Sungguh menjadi sangat menarik ketika publik disuguhi pemberitaan adanya upaya sandera yang gencar dilakukan Ditjen Pajak. Sandera seakan menjadi cara jitu bagi Ditjen Pajak memenuhi target yang direncanakan sekaligus menguji tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP). Sedikitnya direcanakan sebanyak 57 WP akan disandera dengan akumulasi nilai sekitar Rp 1,2 triliun, jika mereka tidak melunasi pajaknya.
Sedikitnya dua pertanyaan mendasar perlu direnungkan ketika hendak melakukan tindakan sandera. Pertama, apakaha sandera sejalan dengan self assessment system yang menjadi kesepakatan bersama dalam UU pajak? Kedua, apakah tindakan sandera efektif dalam pelaksanaan hukum pajak?
Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa sejak tahun 1983, kita menerapkan sistem pemungutan didasarkan pada self assessment system. WP diberikan kepercayaan penuh untuk melakukan kewajibannya menghitung dan membayar sendiri jumlah pajak yang mesti dibayar. Dalam sistem seperti itu, tentu tugas pemerintah hanya melakukan pengawasan.
Dengan dijalankannya sistem self assessment, konsekuensi hukum bagi pemerintah tidak lain hanya mengawasi. Kalau begitut, pemerintah mesti punya cara melakukan pengawasan yang baik. Pengumpulan data dari berbagai institusi dan lembaga menjadi kewenangan kuat untuk dapat dijalankan sesuai ketentuan Pasal 35A UU KUP No 6/1983 yang diubah dengan UU No. 28/2007.
Jika itu dapat dijalankan, mestinya secara otomatis Ditjen Pajak tidak perlu melakukan sandera. Publik menilai, sekalipun alasan sandera dikatakan tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), pokok persoalan belum tuntas. Langkah sandera yang digencarkan akan dinilai publik menilai cara pengawasan yang dilakukan tidak berjalan baik.
Tindakan sandera secara normatif adalah benar, namun menjadi kurang bijak. Tindakan sandera menjadi ukuran publik menilai Ditjen Pajak lemah dalam melakukan pengawasan. Seandainya pengawasan melalui data yang dimiliki Ditjen Pajak sudah baik, upaya sandera otomatis tidak perlu dijalankan.
Kalau saja Ditjen Pajak memiliki data cukup baik atas kepemilikan aset atau harta setiap WP, tindakan sandera tidak diperlukan. Dalam analisis penulis, ketika sandera (bukan pencegahan dan pemblokiran) dijalakan, semakin memberi kesan Ditjen Pajak tidak memiliki sistem pengawasan ataas data atau harta WP.
Ditjen Pajak selalu mengatakan “sandera dilakukan karena WP tidak punya itikad baik, padahal memiliki kemampuan.” Pernyataan demikian bersifat normatif dan boleh dinilai benar, akan tetapi masih meninggalkan cara bertindak kurang bijak. Seandainya sistem pengawasan berjalan baik, penyitaan dan pelelangan harta/aset WP semestinya dijalankan.
Berhenti di tataran normatif
Saat ini, tingkat kepatuhan dan kesadaran WP membayar pajak masih rendah. Namun, tidak berarti dengan kondisi itu serta merta dilakukan sandera. Apalagi jika sandera ditujukan dengan maksud supaya WP dipaksa bayar daripada disandera karena menyembunyikan hartanya. Lagi-lagi pernyataan itu semakin member stigma lemahnya fungsi atau sistem pengawasan.
Beberapa pengamat yang menyatakan sandera yang dijalankan telah memenuhi dasar hukum kuat adalah benar. Sandera dijalankan sesuai UU No.19/2000,PP No.5/1998, PP.137/2000 serta SKB Menkeu dan Menkumham No.M-02.UM.09.01 dan No.294/KMK.03/2003 mengenai tempat dan tata cara penyanderaan.
Namun, langkah hukum demikian berpikir pada tataran normatif belaka. Padahal, persoalan utang pajak dan cara menagih pajak masih perlu dicarikan cara yang lebih kondusif. Tindakan melakukan sandera terhadap WP perlu ditilik ulang untuk kebaikan bersama.
Sandera WP (bukan penjara atau pidana penjara), mungkin dapat dikatakan sebagai satu tindakan kurang tepat. Esensi hukum sandera dengan penjara memang tidak sama, tetapi hakikinya sama member derita fisik bagi si pelanggar hukum. Jika pidana penjara memberi derita karena telah melakukan tindak pidana, sandera dimaknai memberi derita karena telah “menyembunyikan harta.”
Awalnya, sandera merupakan bidang hukum perdata yang menekankan pada cara memberi efek jera memberikan derita fisik karena tidak dijalankannya kewajiban keperdataannya. Aturan sandera dalam pelaksanaan penagihan pajak sempat tidak dapat dilaksanakan dengan diterbitkan SE Mahkamah Agung (SEMA) No.2/1964 yang menegaskan sandera (gijzeling) tidak boleh dijalankan karena bertentangan dengan perikemanusiaan dan SEMA No.04/1975.
Dalam perkembangannya, terbit Peraturan MA (Perma) No.1/2000 tentang Lembaga Paksa Badan yang menegaskan SEMA di atas tidak sesuai lagi dengan keadaan dan kebutuhan hukum untuk penegakan hukum, keadilan serta pembangunan ekonomi bangsa. Oleh karena SEMA dipandang tidak mencakup pengertian terhadap debitur yang mampu tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya.
Kalau kita perhatikan PERMA dimaksud hanya berkaitan dengan persoalan debitur yang punya utang ke Negara dan atas utang tersebut tidak dibayar debitur ke Negara. Disini persoalan semakin jelas bahwa utang debitur berbeda dengan utang pajak. Utang pajak mesti dihitung sendiri oleh WP sesuai self assessment system atas dasar data akurat. Jika tidak benar, barulah pemeriksaan dijalankan.
Langkah normatif sandera yang dijalankan Ditjen Pajak, dalam amatan publik setidaknya member kesan “menakuti-nakuti”. Jika kesan itu benar, sebaiknya perlu menilik ulang dengan cara bijak. Menagih pajak menjadi sendi dan seni bagi petugas pajak, bukan dengan publikasi “menakut-nakuti” sekalipun memiliki dasar UU untuk menjalankannya.
Setelah target pajak tahun 2015 ditetapkan sekitar Rp 1.200 triliun untuk mengisi APBN, kita semua patut mendukungnya untuk kebaikan bersama. Satu pokok persoalan memberikan berbagai pelayanan prima di segala aspek kehidupan, boleh jadi menjaadi cara lain memberikan cara meningkatkan kepatuhan dan kesadaran untuk membayar pajak. Itulah tugas pemerintah yang ditunggu semua pihak dari dulu.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar