Tebaran Insentif bagi Penyetor PNBP Terbesar

Hasil gambar untuk penerimaan negara bukan pajak

Selain insentif dan sanksi, pemerintah akan mempermudah kementerian mengubah tarif PNBP

JAKARTA. Pemerintah berharap revisi Undang-Undang nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) bisa secepatnya selesai. Dengan selesainya revisi UU PNBP ini, PNBP sebagai salah satu penyumbang pendapatan negara bisa semakin bertambah.

Direktur PNBP Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan Mariatul Aini mengatakan, ada empat isu strategis pengelolaan PNBP yang masuk dalam revisi UU PNBP. Pertama, penetapan tarif PNBP yang belum optimal. Soalnya, penetapan tarif harus melalui Peraturan Pemerintah (PP), yang prosesnya panjang sehingga kementerian dan lembaga enggan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi jenis dan tarif PNBP. Padahal, potensi PNBP cukup besar. “Nantinya penetapan tarif bisa melalui Peraturan Menteri (Permen), sehingga prosesnya lebih singkat,” ujar Aini, Kamis (20/10).

Kedua, penguatan fungsi verifikasi dan pemeriksaan, khususnya di sektor sumber daya alam (SDA) non-migas. Aini bilang, saat ini, pemerintah kesulitan memverifikasi. Dia bilang, dari 17.000 wajib bayar (WB) SDA non-migas, kurang dari 100 WB yang mampu diperiksa oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan setiap tahun.

Ketiga, aturan pemberian insentif kepada instansi pengelola PNBP. Adanya insentif, diharapkan akan memacu kementerian dan lembaga meningkatkan PNBP. Belum adanya insentif memadai ke pengelola PNBP mengakibatkan keengganan kementerian dan lembaga menetapkan target secara realistis.

Keempat, penegakan hukum pengelolaan PNBP. “Bagi kementerian dan lembaga yang tidak melakukan pengelolaan baik akan diberikan sanksi tegas,” kata Aini.

Selain itu, Aini bilang, masih ada beberapa poin perubahan. Antara lain pengertian PNBP yang dulunya penerimaan di luar perpajakan menjadi penerimaan negara di luar perpajakan dan hibah. Sebab, dalam UU Keuangan Negara, hibah diatur sebagai penerimaan tersendiri.

Revisi itu juga mengubah pasal terkait penggunaan PNBP. Tadinya hanya bisa digunakan oleh unit yang menghasilkan PNBP, nantinya PNBP bisa digunakan oleh unit lain yang masih dalam satu kementerian dan lembaga. “Misalkan, di Ditjen Imigrasi ada PNBP, maka Ditjen lainnya bisa menggunakan sesuai kebutuhan,” ujarnya.

Perlu sanksi tegas

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yenny Sucipto melihat, ada beberapa hal yang luput dalam revisi UU PNBP. Pertama, penetapan tarif yang bisa langsung dilakukan kementerian dan lembaga. Menurutnya, ini merupakan langkah yang tidak tepat, sebab menghilangkan fungsi budgeting dari DPR. “Penetapan tarif tidak bisa begitu saja dilakukan pemerintah, tapi harus melibatkan DPR. Nanti kasusnya seperti Freeport ditetapkan tarifnya 3,75% tapi tidak implementatif,” ungkapnya.

Selain itu, Yenny juga menyoroti persoalan sanksi. Sanksi yang ditetapkan terlalu rendah dan lebih kepada kementerian lembaga yang mengelola PNBP. Tidak ada sanksi bagi perusahaan-perusahaan yang tidak membayar. “Padahal di 2015, ada 60% perusahaan asing tidak bayar royalti,” katanya.

Pasal 26 draf revisi UU PNBP juga menyebut, wajib bayar yang tidak melakukan pembayaran dan penyetoran PNBP terutang sampai dengan jatuh tempo akan dikenakan denda 2% per bulan dari jumlah PNBP terutang. Sanksi itu dikenakan untuk waktu paling lama 24 bulan.

Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies, Marwan Batubara, berharap revisi UU ini mencantumkan saksi yang tegas bagi pejabat kementerian yang menyelewengkan dana PNBP dan perusahaan yang tidak membayar PNBP.

Sumber : Harian Kontan 21 Oktober 2016

Penulis : Hasyim Ashari

http://www.pemeriksaanpajak.com

pajak@pemeriksaanpajak.com

 



Kategori:Berita Pajak

Tag:, , ,

Tinggalkan komentar