Harga minyak dunia terus melandai seolah tak berdasar. Menyeret ekonomi global kian dekat ke jurang resesi. Satu-satunya solusi adalah negara produsen harus menyisihkan ego masing-masing dan mulai mengendalikan produksi minyak.
Perkembangan saat ini, alih-alih menyempit, gap antara pasokan dan permintaan malah berpotensi semakin menganga. Dipicu faktor fundamental berupa suplai yang tak terkendali dan tidak diiringi dengan permintaan yang sepadan.
Perang suplai minyak diprediksi bakal kian memanas seiring dengan pencabutan sanksi ekonomi terhadap Iran akibat menggelar program nuklir. Embargo ekonomi yang diberlakukan AS sejak sekitar tiga dasawarsa terakhir dan Uni Eropa sejak 23 Januari 2012 membuat ekspor minyak negeri Para Mullah itu terganggu.
Uni Eropa, misalnya, melarang impor minyak dari Iran dan membekukan asset-aset perbankan. Padahal, sebelum dikenai embargo, ekspor minyak Iran ke negara-negara di Benua Biru mencapai 600.000 barel per hari (bph).
Kini, setelah dicabut, pasokan minyak di pasar dunia bakal semakin meluber. “Tanpa menambah kapasitas produksi pun, minyak 600.000 barel per hari dari Iran akan masuk ke pasar dunia.” Kata Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute.
Sejak dikenal sanksi ekonomi, termasuk larangan investasi di industri minyak dan gas (migas), produksi minyak Iran stagnan di kisaran 2,7 juta bph. Iran bernafsu menarik investor, seperti Jerman dan Jepang, dengan mengusung ambisi mengerek kapasitas produksi menjadi 5,7 juta bph, pada akhir 2020.
Faktor kebijakan internal negeri Uwak Sam ikut menambah variabel penekan harga minyak. Pada pertengahan Desember 2015, kongres negara itu setuju mencabut larangan ekspor minyak mentah yang telah berlaku selama 40 tahun. Selama ini pengecualian hanya diberikan untuk ekspor ke Kanada sebesar 400.000 bph.
Pengendalian pasokan, meski bukan perkara mudah, sangat mungkin terjadi. AS, kata U.S. Enegry Information Administration (EIA) 12 Januari 2016, diprediksi bakal memangkas produksinya secara bertahap. Tahun ini produksi minyak mentah diperkirakan turun 700.000 bph menjadi 8,7 juta bph dari posisi tahun 2015. Tahun berikutnya, produksi diproyeksi turun lagi 200.000 bph.
Yang repot justru di sisi Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) yang menguasai 40% produksi minyak dunia. Penyebabnya, dua negara pendiri OPEC: Arab Saudi dan Iran tengah terlibat persekutuan diplomatic. Hal itu membuat kosolidasi di internasional organisasi minyak itu sulit dilakukan.
Belum lagi kekacauan harga yang dipicu ulah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Dari ladang minyak yang dikuasainya di Irak dan Suriah, saban hari ISIS menjual 20.000-40.000 barel minyak ke pasar gelap.
Bukan hanya perusahaan minyak yang farm-out, tapi negara produsen bisa bangkrut.
Angkanya memang tak signifikan dan terus berkurang seiring dengan penghancuran ribuan infrastruktur minyak ISIS oleh Rusia. “Tapi mereka jual minyak murah, di bawah pasar, sehingga mengacaukan harga,” ujar Komaidi.
Di sisi lain, suplai yang meluber tidak diiringi dengan permintaan yang sepadan. China dan India, dua konsumen minyak terbesar di dunia, ekonominya tengah melambat. Secara keseluruhan, meski permintaan tahun 2016 tumbuh 1,5% lebih tinggi ketimbang pertumbuhan produksi yang 1,3%, namun volumenya masih tak sepadan
Mendekat ke resesi
Jika pasokan minyak yang meluber ini terus berlanjut, terlalu besar risiko yang mesti ditanggung. Pasalnya, pendapatan utama 12 negara anggota OPEC, tidak termasuk Indonesia, disumbang sector migas.
Rusia yang berstatus produsen minyak terbesar ketiga di dunia juga mulai megap-megap. International Monetary Fund (IMF) alias Dana Moneter Internasional dalam laporan ekonomi dunia edisi Januari 2016 memprediksi ekonomi Rusia tahun ini bakal -1%. Jauh lebih buruk ketimbang proyeksi pada Oktober 2015 yang -0,6%. Selain karena harga minyak, sanksi ekonomi AS dan uni eropa mempersulit akselerasi ekonomi negeri beruang merah itu.
Dus, kalau tidak di sudahi, bukan cuma perusahaan minyak yang melakukan aksi farm-out. Negara produsen minyak juga terancam bangkrut. Hingga yang terburuk, ekonomi dunia makin dekat ke resesi.
IMF senduri sudah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia pada 2016 dari 3,6% menjadi 3,4%. “Satu-satunya cara mengerem, bahkan bisa menaikkan harga, adalah dengan cara mengurangi suplai,” kata Kurtubi, pengamat energy yang juga anggota Komisi VII DPR RI.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada kesepakatan antar produsen untuk memangkas produksi. Dus, sulit berharap dalam waktu dekat harga emas hitam bakal segera membaik. Goldman Sachs dalam risetnya menyebut, pasokan yang tidak terkendali bisa menyeret harga minyak Brent hingga ke level US$ 20 per barel.
Menurut Komaidi, level ini merupakan rata-rata biaya produksi minyak serpih (shale oil) AS. Sementara cost of production minyak Arab Saudi sekitar US$ 10- US$ 15 per barel.
Ia memprediksi laju penurunan harga yang cepat membuat posisi US$ 20 per barel mungkin tercapai di pengunjung 2016. Fahmy Radhi, pengamat migas dari Universitas Gadjah Mada, malah yakin, titik nadir bisa terjadi di pertengahan tahun ini. Selanjutnya, pembalikan harga minyak bakal terjadi. “Tapi tidak akan lebih dari US$ 30 per barel,” kata Fahmy.
EIA memprediksi, rata-rata harga spot West Texas Intermediate (WTI) turun dari US$ 48,67 per barel pada tahun 2015 menjadi US$ 38,54 per barel tahun ini. Namun, seiring dengan pemangkasan produksi, harga rata-ratanya bakal membaik ke US$ 47 per barel pada 2017.
Lantas, bagaimana nasib ekonomi Indonesia?
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar