
Selasa (22/3), ribuan sopir taksi kembali berunjuk rasa di Jakarta menuntut pemerintah melarang transportasi berbasis aplikasi karena dianggap merugikan mereka.
Berbeda dengan sepekan sebelumnya, demo kali ini diwarnai aksi kekerasan antara massa yang menatasnamakan Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) dengan pengemudi transportasi online. Tak ayal, suasana sebagian jalan utama ibukota yang macet parah sempat menimbulkan ketakutan di masyarakat.
Pasalnya sopir taksi melakukan sweeping ke sejumlah kendaraan pribadi maupun sopir taksi yang tidak mau ikut unjuk rasa. Bahkan mereka terlibat tawuran dan lempar-lemparan batu dengan tukang ojek online di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Bentrokan massa yang dipicu persaingan usaha antara taksi konvensional dengan transportasi daring, seperti Grab, Uber, dan Gojek ini pecah bukan kali ini saja. Ketua PPAD Cecep Handoko berdalih, aksi turun ke jalan sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang membiarkan taksi aplikasi beroperasi, sehingga berdampak turunnya pendapatan sopir taksi.
Memang, hadirnya aplikasi online ini membuat bisnis taksi mulai tersaingi. Bagaimana tidak, tarif taksi aplikasi sangat menarik bagi konumen karena lebih murah. Sekadar perbandingan, untuk rute Cakung ke Bandara Halim Perdanakusuma yang sama-sama di Jakarta Timur, dengan taksi konvensional tarifnya Rp 105.000, sedangkan dengan transportasi aplikasi hanya Rp 55.000.
Wajar saja transport aplikasi murah karena tidak menanggung beban yang harus dipikul perusahaan taksi konvensional, misalnya pajak, biaya jasa angkutan, biaya kredit mobil, gaji pegawai perusahaan, asuransi, biaya listrik, dan AC.
Sementara, saban hari sopir taksi konvensional dikejar-kejar uang setoran ke perusahaan, selain biaya bahan bakar minyak (BBM). Alhasil, makin mini pendapatan yang bisa di bawa pulang ke rumah.
Asep (35), sopir taksi Express, merasakan jumlah penumpangnya menurun akibat kemunculan aplikasi online untuk sewa mobil. “Kalau untuk setoran saja, sih, bisa tapi yang harus dibawa pulang ke rumah semakin kecil,” ungkap dia.
Warga Sumedang yang sudah lima tahun menjadi sopir taksi ini menuturkan, sebelum ada taksi aplikasi, untuk mendapatkan setoran minimal Rp 500.000 per hari tidak terlalu sulit karena penumpang masih ramai. Sekarang, susahnya bukan main. Bahkan, ia harus menarik taksi dari pagi hingga malam agar setoran mencapai target. “Dulu, banyak penumpang di pinggir jalan yang stop taksi, sekarang semakin jarang,” keluhnya.
Hal serupa dialami Ridwan (38), sopir taksi Blue Bird, yang mengaku jam operasional semakin panjang saja. Maklum, persaingan memperebutkan penumpang semakin berat akibat jumlah taksi bertambah plus marak taksi pelat hitam alias transportasi aplikasi. Tak ayal, jumlah komisi yang diperoleh dari perusahaan operator taksi tempatnya bekerja terus menipis. Sebab, nilai komisi tergantung jumlah setoran yang diperoleh meski tidak ada patokannya. Artinya, semakin banyak setoran, komisinya otomatis makin besar pula.
Biasanya Ridwan mendapatkan komisi Rp 250.000 per hari. Kini, pendapatan komisi kurang dari Rp 200.000 per hari. “Penghasilan terus menurun, karena banyak penumpang yang beralih ke transportasi aplikasi dan ojek online,” tudingnya.
Memang, Blue Bird tidak memasang target pendapatan setoran kepada para sopir taksinya karena menerapkan system komisi dan gaji. Jumlah minimum komisi dipatok Rp 100.000. Jika mereka mendapatkan penghasilan lebiih, maka bisa memperoleh komisi sebesar 30%-50% tergantung dari revenue.
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar