Dalam tempo kurang dari sebulan, dua terdakwa tindak pidana perpajakan menghadapi vonis pengadilan. Di Malang, Jawa Timur, Pengadilan Negeri (PN) setempat menjatuhkan hukuman pidana penjara selama dua tahun enam bulan, dan denda sebesar Rp 31,64 miliar, subside 5 (lima) bulan kurungan kepada terdakwa yang berinisial TPK, 11 Februari 2016.
TPK adalah seorang distributor telepon seluler yang terbukti melakukan penggelapan pajak sehingga membayar kewajiban jauh di bawah seharusnya. Untuk tahun pajak 2007 peredaran usaha sebesar Rp 109,39 miliar hanya dilaporkan sebesar Rp 429 juta, sedangkan peredaran usaha tahun pajak 2008 sebesar Rp 128,28 miliar hanya dilaporkan sebesar RP 473 juta.
Dari Bandung, Jawa Barat PN menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dan denda sebesar total Rp 11,158 milyar kepada RR subsider 2 bulan kurungan, 8 Maret 2016. RR adalah Komisaris PT NKC, perusahaan yang bergerak di bidang penyediaan jasa tenaga kerja.
Ia dan NN, Direktur PT NKC yang telah diputus bersalah sebelumnya, tidak melaporkan seluruh hasil penjualan dalam SPT Masa PPN sehingga PPN yang telah dipungut dari konsumen tidak disetorkan ke Kas Negara.
Tidak Cuma mengejar Wajib Pajak (WP), aksi bersih-bersih juga dilakukan dalam kantor internal aparat pajak.
Pada 11 Maret malam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan penetapan tiga pemeriksa pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta, Kebayoran Baru III sebagai tersangka. Ketiganya; Hery Setiadji, Indarto Catur Nugroho, dan Slamet Riyana adalah pemeriksa pajak yang diduga memeras PT EDMI Indonesia terkait restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Badan 2012 dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2013.
Kasus ini, kata Mekar Satria Utama, merupakan hasil kerja sama antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang diserahkan ke KPK. Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, itu ketiga pegawai tadi sudah diberhentikan dengan tidak hormat sejak 1 Agustus 2014.
Aparat pajak memang tengah giat-giatnya mengisi pundi penerimaan negara. Maklum target penerimaan perpajakan yang harus mereka kumpulkan tahun ini mencapai Rp 1.360,1 triliun. Lebih tinggi 28,21% dari realisasi tahun lalu, yang Rp 1.060,8 triliun. Walau dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2016, Kementerian Keuangan berencana memangkas target penerimaan pajak. Ini untuk menyesuaikan dengan kondisi ekonomi yang dihadapi Indonesia.
Upaya mengejar target dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya melalui penambahan Wajib Pajak (WP) baik Orang Pribadi (OP) maupun WP Badan.
Upaya strategis ini dilakukan, lantaran WP, terutama pribadi dianggap belum tergarap maksimal. Di banyak negara maju, kata pengamat perpajakan Wahyu Nuryanto, penerimaan bergantung pada pajak orang pribadi dibanding koperasi.
Sementara di Indonesia, kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, realisasi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi tahun lalu hanya sekitar Rp 9 triliun. Padahal, pemilik Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) ada sekitar 27 juta orang. Sebanyak 10 juta diantaranya melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), tapi hanya 900.000 orang yang telah membayar pajak dengan benar. “Tahun ini kita targetkan (penerimaan PPh dari WP Pribadi) naik dua kali lipat,” tandas Bambang.
Dus, setelah tahun 2015 ditetapkan sebagai pembinaan pajak, kali ini akan menjadi tahun penegakan hukum. Bambang pun telah mengumpulkan 4.551 pemeriksa dan penyidik pajak dari seluruh Indonesia di kantor pusat Ditjen Pajak di Jakarta. “Mempersiapkan mereka, apabila tax amnesty dikabulkan, apa yang harus dilakukan. Jika tax amnesty tidak bisa dilakukan apa yang harus mereka lakukan,” terang Mekar, yang akrab disapa Toto.
Jika Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty disahkan DPR, tugas aparat pajak ini mungkin akan sedikit ringan. Tapi kalau tax amnesty gagal, pendekatannya akan melalui tahapan penelitian, pengawasan hingga pemeriksaan. Pastinya tanpa penghapusan sanksi. Bahkan, tidak menutup kemungkinan diproses hingga ke jalur hukum.
Aparat pajak sudah mengantongi data WP yang tidak patuh. Ada sekitar 61 instansi, lembaga, asosiasi, dan pihak ketiga lainnya (ILAP), termasuk pemerintah daerah yang memberikan data ke Ditjen Pajak. Misalnya, Badan Pertanahan Nasional berupa data kepemilikan asset tanah.
Tahun lalu, WP sudah diberi kesempatan untuk membetulkan SPT tanpa dikenai sanksi administrasi bunga maupun sanksi atas keterlambatan pelaporan pajak.
Jika tak juga diindahkan, tahun ini akan diproses ke tingkat pemeriksaan hingga ke penetapan-penetapan perpajakan.
Geo tagging efektif
Lantas, bagaimana jika masih ada WP nakal yang lolos dari pantauan? Ditjen Pajak juga menerapkan model canvassing (penyisiran) yang berlaku secara nasional. Publik mengenalnya dengan menggunakan teknologi geo tagging. Sederhananya, aparat pajak akan mendatangi tempat usaha yang baru dan potensial dan mengunggah tempat usaha tersebut di laman geo tagging yang bisa diakses semua pegawai pajak.
Jika pemilik usahanya sudah memiliki NPWP,akan ditinjau apakah pembayaran pajaknya sudah benar atau belum. Kalau belum benar, akan dilakukan proses himbauan dan seterusnya. Kalau empunya belum memiliki NPWP, aparat pajak akan membantu si pemilik usaha untuk membuat NPWP.
Untuk menilai apakah laporan pajaknya wajar atau tidak, aparat bisa menggunakan metode benchmarkingyang sebetulnya sudah dikembangkan sejak tahun 2008. Misalnya, di pusat perdagangan tekstil di wilayah Tanah Abang, Jakarta. Rata-rata toko di sana memiliki omzet Rp 1 miliar per tahun dengan rasio keuntungan 1%. “Kalau ditemukan ada usaha sejenis di wilayah yang sama, tapi rasio keuntungannya dibawah 1%, itu jadi trigger untuk kami selidiki,” ujar Toto.
Berdasarkan hasil penyelidikan, aparat pajak akan memberikan imbauan agar si pelaku usaha melakukan klarifikasi laporan pajak. Kalau pelaku usaha tidak melakukan klarifikasi atau klarifikasinya tidak jelas, aparat pajak bisa melakukan pemeriksaan. “Tahun sebelumnya kami sudah memberikan kesempatan untuk perbaikan. Kalau tahun ini kita kenakan langsung dengna penetapan pemeriksaan dan selanjutnya,” imbuhnya.
Di sinilah nilai strategis penggunaan geo tagging untuk intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Bukan Cuma sekadar menambah jumlah WP, tapi WP yang teridentifikasi adalah yang betul-betul berpotensi menaikkan penerimaan pajak.
Selama ini, kata pengamat perpajakan Yustinus Prastowo, pertambahan jumlah wajib dengan penambahan penerimaan. Sebab WP pribadi baru kebanyakan berasal dari kalangan pekerja dan buruh yang potensi pajakanya tidak terlalu besar. Bukan kalangan yang seharusnya menjadi wajib pajak tapi tidak dipajaki.
Mereka-mereka ini, kata Prastowo, misalnya, para pemilik usaha pertambangan dan perkebunan yang bukan perusahaan besar. Lalu pemilik took, ruko, usaha konveksi, rumah makan, dan sebagainya. “Geo tagging ini bagus akurasinya, lebih bermutu informasinya. Tinggal bagaimana digunakan oleh pemeriksa dan Account Representative sehingga menghasilkan penambahan penerimaan,” imbuhnya.
Seluruh Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang jumlahnya 300-an akan diberikan tenggat waktu hingga 30 April 2016 untuk memetakan daerah kerja mereka. Hingga saat ini sudah lebih dari 440 ribu lokasi yang ditandai di laman geo tagging. Untuk memudahkan proses pendataan, tahun depan geo tagging akan dibuat dalam bentuk aplikasi mobile.
Sasaran berikutnya yang bisa menaikkan penerimaan adalah kelompok orang super kaya yang jumlahnya sekitar 46.000 jiwa. Yang termasuk dalam kategori ini adalah yang memiliki kekayaan di atas US$ 1 Juta.
Menurut pengamat perpajakan Darussalam, di banyak negara kelompok ini berkontribusi cukup signifikan dalam penerimaan pajak. “Mereka sebaiknya ditempatkan di satu KPP tertentu bersama dengan perusahaanya agar mudah dipantau,” saran Darussalam.
Di Indonesia, lanjutnya, para orang kaya ini sudah ditempatkan dalam satu KPP khusus. Sayangnya tidak disatukan bersama dengan perusahaannya. Padahal jika dipisahkan seperti saat ini, pengawasan menjadi tidak efektif. Sebab peralihan asset dan harta dari orang pribadi ke perusahaan lebih sulit dilacak.
Pajak bisnis online
Dari sisi jenis usahanya, pemerintah sejak lama sebetulnya memantau beberapa faktor usaha yang potensial. Darussalam menyebut, pada tahun 2013 terdapat beberapa sektor yang tax coverage gap-nya tinggi. Semisal pertambangan, property, dan sektor jasa keuangan. Kondisi ini terjadi lantaran wajib pajak di sektor tersebut cenderung tidak patuh.
Selain itu, juga diakibatkan oleh beberapa factor, misalnya, peraturan pajak di sektor tersebut yang belum optimal, tidak tersedianya data yang akurat, dan akibat banyaknya perencanaan pajak yang agresif serta tax evasion yang dilakukan wajib pajak bergerak di sektor bersangkutan.
Sementara untuk bisnis online, pemerintah nampaknya mulai serius menggarap potensi perpajakannya. Di dalam rancangan PP tentang e-commerce, pemerintah mencantumkan satu ayat soal ketentuan pajak, yakni di pasal 68 ayat 2. Di situ tertera bahwa untuk perdagangan secara elektronik berlaku ketentuan dan mekanisme perpajakan sesuai peraturan perundang-undangan.
Namun pelaku usaha yang bisa dikenai pajak hanyalah yang memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) di wilayah Indonesia. Dengan begitu, pemerintah tidak bisa menjangkau pemain-pemain global semacam Google dan Facebook. Sebab, sampai saat ini, meski mereka menerima penghasilan dari transaksi semisal iklan dari Indonesia, mereka tidak memiliki kantor di Indonesia.
Pemerintah sendiri sejak beberapa tahun terakhir berusaha menarik raksasa-raksasa internet itu agar mau membuka kantor di Indonesia. Namun, kata Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, tujuan utamanya bukanlah soal pajak. “Kami focus kepada customer protection dan legal standing. Supaya mereka di sini, jika ada sesuatu bisa dipertanggungjawabkan. Intinya itu. Bukan semata-mata karena alasan pajak,” kata menteri yang akrab disapa Chief RA itu.
Meski begitu, ia mengaku potensi perpajakan dari sana memang bisa digarap. Tapi lantaran bukan tujuan utama, pajak dengan sendirinya akan mengikuti jika para pemain global itu membuka kantor perwakilan di tanah air.
Dari sisi pemain kecilnya, Wahyu menyarankan aparat pajak lebih getol memelototi perkembangan transaksi online. Tidak Cuma yang bertransaksi melalui marketplace, tetapi juga yang membuka situs sendiri. Meskipun potensi penerimaanya tergolong kecil, kehadiran aparat pajak, termasuk dalam menjalankan fungsi pembinaan, harus dimulai. “Di Jepang ada petugas pajak khusus yang kerjaannya mengamati situs jual beli. Bahkan blog-blog itu kalau dia aktif, dia bisa terima iklan juga,” ujar Wahyu.
Daniel Tumiwa, Ketua Umum iDEA meminta pemerintah, seperti yang pernah disinggung Chief RA, menyederhanakan lagi ketentuan pajak di usaha online. Bentuk penyederhanaannya bisa dengan menerapkan pajak final, seperti yang berlaku di UMKM. Ini terutama untuk startup local yang baru mulai berkembang. “Kalau startup sekelas UKM tiap bulan harus hitung pajak pemasukan dan pajak pengeluaran, apa tidak pusing,” tandasnya.
Biar kecil, yang penting pada bayar, ya, Pak!
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar