Masyarakat tidak perlu resah dengan beredarnya kabar kepemilikan ponsel pintar (smartphone) akan dikenakan pajak. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan informasi tersebut tidak benar. Juga tidak ada sanksi bagi yang tidak melaporkannya.
Kabar kepemilikan ponsel akan dikenakan pajak menyusul permintaan Kemenkeu agar Wajib Pajak (WP) untuk melaporkan ponsel di dalam kolom harta Surat Pelaporan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh). Kebijakan tersebut memicu kontroversi. Apalagi, protes juga datang dari bekas Menteri Koordinator bidang Kemaritiman Rizal Ramli. Rajawali Ngepret-julukan Rizal menyindirnya sebagai kebijakan panik.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memastikan masyarakat salah kaprah atas kewajiban melaporkan ponsel dalam SPT. Menurutnya, ketentuan tersebut bukan hal baru.
“Itu aturannya sudah ada dari tahun 2000. Yang membuat komentar, suruh lihat saja,” tegas Sri Mulyani usai rapat koordinasi mengenai perpajakan di kantor Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Jakarta, kemarin.
Pernyataan Sri Mulyani ini merujuk kepada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Undang-undang ini kemudian direvisi menjadi UU Nomor 28 Tahun 2007 yang berisi penjelasan mengenai SPT Tahunan.
Sri juga memastikan tidak ada hukuman bagi yang tidak melaporkan kepemilikan ponsel. Namun, ia mengimbau wajib pajak patuh membayar dan melaporkan pajaknya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Hestu Yoga Saksama, menegaskan, pemerintah tidak akan mengenakan pajak atas kepemilikan smartphone. Karena, pajak telah dipungut saat pembelian. “Ditjen Pajak meminta wajib pajak melaporkan smartphone-nya dalam kolom harta di SPT PPh, sama seperti melaporkan aset lainnya seperti rumah, mobil, dan lainnya yang mesti dilaporkan di SPT Tahunan juga kan,” jelasnya.
Revisi Bea Masuk
Selain soal ponsel masuk SPT, ketentuan perpajakan lain yang picu kontroversi yakni soal batasan barang bawaan dari luar negeri yang dikenakan pajak. Belum lama ini, ada penumpang pesawat dikenakan bea masuk karena membeli tas bermerek dari luar negeri. Usut punya usut, ternyata memang ada ketentuan bea masuk yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188 Tahun 2010. Batas maksimum harga barang yang bebas dari bea masuk barang impor saat ini sebesar 250 dolar AS, sekitar Rp 3,3 juta per penumpang atau 1.000 dolar AS, sekitar Rp 13,2 juta per keluarga. Nilai tersebut dinilai terlalu kecil dan sudah tidak realistis dengan keadaaan sekarang, sehingga banyak kalangan agar nilainya dinaikkan 10 kali lipat.
Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengaku sedang menggodok revisi aturan tersebut.
“Kita akan cari referensi di negara lain seperti apa, tapi tentu tak bisa sampai setinggi itu,” ujarnya.
Heru menerangkan, bila batasan nilai yang dikenakan bea masuk terlalu tinggi, bisa merugikan pelaku industri domestik di dalam negeri. Karena, semua pelaku industri di dalam negeri semua membayar pajak.
Sumber : rmol.co
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar