
Kasus Suap Penghapusan Pajak PT EK Prima
Bekas Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing (KPP PMA) 6, Johnny Sirait mengungkapkan pernah diminta agar tak menyeret pihak lain dalam kasus suap penghapusan pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia. Ia pun sempat di-briefing sebelum menjalani pemeriksaan di KPK sebagai saksi kasus itu.
Johnny mengungkapkan hal itu ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kemarin. Dalam persidangan kasus suap ini, Handang Soekarno, bekas Kepala Subdit Bukti Permulaan, Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak menjadi terdakwanya.
“Apakah saksi saat memberikan keterangan ke KPK sempat dikoordinasikan oleh Dirjen?” tanya jaksa KPK Mochammad Takdir Suhan kepada Johnny.
Pertanyaan yang sama juga disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Muhammad Haniv, pegawai KPP PMA6 Soniman Budiharjo, dan Supervisor KPP PMA6 Munasri. Namun hanya Johnny yang mau buka mulut soal itu.
Johnny menuturkan pernah dipanggil oleh tim bantuan hukum (bankum) Ditjen Pajak. Tim itu meminta dan mengarahkan agar jangan ada pihak lain yang ikut diseret dalam kasus ini. Bahkan, kata Johnny, stafnya juga ikut diarahkan agar memberikan kesaksian serupa.
“Cukup itu HS(Handang Soekarno) dan Pak Mohan (Ramapanicker Rajamohanan, Country Director PT EK Prima—red),” kata Johnny menyampaikan arahan tim bankum.
“Saya waktu itu marah, ngomong apa adanya. Jangan mau diarahkan. Karena kita sampai 2 kali, diarahkan seperti gini,” ungkapnya.
Namun Johnny tak kenal tim bankum yang ingin mengarahkan kesaksiannya dalam pemeriksaan di KPK. Ia pun meminta kepada anak buahnya yang juga bakal diperiksa KPK tak perlu menuruti arahan itu.
“Namanya lupa saya, orangnya gendut. Sama dengan staf saya ribut,” kata Johnny yang kini dimutasi ke Sumatera Utara itu.
Pada kesempatan itu, Johnny juga mengungkapkan adanya intervensi dari atasannya dalam pencabutan pengukuhan pengusaha kena pajak (PKP) kepada Rajamohanan.
Ia menuturkan, pencabutan PKP itu diatur dalam rapat khusus. “Setelah ketahuan ada 5 perusahaan tidak berdasarkan transaksi sebenarnya (TBTS) dan 31 perusahaan importir kita cabut PKP,” ujar Johnny.
Rapat yang digelar 3 Oktober 2016 itu dihadiri Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi. Saat itu, semua sepakat ada pencabutan PKP. “Memang didukung dasar hukum Undang Undang. Kalau ada penyalahgunaan bisa dicabut PKP-nya. Saya tahu persis itu pencabutan PKP itu sesuai prosedur. Saya pertanggungjawabkan,” tandas Johnny.
Hanya saja pada keesokan harinya Johnny menyebut keputusan itu akhirnya dibatalkan. Hal itu berdasarkan instruksi dari Kepala Kantor Wilayah Jakarta Khusus Muhammad Haniv.
Instruksi tertulis mengenai pembatalan pencabutan PKP Rajamohanan baru diterima beberapa hari kemudian. “Kalau saya dapat tertulis 7 November 2016. Ada dapat telepon saya. Kakanwil minta dibatalkan semuanya,” terang Johnny.
Saat dikonfrontir soal instruksi pencabutan PKP itu, Haniv menyebut hal itu dilakukan atas dasar perintah Dirjen Pajak. Alasannya ada pengusaha yang protes tentang pencabutan PKP itu.
“Waktu itu ada 40-an yang dicabut. Pengusaha datang ke saya. Lalu lapor ke Dirjen. Nggak bisa gitu aja dicabut.Akhirnya Dirjen perintahkan saya untuk keluarkan instruksi di depan pengusaha. Akhirnya saya keluarkan instruksi malam itu juga. Karena besoknya belum juga dibatalkan, saya telepon Johnny,” jelas Haniv ketika dikonfrontir soal itu.
Soal surat baru diterima tanggal7 November, Haniv menyebut sudah menyampaikan surat. Meski sempat berdebat alot dengan Johnny dia mengaku sebagai pihak yang memiliki kewenangan.
“Yang jelas surat sudah kita sampaikan. Dia bilang nggak jelas. Saya bilang sebagai kakanwil saya bilaang saya berwenang mengawasi,” tegasnya.
Dalam persidangan Johnny menyebut Wahono Saputro, orang kepercayaan Haniv yang diutus agar membatalkan pencabutan PKP Rajamohanan.
Tapi apa tanggapan Haniv soal ini? “Saya tidak pernah memerintahkan Wahono spesifik, tapi semua pembatalan pajak,” katanya.
Dalam kasus ini, Handang didakwa menerima suap 148.500 dolar Amerika atau Rp 1,9 miliar. Suap itu pengurusan persoalan pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Sementara persidangan Rajamohanan, penyuap Handang sudah selesai. Mohan divonis bersalah dan dihukum 3 tahun penjara serta denda Rp 200 juta subsider 5 bulan kurungan.
KPK kembali memeriksa Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv. Penyidik komisi antirasuah ingin mengklarifikasi dugaan Haniv terlibat kasus suap penghapusan tunggakan pajak PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menyatakan, saksi M Haniv diperiksa untuk tersangka Kepala Sub Direktorat Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak, Handang Soekarno.
Menurut dia, Haniv diduga mengetahui hal-hal terkait persoalan dan pengurusan pajak PT EK Prima. Penyidik ingin keterkaitan Haniv dengan suap kepada Handang. “Lewat keterangan saksi, diharapkan penyidik bisa menemukan dugaan keterlibatan pihak lainnya,” katanya, 10 Maret 2017.
Febri mengemukakan, dugaan keterlibatan pihak lain pada kasus suap ini masih dikembangkan oleh penyidik. Tidak tertutup kemungkinan, tersangka bekerjasama dengan staf pajak maupun pejabat di kantor pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak.
“Hal-hal terkait dugaan itu sedang ditelusuri penyidik. Jika bukti-bukti untuk menetapkan status tersangka baru sudah dianggap cukup, KPK pasti akan mengambil keputusan hukum,” kata bekas Indonesia Corruption Watch itu.
Dikonfirmasi tentang peluang perubahan status Haniv dari saksi menjadi tersangka, Febri lagi-lagi belum bersedia memberikan keterangan spesifik. “Nanti, biarkan penyidik bekerja lebih dulu,” ujar Febri.
Sebelumnya, Manager Finance PT EK Prima Ekspor Indonesia Yuli Kanastren ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta mengungkapkan dirinya diperintah Rajamohanan Nair menyiapkan uang Rp 6 miliar untuk orang pajak.
Yuli dihadirkan sebagai saksi perkara perkara Rajamohanan, Country Director EK Prima. Di persidangan ia membeberkan uang Rp 6 miliar itu bukan hanya untuk Handang Soekarno. Tapi juga sudah termasuk untuk Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Pajak Jakarta Khusus, Muhammad Haniv.
“Bapak (Rajamohanan) pernah WhatsApp, itu sudah termasuk Pak Haniv. Waktu itu Bapak bilang ini untuk Handang, tapi kalau bisa untuk Pak Haniv juga,” tutur.
Meski demikian, Yuli tak tahu alasan Rajamohanan menyuruhnya menyiapkan uang untuk Haniv. Ia berdalihkan hanya menjalankan instruksi dari bosnya.
Rajamohanan menjanjikan fee kepada Handang sebesar Rp 6 miliar untuk membereskan kewajiban pajak EK Prima. Namun, saat baru terjadi penyerahan pertama sebesar Rp 1,9 miliar, keduanya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam surat dakwaan, jaksa KPK mencantumkan isi pesan yang disampaikan Rajamohanan kepada Handang melalui aplikasi WhatsApp. Pesan tersebut berbunyi: “Pak soal tadi max 6 termasuk Hnf mohon bisa diselesaikan trmksh”.
Pemberian uang tersebut diduga diberikan agar Handang selaku pejabat di Ditjen Pajak, membantu mempercepat penyelesaian permasalahan pajak yang dihadapi EK Prima.
Salah satunya adalah tunggakan pajak sebagaimana tercantum dalam surat tagihan pajak dan pertambahan nilai STP PPN tanggal 6 September 2016.
Tunggakan tersebut sebesar Rp 52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015.
Beberapa hari setelah Rajamohanan dan Handang bertemu untuk membicarakan kesepakatan pemberian uang di Hotel Sultan, Jakarta, Muhammad Haniv atas nama Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan pembatalan tagihan pajak EK Prima.
Dengan demikian, tunggakan pajak sebesar Rp 52,3 miliar untuk masa pajak Desember 2014, dan Rp 26,4 miliar untuk masa pajak Desember 2015, menjadi nihil.
Sumber: rmol.com
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Pemeriksaan Pajak
Tinggalkan komentar