Besaran Cukai Plastik Tak Sampai Rp 200 per Botol

JAKARTA – Pemerintah mengklaim, rencana pengenaan cukai terhadap kemasan plastic tidak akan membebani industry. Pasalnya, tariff cukai yang akan diterapkan dianggap tidak terlalu tinggi.

Menurut Nasruddin Djoko Surjono, Kepala bidang Kebijakan Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, besaran cukai tidak lebih dari Rp 200 per botol. Tarif ini dinilai masih rendah.

Namun, ia mengakui bahwa kebijakan ini akan memicu kenaikan harga produk yang menggunakan kemasan botol plastic. Hanya saja, kenaikannya tidak akan terlalu tinggi.

Menurutnya, permintaan konsumen terhadap botol plastic bersifat inelastic. “Kalau konsumen beralih dari penggunaan plastic, itu lebih bagus,” kata Nasruddin, Kamis (14/4) kepada KONTAN.

Ia beralasan, tujuan kebijakan ini memang untuk mengurangi penggunaan kemasan plastic, yang dianggapnya merusak lingkungan. Apalagi, dampak terhadap penerimaan Negara sebetulnya tidak terlalu besar, yakni kurang dari Rp 10 triliun.

Nasruddin mengaku sudah memperhitungkan dampaknya terhadap inflasi. Hasilnya, dampaknya sangat rendah. Catatan saja, laju inflasi di sector makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau pada Maret lalu 0,36% dengan andil terhadap total inflasi 0,06%.

Sementara itu, teknis pemungutan cukai botol plastic ini tidak akan menggunakan pita cukai. Melainkan dengan cara pembayaran langsung atas jumlah botol plastic yang diproduksi oleh pengusaha.

Cara ini dianggap akan lebih efektif dan lebih efisien. Karena pemerintah tidak perlu mencetak pita cukai penyelamatan tanda pelunasan cukai lainnya pada kemasan botol.

Pengusaha keberatan

Kebijakan cukai botol plastic ini masih menyulut protes, terutama dari industry plastic. Maklum hampir sebagian besar produk botol plastic menggunakan kemasan berbahan dasar plastic.

Wakil Ketua Asosiasi Industri Olefin Aromatik & Plastik Indonesia (Inaplast) Budi Susanto mengaku keberatan dengan kebijakan ini. Ia menilai, tujuan dari kebijakan ini hanyalah untuk mencari cara agar ada tambahan pendapatan Negara.

Padahal, dampak kebijakan ini bagi industry cukup besar. Ditengah pertumbuhan, ekonomi yang belum stabil, kebijakan ini dianggap akan kontraproduktif.

Namun, Ia tidak bisa berbuat apa-apa jika pemerintah tetap memberlakukan kebijakan ini. Pemerintah memang akan mengajukan kebijakan ini sebagai bagian dari Rancangan Anggaran Pendapatan dan belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) 2016.

Sementara anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Ecky Awal Mucharam mengatakan akan mendalami kebijakan ini. Jangan sampai kebijakan kontraproduktif dengan pertumbuhan ekonomi.

Sumber: Kontan

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , , , , ,

Tinggalkan komentar