Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 akhirnya harus gugur dalam kandungan alias beku sebelum berlaku. Peraturan yang semula mulai berlaku untuk pelaporan Masa Pajak Maret 2015 itu akhirnya ditunda pemberlakuannya lewat Peraturan Nomor PER-08/PJ/2015 sampai “ditetapkan kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak”.
PER-01 sebenarnya hanya bermaksud mengubah bentuk formulir SPT Masa PPh Final Pasal 4 Ayat (2), SPT Masa PPh Pasal 15, Pasal 22, Pasal 23 dan/atau Pasal 26 serta Bukti Pemotongan/Pemungutannya agar menjadi lebih lengkap, rinci, dan informatif. Tujuannya untuk memberikan kepastian hukum dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan pemotongan/pemungutannya. Namun peraturan ini dicurigai sebagai strategi Ditjen Pajak untuk mengintip jumlah simpanan nasabah di bank sehingga berpotensi melanggar rahasia perbankan dan timbulkan rush.
Bentuk formulir SPT dan bukti potong yang berlaku sekarang yang hanya mencantumkan jumlah global pajak yang telah dipotong tanpa rincian nama Wajib Pajak (WP) serta rincian jumlah pajak yang telah dipotong dari masing-masing WP memang tidak bisa dipergunakan oleh Ditjen Pajak bukan saja untuk menganalisis kebenaran laporan pihak yang pajaknya telah dipotong.
Banyak WP yang tidak melaporkan PPh final yang telah dipotong oleh bank dalam SPT Tahunannya. Penyebabnya mungkin karena pajak yang telah dibayar melalui pemotongan oleh bank tersebut tidak mempengaruhi jumlah pajak yang harus dibayar sendiri. Tapi akibatnya, tertutup pula informasi adanya simpanan WP di bank.
Seperti WP lainnya, perbankan juga tidak lepas dari kemungkinan belum sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakan, khususnya kewajiban memotong PPh Final sebesar 20% dari bunga simpanan yang dibayarkan ke deposan/penabung serta kewajiban menyetorkan seluruh pajak yang telah dipotong. Pernah ditemukan fakta sejumlah bank menawarkan deposito bebas pajak kepada pemilik dana dalam jumlah besar.
Selama kita masih mendewa-dewakan kerahasiaan perbankan, selama itu pula PER-01 tidak mungkin bisa diberlakukan kembali. Hal ini memberi sinyal bahwa data dan informasi perpajakan yang menyangkut perbankan masih menjadi benda kramat yang tidak tersentuh oleh Ditjen Pajak kecuali melalui pemeriksaan.
Sudah tiga tahun PP No. 31 Tahun 2012 memerintahkan Menteri Keuangan untuk mengatur jenis dan rincian data yang wajib disampaikan oleh pihak pengelola data dan informasi perpajakan kepada Ditjen Pajak. Sudah sampai empat kali PMK No. 16/PMK.03/2013 berubah, tapi belum juga menyentuh perbankan selain Bank Indonesia (itupun hanya sebatas informasi tentang debitur).
Prioritaskan pemeriksaan
Padahal, PP di atas sudah dengan tegas menyatakan bahwa himpunan bank-bank milik negara dan perhimpunan bank umum nasional termasuk pihak yang wajib memberikan data dan informasi perpajakan ke Ditjen Pajak.
Mengingat penggalian potensi pajak yang berkaitan dengan data perbankan masih akan terus dibentur-benturkan dengan kerahasiaan perbankan, Ditjen Pajak sebaiknya memprioritaskan tindakan pemeriksaan.
Pasal 29 UU KUP memberikan wewenang kepada Ditjen Pajak untuk melakukan pemeriksaan kepada WP untuk menguji kepatuhan perpajakannya. Sebagai WP yang sedang diperiksa, bank wajib memperlihatkan dan/atau meminjamkan semua buku, catatan, atau dokumen dan memberikan keterangan lain yang diperlukan. Bank tidak bisa menolaknya dengan alasan kerahasiaan perbankan.
Sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (4) UU KUP, apabila WP yang diperiksa terikat kewajiban merahasiakan pembukuan, pencatatan, atau dokumen, serta keterangan yang diminta, kewajiban merahasiakan ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan.
Jadi melalui pemeriksaan terhadap bank, pemeriksa bukan saja bisa menguji kepatuhan perpajakan bank, tapi juga bisa memperoleh data deposan/penabung dan jumlah simpanan yang bisa dipergunakan untuk penggalian potensi atau pemeriksaan deposan.
Untuk mengatasi kesulitan membuat analisis risiko pemeriksaan (karena kesulitan memperoleh data perbankan), industri pemeriksaan terhadap bank sebaiknya diterbitkan langsung oleh Kantor Pusat Ditjen Pajak agar pemeriksaan bisa dilakukan oleh KPP tanpa analisis risiko.
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar