Mengungkap Makna RUU KUP

Irwan Wisanggeni, Dosen Trisakti School of Management

Perubahan terhadap Undang-Undang Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) tinggal di depan mata. Revisi UU KUP bertujuan memudahkan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bukan hanya itu, revisi dilakukan agar pemungut pajak dalam menjalankan tugasnya lebih dipermudah, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak. Sebab, tahun 2016 ini, pemerintah menargetkan pendapatan pajak Rp 1.360 triliun atau naik 5% dibanding tahun 2015.

Jika dicermati, RUU KUP memuat 19 pokok perubahan substansial atas KUP yang berlaku saat ini. Berdasarkan analisa penulis, beberapa segi positif dapat digarismerahi sehubungan dengan perubahan UU KUP tersebut.

Perubahan yang positif tersebut adalah pendaftaran, pembayaran pajak dan pelaporan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT Tahunan PPh) dilakukan secara online yang diberi nama e-registration, e-tax payment, dan e-filling. Tentunya hal ini akan memudahkan wajib pajak dalam melakukan kewajiban perpajakan, sehingga biaya kepatuhan pajak dapat efisien.

Perubahan lainnya yang bagus dari RUU KUP ini adalah sanksi bunga 1% per bulan sedangkan KUP yang berlaku saat ini 2% per bulan. RUU KUP mengatakan dalam hal wajib pajak melakukan keberatan atas Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan Dirjen Pajak, sanksi administrasi berupa denda sebesar 50% dari Surat Ketetapan Keberatan dihapus menjadi tidak ada. Sebab, RUU ini menjelaskan utang pajak telah timbul saat SKP terbit dan telah dilakukan penagihan aktif.

Selain itu, sanksi denda 100% dalam hal permohonan banding wajib pajak ke pengadilan pajak ditolak, sanksi denda ini dihapus dalam RUU KUP dengan argument utang pajak telah timbul pada saat SKP terbit dan telah dilakukan penagihan aktif.

Beberapa terminologi juga berubah di RUU KUP ke arah yang lebih sesuai dengan kondisi saat ini, seperti wajib pajak menjadi pembayar pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) menjadi Nomor Identitas Pembayar Pajak (NIPP).

Setiap RUU memiliki kelebihan namun juga memiliki kekurangan, beberapa kekurangan yang mungkin perlu dipertimbangkan sebelum mengesahkan RUU KUP ini.

Misalnya, dalam RUU KUP ini, saat wajib pajak ingin melakukan permohonan banding, wajib pajak harus membayar 100% dari nilai pajak yang tertera di Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang menjadi dasar sengketa pajak. Dalam KUP yang berlaku saat ini, wajib pajak hanya membayar 50% dari SKP. Alasannya, permohonan banding ke pengadilan pajak tidak menunda kewajiban pembayaran pajak dan utang pajak muncul sejak SKP terbit. Sehingga SKP harus dilunasi 100% saat mengajukan permohonan banding.

Harus ramah bisnis

Tentunya hal ini akan memberatkan cash-flow wajib pajak yang harus membayar 100%. Dampak secara psikologis dari aturan ini, pemeriksa pajak akan membuat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar-besarnya mengingat jumlah pajak yang harus segera dilunasi oleh wajib pajak secara keseluruhan sebelum wajib pajak mengajukan permohonan banding.

Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP yang berlaku saat ini mewajibkan wajib pajak badan menyelenggarakan pembukuan berapapun omzetnya. Hal ini berbenturan dengan Peraturan Pemerintah (PP) no. 46 tahun 2013 yang mengatur soal pajak untuk usaha kecil menengah (UKM) baik wajib pajak badan maupun wajib pajak pribadi yang beromzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan tariff 1% dari omzet. Tujuannya untuk memudahkan wajib pajak menjalankan kewajiban perpajakan tanpa harus membuat pembukuan karena langsung menghitung pajak terutang 1% dari omzet.

Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP yang berlaku saat ini perlu direvisi dengan bunyi “setiap wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang beromzet dibawah Rp 4,8 miliar per tahun tidak perlu melakukan pembukuan.”

Menurut hemat penulis, RUU KUP yang sedang digodok dan segera disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), perlu dikaji secermat mungkin agar ramah terhadap pebisnis dan dapat menambah penerimaan negara dari sektor perpajakan. Sebab, jika undang-undang perpajakan tidak ramah bisnis, pastilah aturan ini justru akan menghambat perekonomian secara nasional.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar