
JAKARTA. Desakan revisi beleid penyelenggaraan program jaminan hari tua (JHT) terus berlanjut. Rasio klaim JHT yang tinggi menjadi salah satu pertimbangan agar Peraturan Pemerintah (PP) No. 50/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua kembali direvisi.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menyebut per Juli 2016 lalu, total klaim yang telah dibayarkan mencapai Rp 11,59 triliun. Kalim terbesar dari program jaminan hari tua yakni sebanyak Rp 10,8 triliun.
Klaim jaminan hari tua tinggi sejak PP Nomor 60/2015 berlaku September 2015 silam. Beleid ini membolehkan peserta BPJS Ketenaagakerjaan mencairkan JHT sebulan setelah peserta terkena pemutusan hubungan kerja atau PHK atau mengundurkan diri. PP tersebut kemudian diperkuat dengan Permenaker No. 19/2015 tentang Tata Cara dan Syarat Pembayaran Manfaat JHT.
Kelonggaran ini pula yang membuat pengajuan klaim JHT meningkat. Catatan BPJS, puncak klaim terjadi pada bulan September 2015 dengan 300.000 kasus. Saat ini, klaim JHT sudah mulai menyusut dengan rata-rata 100.000 klaim per bulan.
Itu pula yang menjadi salah satu pertimbangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dua kali melayangkan surat ke Presiden Joko Widodo awal Juni 2016 dan Agustus 2016 lalu. DJSN minta aturan main JHT dikembalikan ke PP No 46/2015. Di PP ini, manfaat JHT baru bisa diberikan setelah 10 tahun masa kepesertaan. Plt. Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasioal (DJSN) Andi Zainal Abidin Dulung menilai, beleid JHT yang berlaku saat ini mengancam kelangsungan program JHT. “Ada pula indikasi penurunan dana JHT yang cukup besar akibat peserta yang mengajukan klaim karena PHK dan lain-lain,” ujarnya, kemarin.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto bilang; permintaan revisi tersebut bukan lantaran masalah likuiditas, tetapi lebih ke filosofi dasar jaminan sosial yakni untuk kebutuhan di hari tua. Selain itu juga untuk memberikan perlindungan kepada pekerja. Sebab kalau ditarik, sebenarnya pekerja yang dirugikan karena usia bekerjanya menjadi nol “BPJS hanyalah operator. Kami menunggu saja,” kata Agus kepada KONTAN, kemairn.
Timboel Siregar, Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia mendukung langkah DJSN tersebut. Menurutnya, jika JHT bisa diambil tana memperhitungkan lama kepesertaan, manfaat yang didapat masih sangat minim.
BPJS juga tidak leluasa mengelola dana iuran agar menghasilkan bisa menghasilkann return optimal. “Idealnya boleh diklaim untuk kepesertaan 5 tahun. Kalau dikembalikan sesuai undang-undang, yang syaratnya lama kepesertaan 10 tahun, pasti menuai protes,” kata Timboel.
Poin Aturan Pencairan JHT
- Manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila:
- Peserta mencapai usia pensiun;
- Peserta mengalami cacat total tetap; atau
- Peserta meninggal dunia
- Manfaat JHT bagi peserta mencapai usia pensiun termasuk juga peserta yang berhenti bekerja. Berhenti bekerja termasuk mengundukan diri, terkena pemutusan kerja dan meninggalkan Indonesia selama-lamanya.
- Pemberian manfaat JHT bagi peserta mengundurkan diri atau terkena pemutusan kerja dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri atau pemutusan kerja.
- Hak atas manfaat JHT untuk peserta cacat total tetap diperhitungkan mulai tanggal 1 bulan berikutnya setelah ditetapkan mengalami cacat. Pembayaran manfaat dibayarkan secara tunai an sekaligus oleh BPJS Ketenagakerjaan.
- Manfaat JHT bagi peserta meninggal dunia diberrikan kepada ahli waris yang terdiri dari janda, duda atau anak.
Sumber: PP No. 60/2015 tentang Perubahan Atas PP No. 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program JHT dan Pemenakertrans No 19/2015 tentang tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT.
Penulis : Teodosius Putra, Mona Tobing
Sumber: KONTAN 8 September 2016
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar