JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemkeu) akan mengubah bea meterai transaksi saham berdasarkan nominal transaksi. Rencana tersebut bakal tertuang dalam revisi Undang-Undang (UU) No 13/1985 tentang Bea Meterai. Tadinya, penarikan pungutan menggunakan tarif tetap meterai Rp 3.000 dan Rp 6.000. Kini, pungutan berdasarkan persentase dan nilai transaksi saham.
Sepanjang tahun 2014, nilai transaksi saham Rp 1.453,39 triliun. Apabila diterapkan bea meterai 0,1%, artinya Ditjen Pajak bisa meraup Rp 1,45 triliun setahun. Sampai Januari 2015, nilai transaksi saham di pasar modal sekitar Rp 136,6 triliun.
Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI) Sanusi menilai, saat ini pemodal terkena pajak jual saham, yakni 0,1% per transaksi. Baik untung atau rugi, pemodal tetap harus membayarkan pajak tersebut. Bila ditambah lagi bea meterai per transaksi, tentu makin memberatkan.
Kepala Riset Universal Broker Satrio Utomo melihat, pemberlakuan bea meterai ini belum jelas apakah dikenakan setiap transaksi beli, jual atau dua sisi. Menurut dia, penerapan bea meterai ini tak menjadi masalah bagi para fund manager dan investor jangka panjang. Namun bagi trader kesulitan. Maklum, setelah meraih untung 1%-2% biasanya trader sudah menjual saham. Dengan adanya bea meterai ini, trader harus memperoleh untung 3%.
Satrio menilai, pemberlakuan bea meterai ini bisa mengurangi jumlah trader. Padahal jumlah trader sekitar 90% dari total pemodal ritel. Efek lain, broker ritel yang mencapai 70%-80% dari tenaga kerja di pasar modal Indonesia tak mendapat pekerjaan. “Pemberlakuan bea meterai ini akan menciptakan pengangguran baru,” ujar dia.
Pengamat pasar modal Teguh Hidayat menilai, penerapan bea meterai ini menghalangi investor baru masuk ke pasar modal Indonesia. Sehingga Bursa Efek Indonesia (BEI) dan sekuritas akan kesulitan menjaring investor baru. Pasalnya, imbal hasil reksadana pun akan direvisi.
Transaksi sepi
Tak hanya itu, transaksi di BEI juga bakal sepi. Satrio bahkan menduga, penerapan bea meterai mengurangi nilai transaksi di pasar saham hingga sepertiganya. Sebab persentase dari bea meterai cukup besar.
Satrio menyarankan, pengenaan bea meterai ini di kisaran 0,1% sampai 0,5% per transaksi. Kalau menurut Sanusi, bea meterai dikenakan bukan berdasarkan per transaksi, melainkan penghasilan bersih. Sehingga pemodal yang merugi tak perlu dikenakan biaya tambahan.
Sedangkan, Teguh merasa belum saatnya penerapan bea meterai dengan skema persentase per transaksi. Kalau diberlakukan, bisa membuat pasar yang bergairah menjadi sepi. Ia menyarankan, penerapan itu bisa diberlakukan jika transaksi saham telah mencapai Rp 10 triliun per hari dan investor ritel telah menyentuh 1 juta orang.
Sejak krisis moneter 1998, Teguh melihat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu naik sekitar 19% per tahun karena tak ada hambatan pajak tambahan. Ia mencatat, jumlah transaksi di pasar modal Indonesia baru US$ 700 juta per hari, masih jauh dibandingkan negara tetangga.
Bahkan, Amerika Serikat mengeruk 15% pajak dari penghasilan bersih pemodal setelah 100 tahun pasar modal berdiri. Sedangkan, pasar modal Indonesia baru berusia 37 tahun.
Karena itu Teguh menilai, penerapan bea meterai terlalu dini. Apalagi pasar modal Indonesia masih berkembang. Investor sukses di pasar modal belum banyak dan pendidikan pasar modal masih mini. “Banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan sebelum menerapkan bea meterai itu,” ujar Teguh.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar