Perusahaan minyak dan gas dikenal sebagai kantor tajir, dengan duit berlimpah. Setidaknya, persepsi tersebut yang terpatri di benar publik. namun tidak semua orang memahami bahwa investasi di bidang migas penuh risiko. Selain harus menggelontorkan duit bejibun, tidak semua perusahaan migas langsung untung. Banyak eksplorasi yang nihil hasil. Repotnya lagi, sebelum untung digenggam, tak jarang perusahaan diuber pemburu pajak.
Seperti terjadi pada 23 kontraktor kontrak kerja sama KKKS, yang terjerat hutang pajak bumi dan bangunan PBB senilai Rp 3,2 triliun. Utang pada negara tersebut ditagih oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) pajak untuk tahun pajak 2012 dan 2013. Para kontraktor minyak dan gas (migas) itu keberatan dengan tagihan pajak tersebut karena masih ada ketidakjelasan aturan.
Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association (IPA) Dipnala Tamzil mengatakan, seharusnya PBB tidak diberlakukan kepada kontraktor yang masih dalam tahap eksplorasi. Selain itu, status kontraktor selama masa eksplorasi pun belum memiliki, menguasai dan memanfaatkan bumi maupun bangunan. Dalam tahap itu, perusahaan migas belum bisa mendapat hasil maupun keuntungan, apalagi masih ada risiko kegagalan dalam memperoleh minyak dan gas bumi.
Lagi pula, menurut Dipnala, tagihan PBB yang diajukan kepada KKKS itu angkanya tidak wajar, melebihi nilai komitmen anggaran eksplorasi di tiap KKKS.
Ia menjelaskan, masalah itu muncul setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu Migas. Dalam beleid itu, tarif pajak dikenakan terhadap seluruh luas wilayah kerja lepas pantai pada 2012 sebesar Rp 16,28 per meter persegi, dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang ditetapkan sebesar Rp 7.996 per meter persegi. Sementara untuk 2013 ditetapkan Rp 22,68 per meter persegi dengan NJOP Rp 11.200
Dalam aturan itu, para kontraktor migas yang baru menandatangani kontrak setelah aturan itu diterbitkan, diwajibkan membayar PBB. Sedangkan untuk kontrak lama atau sebelum aturan itu diterbitkan, iuran PBB masih ditanggung oleh negara. “Baru tandatangan kontrak kok sudah kena pajak,” kata Dipnala. Ia keberatan.
Senada dengan Dipnala, Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, pemberlakuan PBB selama masa eksplorasi tidak memenuhi rasa keadilan. Secara konsep, PBB adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena memperoleh manfaat dari objek tersebut.
Ia beranggapan bahwa tagihan PBB atas perusahaan migas yang masih tahap eksplorasi tersebut mestinya dihapuskan. Kewenangan itu dimiliki Dirjen Pajak, seperti yang diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Di situ disebutkan, Dirjen Pajak boleh mengurangi atau membatalkan ketetapan pajak yang tidak benar.
Salah satu opsi yang bisa diambil untuk menyelesaikan masalah itu, menurut Yustinus, yaitu dengan menerapkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak selama masa eksplorasi. Setelah kegiatan produksi dilakukan, pemerintah menghitung kembali pajak tersebut. Jika ada kekurangan Ditjen Pajak masih bisa menagihnya.
Direktur Transformasi Proses Bisnis Ditjen Pajak, Kementerian Keuangan, Wahyu Karya Tumakaka mengatakan, jika tagihan pajak tersebut sudah masuk ke pengadilan pajak, maka urusan itu tidak bisa dihapus. “Kita kan berbicara soal undang-undang, ya tidak bisa lah,” ungkapnya kepada majalah TAMBANG.
Namun Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro menyebutkan, bisa saja tunggakan PBB 23 KKKS itu dikurangi atau dihapus, atau bisa juga tetap diproses. Namun, ia menegaskan, sebelum mengambil keputusan, pihaknya perlu melihat secara lebih detail terkait tunggakan dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 267 Tahun 2014 tentang Pengurangan PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi pada Tahap Eksplorasi.
Tahun lalu, Bambang menyatakan bahwa Kementerian Keuangan telah mengeluarkan aturan untuk membebaskan PBB bagi KKKS yang masih dalam tahap eksplorasi. Namun, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 267/PMK.011 tahun 2014 itu hanya berlaku untuk kegiatan eksplorasi di 2015. Sementara, iuran pajak pada 2012-2013 masih dalam proses penagihan.
Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito, juga mengaku masih meneliti tunggakan PBB tersebut. Dia belum bisa memastikan, kapan keputusan mengenai tunggakan pajak tersebut akan ditetapkan.
Menyikapi itu, Sigit menuturkan, pada Oktober 2013 pihaknya telah menggelar rapat dengan Ditjen Migas Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Keputusannya, KKKS diminta untuk mengajukan permohonan keberatan untuk merevisi tagihan PBB 2012 dan 2013. Namun, permohonan tersebut ditolak oleh Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Khusus.
Upaya ini pun kemudian dilanjutkan dengan mengajukan permohonan pembatalan terhadap pajak tersebut ke pengadilan pajak. Permohonan ini sudah diajukan sekitar November dan Desember 2014. Masalahnya, untuk bisa mengajukan banding, KKKS harus membayar 50% tagihan pajak tersebut terlebih dahulu. Sementara para KKKS mengaku tidak memiliki dana sebesar itu.
Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi, mengaku sudah bertemu dengan Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan Kementerian ESDM. Dalam pertemuan tersebut, Ditjen Pajak diwakili Dirjen Pajak Sigit Priadi Pramudito dan Kementerian ESDM oleh Sekretaris Jenderal Teguh Pamudji. Namun, pada pertemuan tersebut, Amien mengaku tidak bisa berbuat banyak karena sudah masuk dalam ranah Ditjen Pajak.
“Untuk yang sudah terlanjut masuk pengadilan pajak itu akan ditunggu hasil dari pengadilan perpajakan. Yang masih di bawah kewenangan Dirjen Pajak akan diselesaikan Dirjen Pajak,” ujar dia.
Tagihan pajak yang diajukan untuk 23 KKKS itu dengan rincian lima eksplorasi darat dengan nama wilayah kerja (WK) BP Kapuas I Ltd, BP Kapuas II Ltd, BP Kapuas III Ltd, Pan Orient Energy East Jabung Pte. Ltd, Dan Krisenergy (Udang Emas) BV.
Sementara untuk ke 18 eksplorasi lepas pantai yakni dengan nama WK BP West Aru I Ltd, BP West Aru II Ltd, Hess (Indonesia-V) Ltd, Niko Resources (OBI) Ltd, Niko Resources (South East Seram) Ltd, Eni Arguni Ltd, Eni East Sepinggan, Eni North Ganal, Inpex Barbar Selaru Ltd, Krisenergy (Tanjung Aru) BV, Lundin Gurita, Niko Resources (Aru) Ltd, Statoil Indonesia Halmahera II AS dan Niko Resources (Halmahera II) Ltd, Murphy Semai IV Ltd, Total E&P Indonesia West Papua, Total E&P Indonesia Telen BV, Total E&P Indonesia Mentawai BV, dan PT Pertamina Hulu Energy West Madura Offshore.
Menurut Dipnala, sengketa PBB itu bisa mempengaruhi iklim investasi migas di Indonesia yang ujungnya akan berdampak pada produksi dan lifting minyak. Apalagi, ia menjabarkan realisasi rata-rata lifting minyak dari awal Januari sampai Maret 2015 hanya 764.000 barel per hari (bph). Angka itu masih di bawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015.
Sumber: TAMBANG
http://www.pemeriksaanpajak.com
pajak@pemeriksaanpajak.com
Kategori:Berita Pajak

Tinggalkan komentar