Sejak akhir Maret lalu, Hari Mulyanto hanya menyibukkan diri bersama keluarga di Bandung. Kini, kehidupan Hari berubah drastis. “Sejauh ini saya melamar pekerjaan yang diinformasikan orang terdekat,” tuturnya kepada Tabloid KONTAN, Selasa (12/5) lalu.
Sebelumnya, Hari bekerja di Sungai Lilin, Sumatra Selatan, dengan jabatan terakhir sebagai senior supervisor HR & GA PT Putra Muba Coal. Pria asal Jawa Tengah ini bergabung dengan anak usaha PT MNC Energy tersebut terhitung sejak September 2009 silam.
Hari tak sendirian. Masih ada ratusan rekan kerjanya yang bernasib sama : menerima surat pemutusan hubungan pekerjaan (PHK). Ini buntut dari kebijakan efisiensi pegawai yang diberlakukan manajemen Putra Muba. “Ada 170 orang yang terkena PHK,” sebutnya.
Hari menjelaskan, manajemen terpaksa merumahkan karyawan karena kinerja perusahaan anjlok, menyusul harga batubara yang terus anjlok.
Ancaman PHK juga menanti ratusan pekerja PT Nusantara Thermal Coal. Anak usaha PT Permata Energy Resources, Tbk yang berlokasi di Desa Bedaro dan Desa Leban, Kabupaten Bungo, Jambi, itu dikabarkan bangkrut. Sudah tidak terlihat lagi geliat aktivitas operasional penambangan. Tak ada pengangkutan batubara untuk penjualan dan hanya dibiarkan menumpuk.
Alhasil, batubara yang masih tersisa sebanyak 17.000 ton di kawasan tambang dan sebanyak 1.500 ton di stockpile NTC 3 teronggok begitu saja. Belum ada pernyataan resmi terkait isu PHK terhadap karyawan Nusantara Thermal.
Cuma, dari laporan berkala ke Bursa Efek Jakarta, Senin (11/5), diketahui selama bulan April lalu, kegiatan yang dilakukan Nusantara Thermal hanya pengawasan Pit 418 di Blok Timur. Nusantara Thermal juga menyatakan tidak bisa melakukan eksplorasi akibat sengketa lahan yang belum tuntas.
Menurut Manager Nusantara Thermal, Lee D.K., penghentian sementara produksi untuk mengurangi biaya hingga 20%-25% dari total produksi yang mencapai 50 ton-80 ton per hari. Langkah ini ditempuh untuk menekan biaya produksi yang tinggi, sedangkan harga jual batubara semakin rendah.
Memang, dari waktu ke waktu, harga jual batubara kian terpuruk. Pangkal kisah pahit ini tergambar dari harga batubara acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). HBA per Mei 2015 dipatok US$ 61,08 per ton atau turun 5,3% ketimbang HBA April sebesar US$ 64,48 per ton.
Bahkan, harga acuan tersebut anjlok sebesar 17% dibandingkan dengan HBA Mei 2014 yang ditetapkan sebesar US$ 73,6 per ton. HBA Mei 2015 merupakan rekor terendah sejak pemerintah menetapkan HBA pada awal 2009.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM Adhi Wibowo mengakui, sepanjang Januari hingga April 2015, produksi batubara hanya 130 juta ton atau lebih rendah 11,56% ketimbang periode yang sama tahun lalu. “Akibat harga jual makin terpuruk, produksi batubara nasional turun,” ujarnya.
Ya, pantas saja, banyak produsen batubara yang goyah, sehingga terpaksa stop produksi karena tak mampu bersaing. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyebutkan, terdapat sekitar 30-40 perusahaan batubara berskala kecil dan sedang di Sumatra dan Kalimantan yang kolaps karena harga batubara anjlok. Buntutnya, angka pengangguran di sektor pertambangan ini melonjak.
Wakil Ketua APBI Pandu Sjahrir bilang, PHK tak bisa dihindari. “Penghentian operasi paling banyak di Sumatra yang mencapai 50% dari total tambang batubara di wilayah itu,” sebutnya. Sementara di Kalimantan, perusahaan tambang batubara yang sudah stop beroperasi sekitar 30%.
Pandu mengatakan, penyebab utama jatuhnya harga batubara adalah melimpahnya pasokan di pasar internasional. Tak ayal, berlebihnya pasokan global telah memangkas harga-harga batubara Asia acuan sedalam lebih dari 20% selama 12 bulan terakhir. Tambang pun memanen kesulitan.
Dalam kondisi seperti ini, pengusaha meminta kepada pemerintah untuk melonggarkan kewajiban pembayaran jaminan. Reklamasi yang saat ini harus dibayar per lima tahun di muka, agar beban finansial berkurang. Kewajiban ini akan menguras kas perusahaan batubara. Seperti kita ketahui, aturan lama mewajibkan pengusaha membayar jaminan reklamasi setiap tahun.
Pandu juga menilai, pemerintah tidak tepat mengerek royalti di saat industri tambang batubara sedang sulit seperti sekarang. “Silakan menaikkan royalti menjadi 100% sehingga kegiatan tambang dan tanggung jawab ke karyawan maupun lingkungan dipegang pemerintah semuanya,” sesal dia.
Maklum saja, pemerintah berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 untuk menaikkan tarif royalti batubara, yakni dari 3% menjadi 7% untuk kalori rendah, dari 5% menjadi 9% untuk kalori sedang, serta 7% menjadi 13,5% untuk kalori tinggi.
Efek kebijakan
Ketika pengusaha tambang batubara pusing gara-gara harga jual batubara yang merosot tajam, pengusaha tambang mineral terpukul aturan kenaikan tarif royalti, bea keluar, dan kewajiban membangun smelter. Akibat ekspor dibatasi, pengusaha ramai-ramai memangkas jumlah karyawan.
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM merilis data, sebanyak 33.400 orang pekerja sudah dirumahkan. Angka ini berasal dari produsen beberapa komoditi, antara lain bauksit sebanyak 12.400 orang, nikel sebanyak 14.000 orang, pasir atau bijih besi sebanyak 5.000 orang, serta mangan sebanyak 2.000 orang.
Tapi Asosiasi Pengusaha Bauksit dan Pasir Besi Indonesia (APB3I) menyodorkan jumlah PHK yang lebih besar, yakni sekitar 40.000 orang hingga 55.000 orang. Jumlah ini berasal dari 51 perusahaan yang menjadi anggota asosiasi. Salah satunya PT Harita Prima Abadi Mineral yang telah memberhentikan 4.500 karyawan dari keseluruhan 4.700 orang. PT Central Omega Resources Tbk, pemilik konsesi tambang nikel di Morowali dan Konawe Utara, telah menyetop kegiatan. Sebanyak 3.000 orang karyawannya di-PHK.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo) Ladjiman Damanik menjelaskan, pemutusan kerja merupakan hal yang tak bisa terhindarkan karena perusahaan harus melakukan efisiensi demi menghindari kerugian lebih besar. “Kasus PHK di industri pertambangan ini berbeda-beda dan fluktuatif,” ujar dia.
Sayang, Ladjiman tidak mengantongi data akurat mengenai jumlah PHK di perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota Apemindo. Pasalnya, banyak perusahaan yang tidak melaporkan jumlah karyawan yang dirumahkan. Lagipula, pengurangan pegawai dilakukan secara diam-diam.
Meski begitu, potensi PHK yang paling banyak terjadi menimpa pertambangan batubara, terutama di wilayah Kalimantan dan Sumatra. Indikasinya, frekuensi kapal-kapal tongkang yang mengangkut batubara semakin berkurang. PHK diambil karena perusahaan memang sudah berhenti beroperasi akibat biaya produksi tak sebanding dengan harga jual batubara yang merosot.
Adapun industri tambang mineral, PHK lebih banyak dipengaruhi kebijakan pemerintah yang memperketat ekspor mineral, lewat pembangunan smelter. Tentu, untuk membangun smelter, pengusaha butuh dana yang tidak sedikit. “Kalau ekspor dilarang dari mana pengusaha mendapat dana untuk bangun smelter?” kilahnya.
Nah selagi pembangunan fasilitas pemurnian ini belum rampung, perusahaan menghentikan sementara kegiatan produksi karena produknya tak bisa diekspor. Otomatis, pekerja yang ada di sektor produksi dikurangi jumlahnya untuk menekan beban operasional. “Baru setelah smelter beroperasi, kegiatan produksi bisa kembali seperti semula. Bisa ekspor lagi,” papar Ladjiman.
Namun di tengah kemelut, berhembus angin segar bagi pelaku industri mineral. Pemerintah sudah menerbitkan aturan baru soal harga patokan mineral (HPM), Rabu (13/5). Penetapan HPM ini telah lama disiapkan pemerintah, yakni sejak Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Harga Patokan Penjualan Mineral dan Batubara terbit.
Menurut Ladjiman, beleid yang berupa Permen ESDM itu disiapkan untuk melengkapi penerapan hilirisasi mineral di dalam negeri sesuai amanat UU Nomor 4/2009 tentang Minerba. “HPM bisa membantu kami. Formulasinya sangat jelas dan lengkap sehingga semua pihak bisa memahami,” akunya.
HPM mirip dengan penetapan HBA. Aturan HPM diberlakukan karena pemerintah mewajibkan pengusaha memenuhi suplai domestic atawa domestic market obligation (DMO) untuk kalangan industri berbasis mineral. Nantinya, harga jual mineral dalam negeri akan tetap sesuai dengan harga pasar dan penerimaan negara dari royalti mineral dapat tetap terjaga.
Apapun kebijakan yang disulut pemerintah, mampukan menangkis efek penurunan harga? Atau malah memperparah?
Sumber: Kontan
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak
Tinggalkan komentar