itu melebihi target efisiensi kami yang semula hanya US$500 juta. Upaya itu kami lanjutkan di 2016 sambil melihat bagaimana memangkas biaya-biaya sampai 30%,” ujarnya.

Selain operasional, Pertamina juga tengah melihat apa saja yang bisa dihemat pada sisi pengadaan barang dan jasa, finansial, dan investasi sambil terus memantau situasi.

Pertamina belum punya rencana PHK karyawan maupun memangkas anggaran pengeluaran. Proyek-proyek utama juga masih jalan, seperti kilang. “Satu yang sudah berjalan di Cilacap dan Saudi Aramco. Yang tiga berikutnya akan kami upayakan tahun ini, yaitu Dumai, Barongan, dan Balikpapan,” cetus Wianda.

Berkebalikan dengan Pertamina, perusahaan migas Chevron Indonesia malah sudah menginisiasi opsi PHK. Istilahnya, menurut Senior Vice President, Policy, and Public Affairs Chevron Indonesia Yanto Sianipar, penyesuaian struktur dan ukuran organisasi. Sisanya, perusahaan-perusahaan migas memilih jual saham atau memilih hengkang dari Indonesia. Sebut saja Conoco-Philips yang melego sahamnya di Blok B Laut Natuna Selatan. Ophir Energy Plc membeli saham Salamander Energy Plc.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati berpendapat, efisiensi bisnis perusahaan migas otomatis terjadi jika harga minyak turun. Maklum harga minyak yang terus jeblok akan menggerus margin laba produsen minyak tersebut lantaran biaya produksi lebih tinggi dari harga jual. Bahkan bisa tekor.

Bayangkan saja, ongkos produksi per barel saja sekitar US$ 30 sampai US$ 40 per barel. Sudah jelas perusahaan merugi jika harga minyak di bawah US$ 30 per barel.

Berkah untuk yang lain

Kata Enny, dengan penurunan harga minyak, biasanya industry yang terpukul berikutnya adalah komoditas tambang dan perkebunan. Sebut saja crude palm oil (CPO) dan batubara.

Tak heran jika tahun ini para pengusaha batubara meminta pemerintah merevisi target produksi komoditas tersebut, yang sudah ditetapkan sebanyak 419 juta ton. Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan batubara Indonesia bilang, permintaan itu datang lantaran harga batubara masih jeblok. “Hampir semua minta revisi,” tutur Hendra.

Harga anjlok, karena permintaan dari Tiongkok melemah. Harga Batubara Acuan (HBA) Januari 2016 yang ditetapkan pemerintah sebesar US$ 53,2 per ton alias lebih murah 0,58% dibandingkan dengan HBA Desember 2015 yang sebesar US$ 53,51 per ton.

Demikian pula yang terjadi dengan CPO. Tahun lalu, harga CPO US$ 614,20 per ton alias drop sekitar 25% dibandingkan 2014. Penurunan itu, tutur Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono, juga gara-gara merosotnya harga minyak. Jika harga minyak terperosok di bawah US$ 30 per barel, harga CPO akan terus terjun ke bawah US$ 400-an per ton.

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengamini. Komoditas tambang dan perkebunan pasti ikut terpapar. Namun, dia menandaskan, efek penurunan harga minyak tidak melulu membawa dampak negative, seperti misalnya dampak ke penerimaan negara. “Namun, ada sisi positifnya; dengan syarat, kita mampu memanfaatkan momentum. Salah satunya menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang cukup signifikan,” tegasnya.

Ukuran signifikansi itu, lanjut Enny, sebut saja memangkas harga BBM sebesar Rp 1.000 per liter. Kalau cuma didiskon 200 perak, ujar Enny, ya tidak akan berdampak pada sektor lain. Sebab, penurunan harga BBM bersubsidi tentu saja akan mengerek daya beli masyarakat. Biaya logistik pun juga bisa lebih murah.

Dengan murahnya biaya logistik, timpal Hariyadi, perusahaan jadi punya cash flow lebih baik. Selanjutnya, bisa menurunkan inflasi karena cash flow masyarakat juga baik sehingga punya daya beli lebih kuat.

Makanya, Hariyadi usul, penurunan harga minyak dunia harus dikompensasi dari sektor lain, apakah itu manufaktur atau pariwisata. “Kita dorong sektor-sektor yang punya potensi besar. Itu juga mengompensasi penerimaan negara dari penurunan minyak ini,” tegas Hariyadi.

Nah, rencananya para anggota Apindo akan bertemu awal Februari nanti. Salah satu agenda khusus mereka adalah membahas merosotnya harga minyak dunia dan dampaknya terhadap dunia usaha.

Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Ilham Masita bilang, jika pemerintah memangkas harga BBM, bukan hanya biaya logistic yang akan turun, kinerja industri logistik bisa turut terdongkrak naik. “Kami malah berharap pemerintah menghapus subsidi BBM solar dengan turunnya harga minyak dunia,” tukas Zaldy.

Sementara Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) dan Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia yang selama ini diasumsikan untung akibat merosotnya harga minyak, ternyata mengklaim, tak bakal banyak terpengaruh. “Kita (malah) planning ulang pembelian dan kedatangan bahan baku dan mempercepat penjualan agar bisa dapat margin lebih bagus,” cetus Fajar A.D. Budiono, Sekretaris Jenderal Inaplas.

Pengusaha kecil justru berharap berkah. Rajib Naskrudin, penjual batik Garut dan tenun sutra bilang, jika harga BBM lebih murah, daya beli pelanggan batiknya membaik dan memborong produknya lagi. Demikian pula Cahyo Adi Wibowo, pendiri Churros Delicio, bisnis makanan berbendera CV Adhiwa Karya Mandiri. Penurunan harga BBM bersubsidi secara signifikan, menurut dia, akan menguntungkan karena di samping daya beli, mobilitas masyarakat juga meningkat, “Bagi kami, harga bahan baku juga bisa turun,” tutur Cahyo.

Nah, rupanya ada perusahaan kakap yang lebih sumringah dari pedagang kecil itu, yaitu industri penerbangan. Garuda Indonesia senang gara-gara Pertamina memangkas harga avtur. Kata Direktur Utama Garuda Arif Wibowo, turunnya harga avtur akan mendongkrak ekspansi industri aviasi lantaran biaya avtur adalah komponen biaya operasional paling besar.

Tapi ingat kata Enny, efek harga minyak dunia ke industry atau masyarakat, tak akan besar juka penurunan harga BBM yang ditentukan juga kecil.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar