Tarik ulur kenaikan tarif royalti bagi pemilik izin usaha pertambangan (IUP) batu bara segera berakhir. Pemerintah tetap menetapkan tarif yang baru sebagai bagian dari optimalisasi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pada tahun 2015. Pengusaha IUP semakin tergencet, dan nasibnya di ujung tanduk.
Sejak satu tahun belakangan ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berlagak jadi juri kompetisi . Sejumlah regulasi yang berkaitan dengan sektor tambang batu bara mulai dirilis satu per satu. Paling ramai, ketika mereka menggandeng komisi anti rasuah, KPK, untuk melakukan koordinasi dan supervise ke 12 provinsi yang memiliki potensi sumber daya tambang besar.
Dari kegiatan itu, pemerintah menetapkan status clean and clear (C&C) bagi seluruh perusahaan IUP baik mineral ataupun batu bara. Untuk mendapatkan status itu, perusahaan harus memenuhi tiga syarat utama, administrasi, teknis, dan keuangan. Syarat administrasi dan teknis memaksa perusahaan untuk melaporkan dokumen penerbitan IUP dan juga laporan eksplorasi hingga produksi.
Cara itu dipakai sebagai jalan keluar dari banyaknya kasus tumpang tindih perizinan dan hak konsesi antara pemilik IUP, atau dengan pemegang kontrak lainnya. Syarat keuangan menjadi fokus utama yang didalami Kementerian ESDM dan KPK. Pasalnya, sebelum koordinasi dan supervisi dilakukan, KPK mencatat adanya kerugian negara akibat hak royalti yang tidak diserahkan perusahaan tambang.
Ketua Kajian Sumber Daya Alam Litbang KPK, Dian Patria, mengatakan bahwa kehilangan negara dari hak royalti dari sektor minerba mencapai Rp 30 triliun per tahun. Hasil positif pun dipetik Kementerian ESDM. Pasca lawatan ke 12 provinsi selesai, PNBP dari sektor minerba meningkat secara signifikan menjadi lebih dari Rp 35 triliun pada 2014. Padahal tahun sebelumnya capaian PNBP hanya sekitar Rp 28 triliun.
Tahun 2015, pengawasan kembali dilakukan di 19 provinsi lainnya. Namun Dian mengungkapkan, capaian PNBP dari pengawasan tahap kedua kemungkinan tidak akan sebesar yang didapat pemerintah pada tahap pertama. “Dagingnya kan sudah diambil di 12 provinsi tahap satu. Perkiraan saya yang kedua ini jumlah PNBP-nya akan lebih kecil,” ungkap Dian kepada Majalah TAMBANG.
Tak hanya korsup yang digalang Kementerian ESDM. Pengawasan produksi dan penjualan pun menjadi prioritas yang dilakukan pada tahun ini. Direktur Pembinaan Program Minerba, Sujatmiko mengatakan, untuk mencegah kebocoran royalti, pemerintah sedang menyusun Permen yang mengatur soal pembayaran royalti di muka. Bahkan sebelum permen itu terbit, mekanisme ini sudah dilakukan di beberapa daerah yang rawan pelanggaran.
Sujatmiko menganggap aturan ini sebagai cara untuk melindungi sumber daya milik negara agar tidak hilang dengan mudah. Ia menganalogikannya seperti makan di restoran cepat saji. Jika tidak mau membayar di muka, maka tidak akan bisa menyantap hidangan yang diminta. “Ini memberikan jaminan kepada pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya. Sesuai amanat undang-undang,” kata Jatmiko.
Kementerian ESDM juga menggandeng Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perhubungan sebagai pengawas di pintu terakhir keluarnya batu bara. Bahkan pada 2014, Kementerian Perdagangan mewajibkan setiap eksportir batu bara, baik IUP operasi produksi, IUP angkut jual, ataupun PKP2B untuk memiliki sertifikat eksportir terdaftar sebagai syarat utama melakukan ekspor.
Data dari Direktorat Jenderal Minerba menunjukkan, hingga akhir tahun 2014 jumlah perusahaan yang memiliki ET mencapai 253 perusahaan. Mereka terdiri dari IUP angkut jual (53), IUP operasi produksi (161), dan PKP2B (39). Penggunaan sertifikat ET sebagai syarat mutlak melakukan ekspor tersebut akan disinkronkan dengan penerapan pelabuhan khusus penjualan batu bara. Tahun ini rencana itu mulai dijalankan.
Sejumlah regulasi baru dari pemerintah membuat pemilik IUP batu bara tak bisa bertahan. Satu per satu mulai berjatuhan. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, Bambang Tjahjono Setiabudi, mengatakan, hingga pertengahan Januari lalu, jumlah IUP yang sudah berproduksi mencapai 1.042 IUP, jauh lebih sedikit sebelum KPK melakukan kegiatan korsup di 12 provinsi.
Ia tak menampik jumlah tersebut akan berkurang lagi apabila tarif royalti batu bara jadi dinaikkan. Perusahaan, kata Bambang seharusnya melakukan efisiensi sejak awal dengan menekan ongkos produksi. Apabila hal itu tidak dilakukan niscaya IUP tersebut tidak akan bertahan lama.
Gejala rontoknya IUP batu bara mulai terasa di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Nunukan, Hanafiah, melaporkan sejumlah perusahaan tambang batu bara di wilayahnya mulai memutuskan untuk tidak melanjutkan aktivitas pertambangan.
Kabupaten Nunukan telah mengeluarkan 32 IUP yang terdiri dari 31 IUP batu bara dan satu IUP mineral emas. Dari 31 IUP pertambangan tersebut, 13 perusahaan telah mendapatkan IUP operasi produksi. Namun dari sekian banyak yang memiliki lisensi itu, hanya tiga perusahaan batu bara yang masih aktif melakukan kegiatan produksi.
“Kebanyakan soal modal. Sisanya belum bisa produksi karena persoalan izin pinjam pakai kawasan kehutanan. Jadi meskipun sudah ada izin operasi tetap tidak bisa kalau belum mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan,” ujar Hanafiah.
Terdapat enam perusahaan yang tidak melaksanakan eksplorasi hingga masa berlaku IUP-nya berakhir. Kata Hanafiah, saat ini tinggal 12 perusahaan yang belum melaksanakan eksplorasi. Dari jumlah tersebut di tahun 2015 terdapat tujuh perusahaan yang terancam akan diterminasi apabila tidak melaksanakan eksplorasi lantaran izinnya akan segera berakhir.
Di Kabupaten Nunukan, rata-rata perusahaan mendapatkan izin eksplorasi selama tujuh tahun. “Kalau selama itu dia tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi, izinnya akan berakhir dan tidak bisa diperpanjang,” ujarnya.
Kenaikan royalti batu bara bukan hanya mengganggu aktivitas operasi IUP yang sudah eksis. Beleid ini juga berpotensi menahan laju investasi di sektor tambang termasuk investasi di penambangan bawah tanah (underground). Metode underground merupakan hal yang baru dan memerlukan biaya tinggi, sebab sampai sekarang ini kebanyakan perusahaan tambang batu bara di Tanah Air lebih memilih metode tambang terbuka (open pit).
Kementerian ESDM merilis, saat ini terdapat dua perusahaan IUP yang berencana mengembangkan tambang underground batu bara yakni PT Merge Mining Industry di Kalimantan Selatan dan PT Gerbang Daya Mandiri di Kalimantan Timur. Saat dihubungi majalah TAMBANG, Direktur Operasi Gerbang Daya Mandiri, Firman Daudsyah mengatakan, pihaknya menginvestasikan dana hingga US$ 75 juta untuk mengembangkan tambang underground di lahan seluas 1.758 hektare di Kabupaten Kutai Kertanegara.
Firman menuturkan, kegiatan eksplorasi underground sudah dimulai pada Juni 2010 hingga Januari 2011 dengan 31 titik pemboran. Saat ini prosesnya masih dalam tahap konstruksi. “Kami beralih ke underground karena lingkungan yang berdekatan dengan penduduk. Cadangan kami masih banyak sampai 50 juta ton. Yang bisa diambil sekitar 29 juta ton,” tuturnya.
Sebelum mengembangkan tambang underground, Gerbang Daya Mandiri sudah terlebih dulu memakai metode open pit. Kegiatan eksplorasinya dilakukan pada 2005 dan mulai berproduksi pada 2008 hingga 2013. Mereka memproduksi batu bara kalori ≤ 5.100 Kkal/Kg dan > 6.100 Kkal/Kg dengan rerata produksi tahunan mencapai 800 ribu ton. Selama itu pula mereka menjual 80 persen hasil produksinya ke Jepang, sisanya digunakan untuk kebutuhan bahan baku listrik PLN.
Gerbang Daya Mandiri, kata Firman, memutuskan untuk menghentikan produksi open pit ketika harga batu bara mulai mengalami penurunan dan mulai memikirkan ekspansi ke underground. Maka dari itu, Firman berharap pemerintah bersedia memberikan insentif berupa pengurangan tarif royalti.
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 2012 tentang penerimaan negara, tarif royalti untuk tambang batu bara underground sekitar 2% ( ≤ 5.100 Kkal/Kg ), 4% ( >5.100-6.100 Kkal/Kg ), dan 6% ( > 6.100 Kkal/Kg ). Apabila batu bara yang terdapat di konsesi milik Gerbang mengandung kadar >5.100-6.100 Kkal/Kg dan >6.100 Kkal/Kg. Itu berarti Gerbang harus membayar 4 dan 6% dari harga jual dengan tarif royalti lama.
Namun bila tarif royalti jadi naik, pemerintah hanya berkomitmen memberikan insentif tambahan berupa pengurangan royalti sebesar 2% lebih kecil dari tarif royalti baru di tambang open pit. Artinya, Gerbang Daya Mandiri harus membayar tarif sebesar 7% dan 11,5%.
“Bagi kami jumlah pengurangan itu masih belum cukup. Kami berharap ada insentif tambahan dari Pemerintah,” ujar Firman.
Jika insentif itu diberikan, Firman menyebut akan terus melanjutkan pengembangan hingga ke tahap produksi yang dimulai pada 2016 sebesar 494 ribu ton, kemudian di 2017 sebesar 943 ribu ton, tahun 2018 sebesar 845 ribu ton serta di 2019 mencapai 1,06 juta ton. “Setelah 2019 produksi tambang bawah tanah rata-rata sebesar 1 juta ton per tahun,” tuturnya.
Saat ini proses penggalian lubang sudah mencapai kedalaman 150 meter di bawah permukaan tanah. “Maka dari itu kami menunggu keputusan Pemerintah terkait insentif pengurangan tarif royalti. Jika tidak sesuai kami akan evaluasi lagi. Kalau ujungnya malah minus untuk apa kami lanjutkan,” kata Firman.
Potensi terganggunya investasi bukan hanya terjadi pada pengembangan metode underground namun juga pada sektor jasa penunjang atau kontraktor. Presiden Direktur PT Pamapersada Nusantara, Frans Kesuma mengakui beleid itu berpotensi mengganggu kinerja kontraktor tambang, terlebih mereka yang pelanggannya berasal dari perusahaan IUP.
Menurut Frans, jika kondisinya semakin sulit, produsen dan kontraktor pasti akan melihat kembali kemungkinan untuk negosiasi ulang kontrak. “Kalau sama-sama susah ya bisa tutup. Tapi itu kan pilihan terakhir karena tutup juga butuh perhitungan besar. Pemerintah juga sudah meyakinkan, kalau memang mepet pasti akan ditunda. Mereka kan tidak menginginkan industri kolaps,” katanya.
Pama sendiri tidak terlalu mengkuatirkan dampak berlakunya beleid itu. Anak usaha PT United Tractor tidak terlalu banyak memiliki pelanggan yang berasal dari perusahaan IUP.
Dari 14 kontrak kerjasama, sebagian besar didominasi oleh perusahaan PKP2B,hanya ada dua kontrak yang dibuat bersama perusahaan IUP.
Khusus dengan pelanggan IUP, Frans mengakui belum ada pembicaraan lebih lanjut membahas soal kenaikan royalty IUP dan dampaknya bagi kerja sama mereka. Sejak tahun lalu, wacana itu sudah muncul namun belum juga dilaksanakan hingga kini. Frans yakin Pemerintah pasti sudah memperhitungkan supaya kebijakan itu tidak merusak industri batu bara nasional.
“Kami masih menunggu. Seandainya naik pun sama seperti saat harga turun drastic. Perusahaan pasti akan coba mencari alternatif seperti menurunkan stripping ratio dan meninjau perencanaan dengan tujuan menurunkan biaya produksi. Pokoknya efisiensi di segala bidang,” ujarnya.
Sejak 2012 hingga 2014, investasi di sektor batu bara, baik IUP maupun PKP2B memang mengalami pasang surut. Tahun 2012, investasi IUP dan PKP2B mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya namun turun di tahun 2013 dan naik kembali di tahun 2014. Menariknya, sektor jasa penunjang justru terus mengalami kenaikan yang cukup stabil. Bahkan data Kementerian ESDM menunjukkan sejak 2009 hingga 2014 investasi di jasa penunjang tidak pernah mengalami penurunan. Tahun 2014 nilainya bahkan mencapai lebih dari US$ 4 juta.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara, Bambang Tjahjono mengatakan, kenaikan jasa penunjang itu harus dilihat lebih detil lagi pada bidang kontraktor atau kontruksi. Namun ia mengakui kenaikan itu memungkinkan lantaran masing-masing perusahaan memiliki tahapan operasi yang berbeda.
“Misalnya dari uji kelayakan ke konstruksi, lalu dari konstruksi ke produksi, atau peningkatan kapasitas produksi. Kenapa dia mau naik, karena mungkin ingin mengefisienkan ongkos produksinya,” kata Bambang.
Selain itu, menurutnya, beberapa perusahaan, baik IUP maupun PKP2B memilih tetap melaksanakan rencana yang sudah digagas dalam lima tahun ke depan meskipun ada kenaikan royalti. “Jadi dia hanya mengikuti perencanaan yang sudah dibuat. Tapi memang memungkinkan bisa terjadi investasi naik,” tutur Bambang.
Sumber: Majalah Tambang Vol. 10 No. 117 / Maret 2015
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan Balasan