
Tahun 2016 sudah hampir berakhir, namun tantangan berat di tahun 2016 belum selesai. Bank Indonesia dan pemerintah pun menyadari tantangan perekonomian di tahun depan. Selain belum pulihnya perekonomian dunia, sejumlah kebijakan negara maju menjadi penyebab.
KETIDAKPASTIAN ekonomi dunia belum usai. Bahkan Bank Indonesia (BI) memprediksi tekanan ekonomi global terutama di pasar keuangan akan lebih berat, seiring dengan rencana kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) yang lebih tinggi di tahun depan.
Untuk itu BI telah menyiapkan tiga pertahanan. Pertama, mengatur bauran kebijakan baik moneter seperti suku bunga, nilai tukar, hingga pengawasan (surveillance) untuk menjaga stabilitas. Sementara berhubungan dengan likuiditas, makroprudensial, dan sistem pembayaran fokus mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kedua, cadangan devisa yang cukup. Dengan penerbitan surat berharga negara (SBN) berdenominasi dollar AS oleh pemerintah sebesar US$ 3,5 miliar pada awal Desember 2016, BI menilai cukup untuk mengantisipasi gejolak yang timbul akibat sentimen eksternal.
Ketiga, kerja sama dengan bank sentral lain, baik bilateral, regional, maupun multilateral. Selain perpanjangan kerja sama bilateral swap arrangement (BSA) dengan Bank of Japan (BoJ) senilai US$ 22,76 miliar pada pekan lalu, BI juga memiliki BSA dengan Reserve Bank of Australia (RBA) senilai AUS$ 10 miliar atau US$ 7,3 miliar. Pada November 2015, BI dan Tiongkok juga sepakat top up BSA dari US$ 15 miliar menjadi US$ 20 miliar. Sementara nilai BSA dengan Korea Selatan US$ 10 miliar. “Kami yakin dengan setting strong policy dan kecukupan cadangan devisa, cukup untuk antisipasi,” kata Perry Warjiyo, Deputi Gubernur BI, akhir pekan lalu.
Menurutnya, umumnya pasar akan memperhitungkan implementasi kenaikan suku bunga AS dengan merespon pernyataan para petinggi The Fed. “Pasar price in sehingga kalau ada tekanan outflow tidak besar, tetapi temporer,” katanya.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan fundamental ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibanding 2013 saat The Fed melakukan tappering. Sehingga meski ada indikasi penguatan dollar AS, dampaknya akan jauh berbeda dengan 2013. “Kalau kondisi domestik fundamentalnya bagus, tidak perlu dikhawatirkan,” katanya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara bilang naiknya suku bunga AS tahun depan menjadi tantangan berat bagi Indonesia. Di tengah kondisi ini, Indonesia harus mampu menjaga tingkat inflasi. “Pengurangan subsidi harus dibuat sedemikian rupa sehingga inflasi terukur,” ujarnya.
Selain menjaga inflasi, Indonesia juga harus bisa memanfaatkan momentum kenaikan harga komoditas dan pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Mirza melihat, walau lambat, pemulihan ekonomi Tiongkok akan menopang harga komoditas lebih baik. Dengan begitu maka pemulihan ekonomi 2016 bisa berlanjut di 2017. “Kami melihat di tahun 2016 pertumbuhan ekonomi bisa di level 5%. Sedang di 2017 kami yakin di 5,0% hingga 5,4%,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menyadari ketidakpastian ekonomi tahun depan. “Semua pakai ketidakpastian. Namun, yang membedakan adalah apa yang jadi fundamental ketidakpastian dan apa dampaknya bagi ekonomi dunia,” ujarnya.
Menurutnya untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% pada tahun depan, beberapa tantangan harus dihadapi. Salah satunya arah kebijakan dari negara maju dari sisi moneter dan fiskal. “Tiongkok sebagai second large economy sedang rebalancing. The Fed baru menaikkan suku bunga dan tahun depan kemungkinan tiga kali lipat. Kebijakan Amerika, Eropa, Tiongkok, dan Jepang adalah suatu tantangan yang akan terjadi terus menerus,” katanya.
Menurutnya, yang harus dilakukan adalah memperbaiki fundamental ekonomi agar tidak terjebak dalam ketidakpastian global. Untuk itu, pemerintah perlu berhati-hati dalam menentukan kebijakan sepanjang tahun 2017. Salah satunya terkait upaya meningkatkan daya beli masyarakat dan investasi. Pemerintah tak selalu dapat bergantung pada konsumsi, sehingga perlu menciptakan keseimbangan dari consumption driven dan investment driven.
Ekonom Kenta Institute Eric Sugandi mengatakan, BI memerlukan dukungan dari kebijakan fiskal pemerintah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. “Pemerintah harus jaga defisit anggaran tetap terkendali agar kepercayaan investor terhadap kemampuan pemerintah mengelola SBN tetap baik,” katanya.
Sumber : Harian Kontan 19 Desember 2016
Penulis : Adinda Ade Mustami, Ghina Ghalia Quddus
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar