Awan gelap masih menyelimuti bisnis perbankan di tanah air. Mesin penyumbang utama pendapatan bank masih belum berjalan dengan semestinya. Penyaluran kredit yang seret membuat laba tidak tumbuh optimal.
Alhasil, saat ini bank-bank lebih memilih strategi jangka pendek dalam mencetak laba. Dengan menurunkan bunga simpanan secepatnya dan menahan penurunan bunga kredit selambat mungkin. Rasio bunga bersih atau net interest margin (NIM) pun meningkat.
Pangkal masalah yang membuat kredit perbankan seret masih berasal dari ketidakpastian perekonomian global dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum pulih betul. Nasabah lebih memilih menahan diri untuk mencairkan kredit lantaran permintaan sektor riil yang rendah. Per Mei 2016 lalu, fasilitas kredit yang belum dicairkan atau ditarik nasabah mencapai Rp 1.258,171 triliun.
Perbankan pun memilih bermain aman dan menghindari risiko. Ketimbang menggenjot penyaluran kredit ke sektor-sektor potensial yang belum tergarap dengan mengembangkan model pembiayaan baru, bank lebih suka mengendalikan pengucuran pinjaman.
Bank juga memfokuskan perhatiannya untuk merestrukturisasi kredit bermasalah alias nonperforming loan (NPL) yang mencul dari seretnya pemasukan debitur dan tingginya bunga kredit. Saat ini NPL Gross menyentuh angka 3%.
Gambaran ini terlihat jelas dalam laporan keuangan sejumlah bank. Salah satunya, Bank Mandiri. Hingga paro pertama tahun ini, penyaluran kredit bank pelat merah itu baru sebesar Rp 610,9 triliun. Jumlah ini hanya tumbuh 2,59% dibanding akhir tahun lalu (year to date). Portofolio kredit komersial yang turunnya paling tajam, mencapai Rp 2,1 triliun.
Untungnya, dalam kondisi lesu, Bank Mandiri tetap bisa menorehkan laba bersih sebanyak Rp 7,08 triliun. “Dari total kredit yang disalurkan, sebesar 86,1% merupakan kredit produktif termasuk pembiayaan ke sektor infrastruktur serta usaha mikro, kecil, dan menengah,” ujar Rohan Hafas, Sekretaris Perusahaan Bank Mandiri.
Tapi, Bank Mandiri harus menyelesaikan maslah NPL yang melonjak jadi 3,86%. Penyebabnya, NPL kredit komersial melesat menjadi 6,69%. Maklum, debitur segmen ini bisnisnya sangat rentan terkoreksi oleh pelemahan ekonomi.
Rapor kredit Bank Central Asia (BCA) dan Bank Danamon malah mewah. Kedua bank swasta ini mencatatkan pertumbuhan kredit negatif sepanjang semester I 2016. BCA Cuma menggelontor kredit sebesar Rp 387,09 triliun, turun 0,2% dibanding akhir tahun 2015. Bank Danamon turun lebih dalam lagi, 3,38% jadi Rp 124,92 triliun. Pertumbuhan negatif ini mulai dirasakan BCA sejak awal tahun. Bank Danamon malah lebih lama lagi, sudah mencicipi penurunan semenjak 2015.
Sektor korporasi yang turun 4,1% jadi biang keladi pertumbuhan negatif kredit BCA. Sedang di Bank Danamon, segmen pembiayaan komersial dan mass market yang turunnya paling dalam, masing-masing mencapai 37% dan 3%.
Bunga sudah rendah
Kedua bank tersebut juga menggoreskan kenaikan NPL. Rasio kredit bermasalah BCA meningkat jadi 1,4% dan Bank Danamon menjadi 3,3%.
Meski begitu, mereka masih bisa mencetak laba yang tinggi. BCA berhasil mengantongi laba Rp 9,58 triliun atau tumbuh 12,1% dan Bank Danamon Rp 1,37 triliun, naik 38%.
Jahja Setiaatmadja, Presiden Direktur BCA, mengatakan, selama semester I 2016 permintaan kredit memang melambat. Sektor korporasi pertumbuhannya negatif karena mereka masih wait and see dan menghindari gejolah pasar. “Padahal, bunga kami sudah paling rendah dan dibanding yang lain tapi permintaan tetap saja lemah. Ini membuktikan bunga kredit bukan faktor penting mendorong kredit,” tegasnya.
Menurut Vera Eve Liem, Direktur Keuangan Bank Danamon, di segmen mass market penurunan terbesar berasal dari pembiayaan kendaraan bermotor. Kredit sektor ini merosot seiring dengan penjualan mobil yang tak melaju kencang.
Melihat kinerja yang kurang baik ini, wajar jika bank mengubah target bisnisnya. Bank memilih realistis dalam mengarungi sisa tahun ini, dengan merevisi ke bawah target penyaluran kredit mereka.
Muliaman D. Hadad, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bilang, berdasarkan revisi rencana bisnis bank (RBB) yang mendarat di mejanya, tahun ini perbankan menargetkan kredit tumbuh 11% hingga 12%. Target ini mengalami penyesuaian dari sebelumnya 12%-14%.
Meski begitu, perubahan pertumbuhan kredit tersebut, kata Muliaman, menunjukkan sektor perbankan masih optimistis melihat prospek kinerja tahun ini. Sektor komoditas seperti tambang masih jadi faktor utama yang menyebabkan permintaan kredit melambat. “Ekspektasi pertumbuhan ekonom yang membaik di semester dua juga menciptakan kepercayaan baru,” ujarnya.
Tapi, Bank Indonesia (BI) tidak seoptimistis OJK dan perbankan. Bank sentral menghitung penyaluran kredit tahun ini lebih rendah, hanya akan tumbuh 10%-12%. Pada awal tahun BI memprediksi kredit bakal tumbuh 11%-13%.
Juda Agung, Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI, menyatakan, tahun ini permintaan kredit perbankan masih cukup rendah, sekalipun bank berpotensi mendapatkan tambahan likuiditas dari Pengampunan Pajak (tax amnesty). Program pemerintah ini baru terasa efeknya tahun depan dalam mendorong kredit.
BI memperkirakan kredit tahun depan bakal lebih tinggi 2% hingga 3% dari pencapaian tahun ini. “Dari sisi pasokan likuiditas akan besar tapi permintaannya harus digerakkan dulu, agar cocok antaran pasokan dan permintaan,” ucap Juda.
Bank Mandiri adalah salah satu bank yang mengajukan revisi RBB. Bank berlogo pita emas ini menurunkan target kreditnya, dari sebelumnya 12%-14% jadi 10%-12%. Mereka juga menyeret turun target penambahan mesin electronic data capture(EDC) dan automated teller machine(ATM) jadi 5.000 unit dan 567 unit.
Rohan menjelaskan, revisi tersebut karena perlambatan ekonomi. Sektor kredit yang paling terasa efeknya ialah segmen korporasi. Maklum, Bank Mandiri memang focus menggarap sektor korporat.
Pahal Mansury, Direktur Keuangan dan Treasuri Bank Mandiri menambahkan, pada semester II 2016 banknya akan focus menggarap segmen korporasi, mikro, dan consumer. Ketiga sektor ini cukup potensial dan masih memiliki pertumbuhan bisnis yang baik. “Proyek infrastruktur yang digencarkan pemerintah berpotensi kami biayai,” ungkap Pahala.
Bank Danamon juga merevisi target kredit ke bawah. Tahun ini bank milik investor Singapura itu mematok target pertumbuhan kredit sama dengan tahun lalu, sebesar Rp 129,4 triliun. Awal tahun mereka menargetkan kredit tumbuh 8% dari pencapaian 2015.
Bank Danamon juga merevisi target kredit ke bawah. Tahun ini bank milik investor Singapura itu mematok target pertumbuhan kredit sama dengan tahun lalu, sebesar Rp 129,4 triliun. Awal tahun mereka menargetkan kredit tumbuh 8% dari pencapaian 2015.
Bank Danamon memilih sikap yang realistis dalam menyalurkan kredit gara-gara pertumbuhan di semester satu negatif. “Kalau terlalu tinggi kami akan kesulitan merealisasikannya, apalagi permintaan memang sedang lemah,” kata Vera.
Untuk mewujudkan target kredit, Bank Danamon akan tetap focus pada segmen mass market sambil melihat peluang penyaluran dari segmen lainnya. Bank Danamon juga akan menerapkan kehati-hatian agar NPL tak melonjak lagi.
Mencari momentum
Tak ketinggalan, Bank Bukopin merevisi turun target kredit. Padahal, selama semester I 2016 pertumbuhan kredit mereka meningkat 20,72% jadi Rp 70,8 triliun dibanding periode yang sama di 2015. “Dengan mempertimbangkan situasi makro, kami melakukan revisi pertumbuhan kredit di 2016. Target penyaluran kredit kami revisi jadi 12,02% dari 12,7%,” beber Glen Glenardi, Direktur Utama Bank Bukopin.
Sebagian besar kredit Bank Bukopin mengalir ke sektor UKM, porsinya 43,03%, lalu komersial 34,45% dan mikro 12,60%. Di sektor mikro, mereka mengandalkan pertumbuhan bisnis dari segmen yang baru dikembangkan: pensiunan.
Pertumbuhan paling tinggi tentu di sektor UKM, sebesar 29,71% jadi Rp 30,5 triliun yang ditopang sektor perdagangan ritel. “Bisnis mikro dan ritel ini yang akan kami kembangkan terus untuk penetrasi di semester dua,” tambah Glen.
Sebaliknya, meski di semester I pertumbuhannya minus, BCA justru m revisi ke atas penyaluran kreditnya jadi 10,5%- 11%. Mereka akan focus menggenjot kredit consumer terutama kredit pemilikan rumah (KPR) serta kredit kendaraan bermotor (KKB).
Menurut, BCA ingin memanfaatkan momentum pelonggaran plafon pemberian kredit atau loan to value (LTV) jadi 15% yang diberikan BI. Pada segmen consumer, bank yang berafiliasi dengan Grup Djarum ini memang cukup unggul karena memiliki bunga kredit paling murah.
Toh, di semester II, Jahja menambahkan, masih ada ketidakpastian bagi bank dalam menyalurkan kredit. Perbankan masih meraba-raba untuk mencari strategi penyaluran kredit, khusunya segmen kredit modal kerja dan investasi.
Berdasarkan pengalaman BCA, puncak permintaan kredit modal terjadi mendekati Lebaran. Pada periode ini pengusaha berlomba-lomba menarik pinjaman demi memenuhi permintaan pasar. Sementara kredit investasi sangat terpengaruh kebijakan pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Jika ekonomi bagus, pengusaha akan melakukan investasi demi meningkatkan kapasitas produksinya. “Tahun ini fenomena baru karena Lebaran di tengah tahun dan belum terlihat lagi momentum bagi pengusaha menaikkan produksi secara signifikan,” ujarnya.
Kredit, sih, berlimpah, tapi sedikit yang mencairkan.
Penulis: Roy Franedya, Agung Jatmiko, Nina Dwiantika
Sumber: Tabloid Kontan, 8 Agt-14 Agt 2016
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar