
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018, pemerintah mematok asumsi harga minyak pada tahun depan dan tahun ini sama-sama US$ 48 per barel. Pemerintah juga memproyeksikan pada tahun depan tidak ada kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), tarif dasar listrik, maupun elpiji. Kemenkeu akan jaga harga BBM, gas, dan listrik tidak naik tahun depan
Pemerintah masih pede kondisi fiskal masih dalam posisi aman.
Tinggal tersisa waktu sekitar tiga bulan bagi pemerintah untuk mengayuh biduk keuangan negara tahun 2017. Kesulitan menggenjot sisi penerimaan, terutama pajak mudah untuk terbayangkan.kondisi ekonomi Indonesia memang belum mendukung pencapaian target penerimaan yang sudah dicanangkan.
Dus , usulan memangkas pos pengeluaran kembali nyaring disuarakan. Bagi Faisal Basri, opsi ini patut dipertimbangkan. Sebab, ada jurang defisit yang kian menganga. Sementara aturan yang berlaku di Indonesia tidak membolehkan defisit melebihi 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Sisi belanja yang diusulkan bisa diutak-atik adalah untuk alokasi dana pembangunan infrastruktur. Program yang selama Program Joko Widodo (Jokowi) menjabat tiga tahun terakhir menjadi prioritas pemerintahannya.”Infrastruktur bisa dikorbankan demi menjaga kestabilan makro ekonomi,” ujar Ekonomi Universitas Indonesia itu.
Faisal tidak melihat ada ruang pemangkasan di pos belanja yang lain. Lagipula yang ia usulkan bukan semata-mata memotong anggaran infrastruktur, melainkan menggeser penganggarannya ke tahun-tahun berikut, tepatnya adalah satu atau dua tahun ke depan. Mumpung Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018 saat ini masih dalam proses pembahasan.
Ekonom Bank BCA David Sumual ikut menyumbang saran. Ia bilang, Pemerintah memang perlu menyusun ulang prioritas pembangunan infrastruktur. “ Perlu dicari proyek-proyek yang urgen dan vital unuk mendorong ekonomi segera,” pungkas David.
Urgensi pemangkasan anggaran infrastruktur, kata Faisal, menjadi semakin kental sebab kedisiplinan Pemerintah dalam mengelola fiskal menjadi pertimbangan penting bagi lembaga rating. Sekedar mengingatkan, Standard&Poor’s (S&P) pada Mei 2017 kemarin menaikkan sovereign credit rating Indonesia menjadi BBB-/A-3 dengan outlook stabil.
Dalam publikasinya yang diterbitkan 19 Mei 2017 lembaga rating yang berpusat di New York,Amerika Serikat, itu menyebut pertimbangan mereka ada di sisi resiko fiskal Indonesia yang telah menurun. Pemerintah Indonesia juga dinilai sudah mengambil langkah dan pengukuran terkait belanja dan pendapatan guna menstabilkan keuangan negara.
Singkat cerita, Pemerintah Indonesia dinilai memiliki kemampuan yang bagus dalam membayar bunga dan pokok utang negara. Karenanya, surat utang yang diterbitkan pemerintah layak dan menarik untuk dikoleksi.
Disiplin fiskal longgar
Nah, disiplin fiskal pemerintah, di mata fiskal, kini semakin longgar. Kondisi ini bisa mengundang peninjauan ualng terhadap peringkat utang yang sudah disematkan untuk Indonesia. Bukan Cuma oleh S&P tapi juga potensi review dari lembaga pemeringkat global yang lain.
Cuma, usulan Faisal nampaknya hanya bertepuk sebelah tangan. Pemerintah sejauh ini tidak menunjukkan tanda-tanda bakal memangkas anggaran infrastruktur. “Ekonomi itu, kan, pilihan kita mau apa dan kemana. Yang penting konsern kami bisa manage tidak membebani APBN ke depan,”tangkis Kunta Wibawa Dasa Nugraha, Direktur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Sikap Kunta sejalan dengan pandangan para pejabat di Kemenkeu yang lain. Dalam wawancara dengan Tabloid KONTAN belum lama ini, Suahasil Nazara menyebut, Indonesia memerlukan infrastruktur yang lebih banyak. Itu adalah prasyarat untuk meningkatkan kapasitas ekonomi nasional.”Karena itu keberadaan infrastuktur jadi penting supaya potential output itu terus meningkat, maka actual-nya bisa naik,”ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu itu.
Soal pemotongan anggaran bukannya tidak dilakukan. Sejak pertengahan tahun, Jokowi sudah merilis Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2017. Beleid ini memerintahkan semua kementerian dan lembaga untuk melakukan efesiensi belanja barang untuk tahun anggaran 2017.
Efisiensi belanja barang yang dimaksud meliputi perjalanan dinas dan paket pertemuan (meeting), honorarium tim/ kegiatan, belanja operasional perkantoran. Pos belanja jasa, belanja pemeliharaan, belanja barang operasional, dan non operasional lainnya juga ikut menjadi sasaran sunatan massal anggaran tersebut. Dari instruksi tersebut, Pemerintah bisa menghemat belanja hingga Rp 16 triliun.
Terkait ancaman defisit yang kian menganga di tengah penerimaan pajak yang seret tidak ditampik. Cuma, pemerintah sedari awal memang tidak ingin bermain api dengan menyeret defisit anggaran melebihi 3%. Risikonya, termasuk secara politik terlalu besar jika zona larangan itu dilanggar.
Exercise yang dilakukan Kemenkeu menunjukkan, difisit tahun ini maksimal bisa ditahan di 2,92%. Outlook-nya malah Cuma 2,67%. Pasalnya, realisasi belanja negara hingga penghujung tahun 2017 diperkirakan hanya sekitar 96% dari target di APBN-P 2017. Nilainya setara dengan Rp 2.099 triliun berbanding target Rp 2.133,3 triliun.
Perkiraan belanja yang tidak terserap 100% muncul karena adanya natural saving. Nilai pengadaan barang dan jasa pemerintah, misalnya, biasanya berada di bawah nilai nominal yang ditenderkan.
Sisa anggaran
Faktor lainnya, pemerintah memang tengah mengencangkan ikat pinggang. Ini bisa terlihat dari nilai Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang cukup besar. Catatan KONTAN, sampai akhir Agustus SILPA tercatat lebih dari Rp 100 triliun. Nah, dana ini bisa dimanfaatkan untuk mencukupi kekurangan anggaran belanja.
Yang perlu dicatat, realisasi SILPA tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Per Agustus 2016 SILPA juga tercatat Rp 97 triliun. Seiring mendekati penghujung tahun sisa anggaran ini akan semakin berkurang. Ini sejalan dengan belanja pemerintah yang memang makin bertambah di bulan- bulan terakhir.
Cuma, tidak semua SILPA yang tercatat di tahun ini bakal dihabiskan untuk belanja tahun 2017. Dalam skenario Kemenkeu, sebagian SILPA juga bisa dimanfaatkan untuk mendanai pengeluaran negara pada dua minggu pertama tahun 2018. Pada dua minggu pertama bulan Januari 2018, kebutuhan dana belanja pemerintah diperkirakan Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun. Saat itu penerimaan negara masih seret.
Dangan begitu, strategi prefunding yang sebelumnya rajin digelar pemerintah tidak menjadi pilihan utama. Kalaupun pendanaan di muka tetap dilakukan, nilainya bisa jadi bakal lebih kecil berkat kontribusi SILPA tadi. “SAL (Sisa Anggaran Lebih-red) saat ini di atas Rp 70 triliun, mungkin itu bisa dipakai sebagai buffer. Cukuplah untuk belanja dua minggu (di awal tahun 2018),” kata Robert Pakpahan, Direktur Jendral (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2015 dan 2016, pemerintah melakukan prefunding dengan menerbitkan obligasi global. Kala itu nilai surat utang yang diterbitkan masing-masing sebesar US $ 3,5 miliar.
Dari sisi peluang pendanaan, pemerintah dinilai masih punya cukup ruang untuk mencari pendanaan anggaran di muka lewat penerbitan obligasi. Sebab, kata David, defisit pada APBN 2018 direncanakan Cuma 2,1%. Kondisi ini, lanjutnya, sekaligus menunjukkan disiplin fiskal pemerintah pemerintah sebetulnya cukup baik.
Jadi, beneran anggaran kita masih aman, ya, Pak!
Sumber: Tabloid Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
Kategori:Artikel
Tinggalkan komentar