Penerbitan utang baru bisa mendongkrak DSR

Pemerintah kembali menerbitkan sukuk global senilai US$ 2,5 miliar untuk tambal defisit

JAKARTA. Pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mencari alternative pembiayaan guna menambal defisit anggaran negara. Bila tidak, kemampuan pemerintah dalam membayar utang bakal kian lemah.

Pelemahan kemampuan membayar utang yang diwakili lewat debt to service ratio (DSR) ini menyusul penerbitan sukuk global sebesar US$ 2,5 miliar, dini hari tadi (23/3). “Penjualannya dilakukan pemerintah pada pukul 01.00 dini hari,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemkeu) Robert Pakpahan, Selasa (22/3).

Dari penerbitan sukuk global ini pemerintah menetapkan target indikatif US$ 2 miliar yang terdiri dari dua tenor. Yakni lima tahun dan 10 tahun. Pemerintah menetapkan imbal hasil (yield) untuk sukuk global bertenor lima tahun sebesar 3,4% dan yield sukuk global bertenor 10 tahun sebesar 4,55%.

Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), rasio pembayaran utang atau debt to service ratio (DSR) untuk tier I yang meliputi pembayaran utang pokok dan bunga atas utang jangka panjang dan pembayaran bunga atas utang jangka pada tahun 2015 tercatat 29,13%.

Sedangkan DSR tier II atau rasio pembayaran utang pokok dan bunga atas utang dalam rangka investasi langsung, serta pinjaman dan utang dagang kepada non afiliansi pada tahun lalu tercatat 61,68%.

Rasio pembayaran utang ini jauh lebih lemah ketimbang tahun 2014. Kala itu, DSR tier I tercatat 23,10% dan DSR tier II sebesar 51,43%.

Bila menilik data triwulanan, rasio DSR tier I dan tier II juga melonjak cukup drastis. Pada triwulan III-2015, DSR tier I tercatat 26,05% dan naik menjadi 29,13% pada triwulan IV-2015. Sedangkan untuk DSR tier II, pada triwulan III-2015 tercatat 57,02% dan meningkat menjadi 61,68% pada triwulan IV-2015. Padahal, bila mengacu ketentuan International Monetery Fund (IMF), batasan DSR yang wajar adalah sekitar 30%-33%.

Pelemahan DSR ini sejalan dengan rencana pemerintah menambal defisit anggaran tahun ini yang ditetapkan 2,15% dari produk domestic bruto (PDB). Sayangnya, disisi lain berpotensi melemahkan rasio DSR.

Harus hati-hati

Ekonom INDEF Eko Listiyanto menuturkan, penerbitan utang pemerintah yang diperbesar untuk menambal defisit anggaran ini akan berdampak pada kenaikan DSR. Dengan kondisi saat ini, saat bank sentral di beberapa negara menurunkan suku bunganya hingga level negatif, ini akan membuka peluang bagi pemerintah untuk menarik utang yang lebih besar. Alhasil, kondisi ini juga bakal berefek pada kenaikan DSR.

Menurutnya, meski pemerintah telah memiliki skenario kenaikan DSR akibat penerbitan utang tahun ini, pemerintah harus tetap menjaga rasio DSR. Sebab, “Banyak negara yang telah dihitung oleh lembaga pemeringkat utang bahwa kemampuannya masih aman, tetapi kenyataannya tidak bisa membayar utang,” kata Eko, kepada KONTAN, Selasa (22/3).

Untuk menjaga rasio DSR agar tetap aman di level yang wajar, pemerintah harus mendongkrak kinerja ekspor. Tapi lantaran harga komoditas saat ini belum membaik, pemerintah harus bisa meningkatkan penerimaan dari pajak agar belanja pemerintah tidak tergantung dari utang global maupun utang dalam negeri. Di sisi lain, kata Eko, pemerintah harus bisa mengubah pola penyerapan belanja negara agar lebih optimal.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , , , , , , , , ,

Tinggalkan komentar